
Polemik Subsidi LPG, Dulu Solusi Kini Perlu Resolusi?
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 June 2018 10:58

Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi, yakni mencapai 1,2 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Jika jumlah ini dikonversi menjadi LPG, sebenarnya masih bisa mencukupi konsumsi domestik. Masalahnya, karakteristik gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta merta dapat dikonversi menjadi LPG.
"Tetapi, banyak gas kita adalah gas kering sehingga tidak bisa diubah jadi LPG," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, saat berbincang dengan CNBC Indonesia di Hotel Four Seasons, Washington, Amerika Serikat, Senin (25/6/2018).
Mantan Menteri Perhubungan itu juga menambahkan bahwa untuk menghasilkan gas melon, gas yang dibutuhkan adalah gas dengan kandungan propan (C3) dan butan (C4). Sementara, lapangan gas di Indonesia lebih banyak menghasilkan C1 dan C2.
Untuk menekan kebutuhan impor LPG itu, Kementerian ESDM sebenarnya sudah mengkaji beberapa langkah alternatif, misalnya pengolahan batu bara menjadi gas metana atau coal bed methane (CBM), yang disebut Jonan dapat menekan kebutuhan impor hingga Rp 28 triliun per tahunnya.
Meski demikian, dalam penerapan alternatif tersebut memang dibutuhkan beberapa penyesuaian teknikal, seperti kompor yang harus didesain agar tidak menyebabkan korosif.
Alternatif lainnya selain dari pengolahan batu bara adalah memperbanyak program jaringan gas (Jargas). Untuk opsi ini nampaknya pemerintah sudah lebih berpengalaman dibandingkan pengembangan batu bara menjadi bahan bakar gas.
Sejak tahun 2009 hingga Maret 2018, pemerintah Indonesia, melalui penugasan ke PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, telah sukses membangun 228.518 Sambungan Rumah (SR) jargas untuk rumah tangga di 15 Provinsi pada 32 Kabupaten/Kota. Untuk tahun ini saja, pemerintah menargetkan penambahan jargas sebanyak 78.315 SR.
Dari segi penghematan, pemanfaatan jargas diklaim Kementerian ESDM dapat menghemat sekitar Rp 90.000 per bulan per keluarga, dibandingkan dengan menggunakan LPG. Namun, karena sifatnya penugasan dari pemerintah, selama ini pembangunan jargas masih dibiayai oleh APBN, yang jelas terbatas dananya.
Oleh karena itu, ide agar pembangunan jargas dapat dilakukan dengan menggunakan skema kerja pemerintah dan badan usaha (KPBU), sudah mulai dilontarkan. Skema tersebut dinilai mampu mempercepat konstruksi jargas daripada hanya mengandalkan dana APBN.
Pemanfaatan skema KPBU sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. KPBU sendiri merupakan kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha untuk kepentingan umum, dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antar pihak.
Skema KPBU sendiri sudah mulai digalakkan di Indonesia, khususnya untuk membiayai masifnya proyek infrastruktur di era Jokowi-JK. Beberapa contoh sukses pembangunan infrastruktur dengan KPBU di antaranya proyek Palapa Ring, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang.
Meski saat ini rencana tersebut masih digodok oleh pemerintah, ditambah masih adanya masalah lahan yang kerap menjadi persoalan utama dalam pembangunan jargas, opsi ini nampaknya layak untuk dipertimbangkan secara serius oleh pemangku kebijakan.
Dalam rangka mengurangi beban subsidi LPG, alternatif percepatan program jargas dapat memberikan solusi yang lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk mengembangkan skema subsidi tertutup atau mengimpor LPG yang lebih murah dari Aljazair.
TIM RISET CNBC INDONESIA (gus/prm)
"Tetapi, banyak gas kita adalah gas kering sehingga tidak bisa diubah jadi LPG," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, saat berbincang dengan CNBC Indonesia di Hotel Four Seasons, Washington, Amerika Serikat, Senin (25/6/2018).
Mantan Menteri Perhubungan itu juga menambahkan bahwa untuk menghasilkan gas melon, gas yang dibutuhkan adalah gas dengan kandungan propan (C3) dan butan (C4). Sementara, lapangan gas di Indonesia lebih banyak menghasilkan C1 dan C2.
Meski demikian, dalam penerapan alternatif tersebut memang dibutuhkan beberapa penyesuaian teknikal, seperti kompor yang harus didesain agar tidak menyebabkan korosif.
Alternatif lainnya selain dari pengolahan batu bara adalah memperbanyak program jaringan gas (Jargas). Untuk opsi ini nampaknya pemerintah sudah lebih berpengalaman dibandingkan pengembangan batu bara menjadi bahan bakar gas.
Sejak tahun 2009 hingga Maret 2018, pemerintah Indonesia, melalui penugasan ke PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, telah sukses membangun 228.518 Sambungan Rumah (SR) jargas untuk rumah tangga di 15 Provinsi pada 32 Kabupaten/Kota. Untuk tahun ini saja, pemerintah menargetkan penambahan jargas sebanyak 78.315 SR.
Dari segi penghematan, pemanfaatan jargas diklaim Kementerian ESDM dapat menghemat sekitar Rp 90.000 per bulan per keluarga, dibandingkan dengan menggunakan LPG. Namun, karena sifatnya penugasan dari pemerintah, selama ini pembangunan jargas masih dibiayai oleh APBN, yang jelas terbatas dananya.
Oleh karena itu, ide agar pembangunan jargas dapat dilakukan dengan menggunakan skema kerja pemerintah dan badan usaha (KPBU), sudah mulai dilontarkan. Skema tersebut dinilai mampu mempercepat konstruksi jargas daripada hanya mengandalkan dana APBN.
Pemanfaatan skema KPBU sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. KPBU sendiri merupakan kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha untuk kepentingan umum, dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antar pihak.
Skema KPBU sendiri sudah mulai digalakkan di Indonesia, khususnya untuk membiayai masifnya proyek infrastruktur di era Jokowi-JK. Beberapa contoh sukses pembangunan infrastruktur dengan KPBU di antaranya proyek Palapa Ring, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang.
Meski saat ini rencana tersebut masih digodok oleh pemerintah, ditambah masih adanya masalah lahan yang kerap menjadi persoalan utama dalam pembangunan jargas, opsi ini nampaknya layak untuk dipertimbangkan secara serius oleh pemangku kebijakan.
Dalam rangka mengurangi beban subsidi LPG, alternatif percepatan program jargas dapat memberikan solusi yang lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk mengembangkan skema subsidi tertutup atau mengimpor LPG yang lebih murah dari Aljazair.
TIM RISET CNBC INDONESIA (gus/prm)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular