
Dilema Berat Sri Mulyani Antara Harga Minyak dan Subsidi BBM
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
31 May 2018 12:34

Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan harga minyak dunia menjadi tantangan berat pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonomi di tahun ini.
Tetapi, lanjut Sri, fluktuasi harga minyak seperti ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Seperti di 2013, harga minyak bisa menyentuh US$ 100 per barel. Harga ini bertahan hingga 2014, hingga akhirnya anjlok ke US$ 30 per barel di 2015. Dalam empat bulan terakhir, harga minyak internasional kembali merangkak naik di kisaran US$70 per barel dan bahkan mendekati harga US$80 per barel dua minggu lalu, sebelum kembali di kisaran harga US$70 per barel beberapa hari terakhir.
Untuk itu, pemerintah memantau terus perkembangan harga minyak dan dampaknya pada ICP (Indonesian Crude Price). "Kami menyadari bahwa fluktuasi harga minyak akan tetap menjadi salah satu faktor dinamis yang membutuhkan antisipasi kebijakan secara terus menerus. Penetapan asumsi harga minyak pada level yang realistis dan seakurat mungkin dapat menjaga kesehatan postur anggaran ke depan," kata Sri dalam sidang paripurna, Kamis (31/5/2018).
Kenaikan harga minyak dunia yang mendorong kenaikan ICP, kata Sri, membuat komponen biaya produksi bahan bakar minyak naik. Ini termasuk dengan komponen LPG.
"Peningkatan biaya produksi tersebut tentu menyebabkan naiknya harga keekonomian. Tanpa adanya kebijakan penyesuaian harga, selisih antara harga keekonomian dan harga penetapan pemerintah akan semakin lebar dan meningkatkan beban subsidi BBM. Khususnya LPG tabung 3 Kg," papar Sri.
Meski mengakui adanya jurang yang lebar antara harga yang berlaku dari pemerintah dengan harga pasar, yakni harga bbm yang dilarang naik hingga 2019, penambahan subsidi juga akan jadi beban negara. "Kenaikan beban subsidi BBM tersebut tetap harus memperhatikan kemampuan keuangan negara dalam tahun anggaran berjalan," katanya.
Tetapi, untuk menaikkan harga BBM juga sulit dilakukan pemerintah. Sebab, ini berpotensi meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. "Tapi di sisi lain, apabila tidak dilakukan kebijakan penyesuaian harga BBM dan listrik, akan memberikan tekanan terhadap fiskal maupun keuangan BUMN dan menciptakan distorsi ekonomi yang berdampak negatif bagi perekonomian jangka panjang."
Alhasil, sebagai jalan keluar pemerintah mengambil langkah tanpa mengorbankan kemampuan daya beli masyarakat. Artinya tetap tidak menaikkan harga BBM, tetapi juga menjaga kesehatan keuangan BUMN. "Pemerintah secara khusus memberi perhatian terhadap kondisi keuangan Pertamina dan PLN yang mendapatkan penugasan Pemerintah terkait penyediaan energi, termasuk pembangunan kilang, pembangkit listrik, dan penyaluran energi bersubsidi agar tetap sehat dan tetap dapat menjalankan penugasan sesuai target yang diharapkan."
(gus) Next Article Sampai Oktober 2018, Subsidi BBM dan LPG Jebol Jadi Rp 75,3 T
Tetapi, lanjut Sri, fluktuasi harga minyak seperti ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Seperti di 2013, harga minyak bisa menyentuh US$ 100 per barel. Harga ini bertahan hingga 2014, hingga akhirnya anjlok ke US$ 30 per barel di 2015. Dalam empat bulan terakhir, harga minyak internasional kembali merangkak naik di kisaran US$70 per barel dan bahkan mendekati harga US$80 per barel dua minggu lalu, sebelum kembali di kisaran harga US$70 per barel beberapa hari terakhir.
Kenaikan harga minyak dunia yang mendorong kenaikan ICP, kata Sri, membuat komponen biaya produksi bahan bakar minyak naik. Ini termasuk dengan komponen LPG.
"Peningkatan biaya produksi tersebut tentu menyebabkan naiknya harga keekonomian. Tanpa adanya kebijakan penyesuaian harga, selisih antara harga keekonomian dan harga penetapan pemerintah akan semakin lebar dan meningkatkan beban subsidi BBM. Khususnya LPG tabung 3 Kg," papar Sri.
Meski mengakui adanya jurang yang lebar antara harga yang berlaku dari pemerintah dengan harga pasar, yakni harga bbm yang dilarang naik hingga 2019, penambahan subsidi juga akan jadi beban negara. "Kenaikan beban subsidi BBM tersebut tetap harus memperhatikan kemampuan keuangan negara dalam tahun anggaran berjalan," katanya.
Tetapi, untuk menaikkan harga BBM juga sulit dilakukan pemerintah. Sebab, ini berpotensi meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. "Tapi di sisi lain, apabila tidak dilakukan kebijakan penyesuaian harga BBM dan listrik, akan memberikan tekanan terhadap fiskal maupun keuangan BUMN dan menciptakan distorsi ekonomi yang berdampak negatif bagi perekonomian jangka panjang."
Alhasil, sebagai jalan keluar pemerintah mengambil langkah tanpa mengorbankan kemampuan daya beli masyarakat. Artinya tetap tidak menaikkan harga BBM, tetapi juga menjaga kesehatan keuangan BUMN. "Pemerintah secara khusus memberi perhatian terhadap kondisi keuangan Pertamina dan PLN yang mendapatkan penugasan Pemerintah terkait penyediaan energi, termasuk pembangunan kilang, pembangkit listrik, dan penyaluran energi bersubsidi agar tetap sehat dan tetap dapat menjalankan penugasan sesuai target yang diharapkan."
(gus) Next Article Sampai Oktober 2018, Subsidi BBM dan LPG Jebol Jadi Rp 75,3 T
Most Popular