Mengungkap Jurus Utak-atik Harga BBM di Era Jokowi

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
05 April 2018 08:42
Pemerintah mencermati harga minyak dunia dari hari ke hari karena pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri membutuhkan impor.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Menentukan harga bahan bakar minyak (BBM) baik yang bersubsidi maupun non-subsidi selalu menjadi kebijakan yang dilematis bagi pemerintah. Pasalnya, harga BBM menjadi salah satu komponen inflasi yang cukup menekan daya beli masyarakat dan menimbulkan 'domino effect' yang luas.

Selain menjadi alat politik bagi oposisi, harga BBM selalu identik dengan kebijakan populis. Sebenarnya di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam menentukan kebijakan tersebut, ada tiga komponen penting yang diperhatikan pemerintah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan pemerintahan saat ini pada dasarnya selalu mencermati harga minyak dunia dari hari ke hari karena pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri masih membutuhkan impor. Ketika harga minyak dunia naik, maka pemerintah langsung mentransmisikannya ke domestik.

"Kita akan melihat tiga hal. Anggaran pemerintah atau APBN [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara], kemudian yang kedua adalah anggaran BUMN [Badan Usaha Milik Negara] penyedia BBM [Pertamina], dan yang terakhir kita melihat kemampuan masyarakat," katanya saat berbincang dengan Ekonom Muda dan Redaktur Media Massa di Gedung BI, Rabu (4/4/2018) malam.

Ketiga hal ini, menurut Suahasil menjadi kunci pemerintah dalam melihat dan mengukur kenaikan BBM. Mencari kalibrasi yang tepat di antara ketiganya dengan melihat kekuatan dari komponen masing-masing.

"Nah, dalam menentukan kalibrasi akan dipengaruhi situasi dan kondisi riil yang ada di Indonesia. Apakah anggaran APBN kuat? Apakah BUMN-nya sendiri kuat? Dan apakah rakyat mampu?" kata Suahasil lebih jauh.

Jika APBN mampu menanggung kenaikan harga minyak dunia, maka tak perlu beban BUMN dan rakyat. Tetapi, menurut Suahasil jika APBN tidak mengizinkan, maka akan dilihat apa Pertamina mampu menanggung beban kenaikan minyak dunia.

"Kemudian rakyat. Apa bisa dibebankan kenaikan BBM per liternya atau tidak? Ini semua tergantung kondisi saat ini," tuturnya.

Apa yang dilakukan pemerintah terakhir ketika menaikkan harga BBM, menurut Suahasil, adalah dengan mengombinasikan ketiga komponen tersebut atau sharing. Ketiganya, sambung Suahasil, menanggung kenaikan harga minyak dunia.


"Pemerintah menanggung melalui APBN untuk subsidi gas elpiji, kemudian solar, Pertamina menanggungnya. Nah rakyat? Menanggung juga dengan kenaikan harga BBM non subsidi. Menurut kita ini kebijakan fiskal yang paling tepat. Kombinasi ketiganya," kata Suahasil.

Hal ini cukup berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mengatur harga BBM seutuhnya hanya dengan mengandalkan APBN melalui subsidi.

Di tempat yang sama, Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menjelaskan perubahan subsidi energi yang dilakukan pemerintah cukup realistis. Menghapuskan subsidi BBM sebagian dan mengalihkannya kepada yang lebih membutuhkan memberikan ruang fiskal yang baik.

"Anggaran subsidi berbanding terbalik sekarang dengan infrastruktur. Subsidi menurun, infrastruktur meningkat. Ini memberikan kekuatan kepada fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Leo.
(prm) Next Article "Premium Ini Racun Bagi Pemerintah"

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular