Polemik Subsidi LPG, Dulu Solusi Kini Perlu Resolusi?

Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 June 2018 10:58
Polemik Subsidi LPG, Dulu Solusi Kini Perlu Resolusi?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih dari satu dekade sejak pertama kali diluncurkan, konversi minyak tanah ke LPG bisa dibilang berhasil.

Di awal 2007, LPG dikenalkan ke masyarakat untuk menggantikan harga minyak tanah yang kian melonjak. Bayangkan, dari harga Rp 2000 per liter harga kerosene tiba-tiba meroket jadi kisaran Rp 11.000 per liter.

Padahal, minyak tanah mayoritas digunakan oleh kalangan tidak mampu. Lalu, pemerintah mengenalkan gas tabung ukuran 3 kg berwarna hijau yang kemudian dikenal sebagai tabung gas melon.

Pertama dikenalkan butuh sosialisasi sangat gencar, ini karena masyarakat masih gagap dengan pemakaian gas untuk memasak. Alhasil, peristiwa ledakan tabung gas terjadi di mana-mana. Perlahan tapi pasti, ledakan berkurang dan pemakaian LPG terus meningkat. Ketimbang pakai minyak tanah Rp 11.000 per liter yang habis sekali masak, lebih baik gunakan gas elpiji seharga Rp 12.000- Rp 12.500 yang bisa bertahan hingga dua pekan.

Ini sebuah konversi yang sukses, baik dari sisi keuangan negara maupun energi. Bagaimanapun, bahan bakar gas jauh lebih ramah lingkungan ketimbang minyak.

Penggunaan LPG pun meningkat dari 1,9 juta Metrik Ton (MT) di 2008 ke 3 juta MT di tahun berikutnya. Awalnya ini adalah kabar baik, sampai akhirnya konsumsi terus meningkat tapi sumber pasokan dari dalam negeri kian menipis. Impor gas tidak terelakkan, belum lagi harga minyak yang terus naik dan merembet ke harga gas. Alhasil LPG kini menjadi beban, sama seperti bensin premium. 


Tersangkut Subsidi 
Kementerian Keuangan mengatakan subsidi energi tercatat Rp 49,4 triliun pada periode Januari-Mei 2018, atau telah mencapai 52% dari anggaran yang dialokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Sebagai catatan, nilai itu membengkak sekitar Rp 17 triliun atau 53% dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Meskipun ada catatan bahwa kenaikan itu termasuk pelunasan kurang bayar subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas cair (Liquefied Petroleum Gas/LPG) sebelumnya sebesar Rp12,3 triliun, tetap saja hal ini mengindikasikan masih tingginya tingkat ketergantungan terhadap subsidi energi.

Khusus untuk komoditas LPG, tercatat bahwa subsidi LPG mulai menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2017, yakni mencapai Rp38,75 triliun. Jumlah itu merupakan nominal kedua tertinggi dalam lima tahun terakhir.


Padahal, pada 2015 dan 2016, subsidi LPG sudah lumayan terpangkas di kisaran Rp20 triliun, seiring menurunnya harga komoditas global.
Inikah Saatnya Pembangunan Jaringan Gas Dipercepat?Foto: Tim Riset CNBC Indonesia/ Raditya Hanung

Dengan laju seperti sekarang, subsidi LPG berpeluang besar kembali melambung pada tahun ini. Bahkan, PT Pertamina (Persero) sempat memperkirakan realisasi volume LPG bersubsidi tahun ini bakal melampaui pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 6,45 juta metrik ton.

Berdasarkan data dari PT Pertamina (Persero), volume penjualan LPG sendiri memang terus menanjak dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2017 sudah mencapai 7,3 juta metrik ton (MT), atau meningkat hampir 300% sejak tahun 2008.

Mengacu Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018 perusahaan minyak plat merah tersebut, volume penjualan LPG juga ditargetkan bertambah menjadi 7,5 juta MT tahun ini.
Inikah Saatnya Pembangunan Jaringan Gas Dipercepat?Foto: Tim Riset CNBC Indonesia/ Raditya Hanung

Di tengah tren kenaikan permintaan LPG, meroketnya subsidi untuk komoditas ini memang tidak dapat dihindarkan. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi LPG tanah air, sekitar 70% nya harus dilakukan dengan cara mengimpor dari negara lain.
Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi, yakni mencapai 1,2 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Jika jumlah ini dikonversi menjadi LPG, sebenarnya masih bisa mencukupi konsumsi domestik. Masalahnya, karakteristik gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta merta dapat dikonversi menjadi LPG.

"Tetapi, banyak gas kita adalah gas kering sehingga tidak bisa diubah jadi LPG," kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, saat berbincang dengan CNBC Indonesia di Hotel Four Seasons, Washington, Amerika Serikat, Senin (25/6/2018).

Mantan Menteri Perhubungan itu juga menambahkan bahwa untuk menghasilkan gas melon, gas yang dibutuhkan adalah gas dengan kandungan propan (C3) dan butan (C4). Sementara, lapangan gas di Indonesia lebih banyak menghasilkan C1 dan C2.

Untuk menekan kebutuhan impor LPG itu, Kementerian ESDM sebenarnya sudah mengkaji beberapa langkah alternatif, misalnya pengolahan batu bara menjadi gas metana atau coal bed methane (CBM), yang disebut Jonan dapat menekan kebutuhan impor hingga Rp 28 triliun per tahunnya.

Meski demikian, dalam penerapan alternatif tersebut memang dibutuhkan beberapa penyesuaian teknikal, seperti kompor yang harus didesain agar tidak menyebabkan korosif.

Alternatif lainnya selain dari pengolahan batu bara adalah memperbanyak program jaringan gas (Jargas). Untuk opsi ini nampaknya pemerintah sudah lebih berpengalaman dibandingkan pengembangan batu bara menjadi bahan bakar gas.


Sejak tahun 2009 hingga Maret 2018, pemerintah Indonesia, melalui penugasan ke PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, telah sukses membangun 228.518 Sambungan Rumah (SR) jargas untuk rumah tangga di 15 Provinsi pada 32 Kabupaten/Kota. Untuk tahun ini saja, pemerintah menargetkan penambahan jargas sebanyak 78.315 SR.

Dari segi penghematan, pemanfaatan jargas diklaim Kementerian ESDM dapat menghemat sekitar Rp 90.000 per bulan per keluarga, dibandingkan dengan menggunakan LPG. Namun, karena sifatnya penugasan dari pemerintah, selama ini pembangunan jargas masih dibiayai oleh APBN, yang jelas terbatas dananya.

Oleh karena itu, ide agar pembangunan jargas dapat dilakukan dengan menggunakan skema kerja pemerintah dan badan usaha (KPBU), sudah mulai dilontarkan. Skema tersebut dinilai mampu mempercepat konstruksi jargas daripada hanya mengandalkan dana APBN.

Pemanfaatan skema KPBU sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. KPBU sendiri merupakan kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha untuk kepentingan umum, dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antar pihak.

Skema KPBU sendiri sudah mulai digalakkan di Indonesia, khususnya untuk membiayai masifnya proyek infrastruktur di era Jokowi-JK. Beberapa contoh sukses pembangunan infrastruktur dengan KPBU di antaranya proyek Palapa Ring, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang.

Meski saat ini rencana tersebut masih digodok oleh pemerintah, ditambah masih adanya masalah lahan yang kerap menjadi persoalan utama dalam pembangunan jargas,  opsi ini nampaknya layak untuk dipertimbangkan secara serius oleh pemangku kebijakan.

Dalam rangka mengurangi beban subsidi LPG, alternatif percepatan program jargas dapat memberikan solusi yang lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk mengembangkan skema subsidi tertutup atau mengimpor LPG yang lebih murah dari Aljazair.


TIM RISET CNBC INDONESIA
(gus/prm) Next Article Kecanduan Impor LPG, RI Genjot Kompor Listrik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular