
Mampukah Pertamina Merebut Blok Rokan dari Chevron?
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
18 May 2018 18:04

Jakarta, CNBC Indonesia- Apabila Pertamina sukses mengambil alih Blok Rokan, perseroan akan mengukuhkan dirinya sebagai produsen minyak terbesar di dalam negeri.
Artinya, Pertamina benar-benar menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri.
Terlebih, saat ini Pertamina telah mendapatkan 10 blok terminasi secara cuma-cuma dari pemerintah Indonesia. Cuma-cuma dalam arti tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli hak partisipasi, tapi masih perlu merogoh kantong untuk setor bonus tanda tangan dan investasi.
Dari sisi produksi, tambahan 10 blok terminasi ini diperkirakan akan mendongkrak kontribusi Pertamina ke produksi migas negara, dari saat ini berkisar 19,6% meningkat nyaris dua kali lipat menjadi 36%.
"Dengan tambahan 2 WK (Wilayah Kerja), dalam 2-3 tahun akan jadi double capacity. Ini lompatan besar karena dalam dua tahun terakhir dapat tambahan yang dapat gandakan produksi Pertamina," kata Plt Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati hari Jumat (11/5/2018) ketika menerima Blok Jambi Merang dan Blok Raja/Pendopo.
Dengan capaian itu saja, sebenarnya Pertamina sudah menyalip kontribusi dua besar kontraktor di Indonesia saat ini, yakni CPI (27,3%) dan Exxonmobil Cepu Ltd. (26,8%). Apalagi jika Pertamina berhasil mengakuisisi Blok Rokan, bisa jadi kontribusi Pertamina bagi produksi migas nasional mencapai 70%.
Namun, sesungguhnya keadaannya tidak sesederhana itu. Peningkatan produksi yang besar tentunya harus dibarengi dengan injeksi kapital. Pertanyaannya sejauh apa Pertamina mau dan sanggup membiayai investasi di Blok Rokan, yang merupakan blok minyak terbesar di RI.
Perlu ditengok bahwa bonus tanda tangan yang sudah dibayar Pertamina untuk 8 kontrak blok migas terminasi (selain Jambi Merang dan Raja/Pendopo) mencapai mencapai US$35,5 juta atau setara Rp479 miliar. Jumlah itu belum termasuk nilai investasi dari pelaksanaan kegiatan komitmen pasti tiga tahun pertama di kedelapan kontrak itu, sebesar US$556,45 juta, atau setara Rp7,45 trilliun.
Sementara itu, untuk WK Jambi Merang dan Raja/Pendopo yang terbaru, Pertamina diharuskan memberikan bonus tanda tangan sebesar US$18,92 juta (Rp267 miliar), dengan nilai komitmen kerja pasti selama lima tahun sebesar US$254,85 juta (Rp3,6 triliun).
Alhasil, apabila ditotal, Pertamina setidaknya perlu merogoh kocek hingga US$865,72 juta atau sekitar Rp11,8 triliun, untuk mengelola ke-10 blok terminasi tersebut. Jumlah yang tidak sedikit tentunya, dan menimbulkan kekhawatiran terkait kesanggupan Pertamina untuk merebut Blok Rokan.
Namun demikian, indikator utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) Pertamina, yang mencerminkan daya ungkit atau leverage sebuah perusahaan untuk menggali pendanaan guna mendongkrak kapasitasnya, masih terhitung sangat sehat.
Pada tahun 2016, rasio DER Pertamina tercatat sebesar 56%, masih jauh di bawah ambang batas kesehatan rasio likuiditas sebuah perusahaan sebesar 300%. Dengan posisi tersebut serta nilai ekuitas mencapai US$22,07 miliar (2016), Pertamina nampaknya masih memiliki ruang untuk menggali pendanaan dalam mendanai persaingannya dengan Chevron dalam berebut Blok Rokan, meski sudah jor-joran dalam mengambil alih 10 blok terminasi.
Namun, layaknya investasi pada umumnya, risiko kegagalan pasti selalu ada. Pertamina tentunya harus benar-benar selektif dalam mengambil alih blok terminasi, termasuk Blok Rokan. Seperti diketahui, tidak semua WK yang diambil alih Pertamina bisa sesukses Offshore North West Java (ONWJ) yang hingga saat ini masih mendukung pasokan listrik ke DKI Jakarta.
Perlu diingat Pertamina juga punya catatan tersendiri dalam mengelola Blok West Madura Offshore (WMO). Pertamina mengambil alih WMO, yang sebelumnya dikelola oleh Kodeco, sejak 2011.
Jatuh bangun Pertamina memproduksi minyak dari blok WMO. Saat dipegang Kodeco, produksi blok ini bisa mencapai 26 ribu barel per hari, begitu berpindah tangan ke Pertamina pada 2011 produksi anjlok ke angka 13 ribu barel per hari. Pertamina berkilah turunnya angka produksi karena proses peralihan pengelolaan yang tak tentu membuat Kodeco tidak berinvestasi selama 2 tahun turut-turut sebelumnya, alhasil begitu dipegang Pertamina penurunan produksi tak bisa dihindari.
Angka produksi sempat naik ke level 24 ribu barel per hari pada 2013, tapi belakangan menurun lagi. Kabar terakhir dari blok ini produksinya hanya bisa menembus 7500 barel per hari di 2017.
Oleh karena itu, Pertamina pun harus selektif terhadap blok yang habis kontraknya. Jangan sampai investasi besar yang dikeluarkan ternyata tidak memberikan hasil seberapa.
Tapi, mari kita tutup dengan berandai-andai. Jika memang Pertamina benar-benar mau dan mampu untuk merebut lalu mengelola Blok Rokan. Apakah Pertamina sudah siap menjadi tuan rumah di negeri sendiri?"
(gus/gus) Next Article Geser Chevron, Pertamina Bongkar Pipa-pipa Tua Blok Rokan
Artinya, Pertamina benar-benar menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri.
![]() |
Dari sisi produksi, tambahan 10 blok terminasi ini diperkirakan akan mendongkrak kontribusi Pertamina ke produksi migas negara, dari saat ini berkisar 19,6% meningkat nyaris dua kali lipat menjadi 36%.
"Dengan tambahan 2 WK (Wilayah Kerja), dalam 2-3 tahun akan jadi double capacity. Ini lompatan besar karena dalam dua tahun terakhir dapat tambahan yang dapat gandakan produksi Pertamina," kata Plt Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati hari Jumat (11/5/2018) ketika menerima Blok Jambi Merang dan Blok Raja/Pendopo.
Dengan capaian itu saja, sebenarnya Pertamina sudah menyalip kontribusi dua besar kontraktor di Indonesia saat ini, yakni CPI (27,3%) dan Exxonmobil Cepu Ltd. (26,8%). Apalagi jika Pertamina berhasil mengakuisisi Blok Rokan, bisa jadi kontribusi Pertamina bagi produksi migas nasional mencapai 70%.
![]() |
Namun, sesungguhnya keadaannya tidak sesederhana itu. Peningkatan produksi yang besar tentunya harus dibarengi dengan injeksi kapital. Pertanyaannya sejauh apa Pertamina mau dan sanggup membiayai investasi di Blok Rokan, yang merupakan blok minyak terbesar di RI.
Perlu ditengok bahwa bonus tanda tangan yang sudah dibayar Pertamina untuk 8 kontrak blok migas terminasi (selain Jambi Merang dan Raja/Pendopo) mencapai mencapai US$35,5 juta atau setara Rp479 miliar. Jumlah itu belum termasuk nilai investasi dari pelaksanaan kegiatan komitmen pasti tiga tahun pertama di kedelapan kontrak itu, sebesar US$556,45 juta, atau setara Rp7,45 trilliun.
Sementara itu, untuk WK Jambi Merang dan Raja/Pendopo yang terbaru, Pertamina diharuskan memberikan bonus tanda tangan sebesar US$18,92 juta (Rp267 miliar), dengan nilai komitmen kerja pasti selama lima tahun sebesar US$254,85 juta (Rp3,6 triliun).
Alhasil, apabila ditotal, Pertamina setidaknya perlu merogoh kocek hingga US$865,72 juta atau sekitar Rp11,8 triliun, untuk mengelola ke-10 blok terminasi tersebut. Jumlah yang tidak sedikit tentunya, dan menimbulkan kekhawatiran terkait kesanggupan Pertamina untuk merebut Blok Rokan.
Namun demikian, indikator utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) Pertamina, yang mencerminkan daya ungkit atau leverage sebuah perusahaan untuk menggali pendanaan guna mendongkrak kapasitasnya, masih terhitung sangat sehat.
Pada tahun 2016, rasio DER Pertamina tercatat sebesar 56%, masih jauh di bawah ambang batas kesehatan rasio likuiditas sebuah perusahaan sebesar 300%. Dengan posisi tersebut serta nilai ekuitas mencapai US$22,07 miliar (2016), Pertamina nampaknya masih memiliki ruang untuk menggali pendanaan dalam mendanai persaingannya dengan Chevron dalam berebut Blok Rokan, meski sudah jor-joran dalam mengambil alih 10 blok terminasi.
Namun, layaknya investasi pada umumnya, risiko kegagalan pasti selalu ada. Pertamina tentunya harus benar-benar selektif dalam mengambil alih blok terminasi, termasuk Blok Rokan. Seperti diketahui, tidak semua WK yang diambil alih Pertamina bisa sesukses Offshore North West Java (ONWJ) yang hingga saat ini masih mendukung pasokan listrik ke DKI Jakarta.
Perlu diingat Pertamina juga punya catatan tersendiri dalam mengelola Blok West Madura Offshore (WMO). Pertamina mengambil alih WMO, yang sebelumnya dikelola oleh Kodeco, sejak 2011.
Jatuh bangun Pertamina memproduksi minyak dari blok WMO. Saat dipegang Kodeco, produksi blok ini bisa mencapai 26 ribu barel per hari, begitu berpindah tangan ke Pertamina pada 2011 produksi anjlok ke angka 13 ribu barel per hari. Pertamina berkilah turunnya angka produksi karena proses peralihan pengelolaan yang tak tentu membuat Kodeco tidak berinvestasi selama 2 tahun turut-turut sebelumnya, alhasil begitu dipegang Pertamina penurunan produksi tak bisa dihindari.
Angka produksi sempat naik ke level 24 ribu barel per hari pada 2013, tapi belakangan menurun lagi. Kabar terakhir dari blok ini produksinya hanya bisa menembus 7500 barel per hari di 2017.
Oleh karena itu, Pertamina pun harus selektif terhadap blok yang habis kontraknya. Jangan sampai investasi besar yang dikeluarkan ternyata tidak memberikan hasil seberapa.
Tapi, mari kita tutup dengan berandai-andai. Jika memang Pertamina benar-benar mau dan mampu untuk merebut lalu mengelola Blok Rokan. Apakah Pertamina sudah siap menjadi tuan rumah di negeri sendiri?"
(gus/gus) Next Article Geser Chevron, Pertamina Bongkar Pipa-pipa Tua Blok Rokan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular