Sejatinya bahkan IHSG sempat menembus level 5.700 dan menguji level 5.750 sebelum akhirnya kemarin harus ditutup di zona merah karena aksi ambil untung meskipun sentimen global masih positif.
Reli IHSG dalam waktu singkat dalam jumlah besar ini sebenarnya karena berbagai sentimen global yang sedang ciamik.
Mulai dari kabar 4 jenis vaksin Covid-19 yang disebut-sebut memiliki efektivitas di atas 90%, kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46, dan proses transisi dari Presiden AS saat ini, Donald Trump yang mulai lancar.
Hal ini tentunya ditambah dengan sentimen-sentimen positif lain dari dalam negeri yang spesifik bagi suatu emiten atau sektor usaha seperti Rapat Dewan Gubernur BI edisi November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%.
Hal ini tidak diperkirakan oleh pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dan Reuters menghasilkan proyeksi BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap di 4%.
Artinya, suku bunga acuan berubah untuk kali pertama sejak Juli atau empat bulan. BI 7 Day Reverse Repo Rate kini berada di di posisi terendah sejak diperkenalkan pada Agustus 2016 menggantikan BI Rate.
Tak ayal IHSG terbang tinggi, bahkan banyak saham-saham berkapitalisasi pasar besar mampu melesat hingga puluhan persen. Meski demikian para investor yang terlambat masuk ada bulan November ini jangan merasa ketinggalan.
Hal ini karena ternyata masih banyak saham-saham unggulan yang masih belum melesat atau masih mampu terbang hingga puluhan persen. Apalagi mengingat aksi profit taking para investor masih akan berlanjut pada perdagangan hari ini sehingga momen ini menjadi sweet spot untuk kembali mengkoleksi saham-saham unggulan.
Pada halaman berikutnya, Tim Riset CNBC Indonesia membuat analisa saham-saham yang punya potensi cuan di atas 20%. Namun CNBC Indonesia perlu menegaskan, tulisan ini bukan rekomendasi beli ataupun jual saham-saham yang dianalisis. Keputusan investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing investor.
Mari kita simak.
Di antara saham unggulan sektor finansial, Tim Riset CNBC Indonesia menjagokan Bank Mandiri akan masih mampu terbang puluhan persen karena berberapa sentimen global, sektoral, hingga spesifik, serta valuasi harga BMRI yang masih tergolong murah.
Dari sentimen vaksin secara umum, status sektor finansial sebagai saham siklus tentunya menjadi daya tarik tersendiri.
Ini artinya apabila roda perekonomian dapat berputar kembali dengan normal saham dengan munculnya vaksin Covid-19, sektor siklus akan lebih diuntungkan dari sektor lain karena sektor perbankan sangat bergantung terhadap geraknya roda perekonomian.
Dengan roda ekonomi yang mulai kembali normal, urat nadi sektor perbankan yang merupakan penyaluran kredit akan kembali lancar dan kredit-kredit yang bermasalah akibat nCov-19 dapat berkurang sehingga pencadangan dapat dikurangi dan laba bersih akan meningkat.
Selanjutnya secara spesifik pemangkasan suku bunga acuan oleh BI juga secara historis menguntungkan sektor perbankan, karena dengan rendahnya suku bunga maka tingkat kredit akan kembali mampu di genjot.
Sentimen positif secara spesifik datang dari aksi korporasi merger PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS). Ketika nantinya pada Februari 2021 BRIS selesai di merger, Bank Mandiri lah yang akan menjadi pengendali bank hasil leburan tersebut.
Karena Bank Mandiri yang menjadi pengendali maka nantinya aset BRIS bisa dikonsolidasikan ke laporan keuangan BMRI sehingga asetnya akan meningkat.
Tim Riset CNBC Indonesia memprediksi nantinya BMRI akan mampu menjadi bank dengan aset terbesar di Indonesia apabila merger BRIS berjalan lancar. Tentunya ini menjadi sentimen positif bagi Bank Mandiri.
Secara fundamental, sejatinya harga BMRI masih tergolong murah. Apabila menggunakan metode valuasi harga dibandingkan dengan laba bersihnya (PER) BMRI berada di angka 16,28 kali masih berada di bawah rata-rata industri di angka 24,4 kali.
Sedangkan valuasi harga di banding nilai buku (PBV) BMRI berada di angka 1,65 kali juga berada di bawah rata-rata industri di angka 1,7 kali.
Selain itu PBV BMRI juga masih berada di bawah rata-rata PBV-nya selama 3 tahun terakhir yang berada di angka 1,96 kali yang menunjukkan potensi kenaikan sebesar 18,78% apabila harga BMRI kembali ke level rata-rata PBVnya selama 3 tahun terakhir.
Dilansir dari Refinitiv, nilai intrinsik BMRI menggunakan metode valuasi StarMine Projection Model berada di angka Rp 8.350/unit yang menunjukkan potensi keuntungan sebesar 27,96% apabila BMRI naik ke level intrinsiknya.
Selanjutnya harga BMRI secara tahun berjalan masih terkoreksi 14,98% yang menunjukkan potensi kenaikan sebesar 17,62% apabila saham BMRI kembali ke level awal tahun.
Analisis Teknikal
 Foto: Tri Putra/CNBC Indonesia Grafik Teknikal |
Pergerakan BMRI dengan menggunakan periode harian (daily) dari indikator Boillinger Band (BB) melalui metode area batas atas (resistance) dan batas bawah (support). Saat ini, BMRI berada di area batas atas dengan BB yang kembali menyempit.
Untuk mengubah bias menjadi bullish atau penguatan, perlu melewati level resistance yang berada di area 6.650 apabila konsisten menembus level ini maka harga saham BMRI berpotensi kembali menguat ke level 6.800.
Sementara itu untuk melanjutkan tren bearish atau penurunan perlu melewati level support yang berada di area 6.400 apabila level ini berhasil ditembus BMRI berpotensi kembali anjlok ke level 6.225.
Indikator Relative Strength Index (RSI) sebagai indikator momentum yang membandingkan antara besaran kenaikan dan penurunan harga terkini dalam suatu periode waktu dan berfungsi untuk mendeteksi kondisi jenuh beli (overbought) di atas level 70-80 dan jenuh jual (oversold) di bawah level 30-20.
Saat ini RSI berada di area 67 yang belum menunjukkan adanya indikator jenuh beli ataupun jenuh jual akan tetapi RSI terkonsolidasi naik setelah sebelumnya mendekati area jenuh jual sehingga pergerakan BMRI selanjutnya berpotensi terapresiasi.
Meskipun demikian muncul candlestick shooting star pada tren kenaikan BMRI sehingga biasanya menujukkan akan adanya pembalikan arah alias reversal yang menandakan BMRI akan terkoreksi.
BMRI perlu melewati (break) salah satu level resistance atau support, untuk melihat arah pergerakan selanjutnya.
Di antara saham konstituen indeks acuan LQ45, harga saham LQ45 menempati posisi kedua saham dengan koreksi paling besar secara tahun berjalan.
Koreksi besar-besaran saham PGAS sejatinya terjadi bukan karena kinerja perusahaan yang sangat terpukul oleh pandemi virus corona akan tetapi karena posisi PGAS yang memasuki tahun 2020 dengan kondisi 'babak belur'. Sejatinya PGAS sudah terkoreksi parah sejak awal tahun bahkan sebelum virus corona tiba di Indonesia.
PGAS terkena pukulan ganda sebab saham ini merupakan salah satu saham dengan portofolio kepemilikan besar oleh perusahaan aset manajemen yang bermasalah karena menawarkan bunga tetap dan diwajibkan untuk dilikuidisasi portofolionya oleh OJK.
Tentu saja ketika ada penjualan saham dalam jumlah besar secara langsung ke pasar reguler maka wajar apabila harga saham tersebut akan tertekan.
Dengan koreksi sebesar 34,79% secara tahun berjalan hal ini menunjukkan potensi kenaikan yang sangat fantastis yakni sebesar 53,35%. Hal ini tentunya baru bisa dicapai apabila harga PGN kembali ke level awal tahun.
Secara fundamental, sebenarnya harga PGAS masih tergolong murah. Apabila menggunakan metode valuasi PER berada di angka 179 kali hal ini karena perseroan belum merilis kinerja kuartal ketiganya dan kinerja kuartal kedua perusahaan membukukan rugi bersih sehingga PER terkesan buruk dan belum pulih dari nCov-19.
Meskipun demikian, valuasi PBV berada di angka 0,96 kali yang masih jauh berada di bawah rata-rata industri di angka 3,7 kali.
Selain itu PBV PGAS juga masih berada di bawah rata-rata PBV-nya selama 3 tahun terakhir yang berada di angka 1,23 kali yang menunjukkan potensi kenaikan sebesar 28,12% apabila harga PGAS kembali ke level rata-rata PBVnya selama 3 tahun terakhir.
Analisis Teknikal
 Foto: Tri Putra/CNBC Indonesia Grafik Teknikal |
Pergerakan PGAS dengan menggunakan periode harian (daily) dari indikator Boillinger Band (BB) melalui metode area batas atas (resistance) dan batas bawah (support). Saat ini, PGAS berada di area batas atas dengan BB yang kembali melebar yang menunjukkan pergerakan harga PGAS selanjutnya masih akan volatil.
Untuk mengubah bias menjadi bullish atau penguatan, perlu melewati level resistance yang berada di area 1.475 apabila konsisten menembus level ini maka harga saham PGAS berpotensi kembali menguat ke level 1.520.
Sementara itu untuk melanjutkan tren bearish atau penurunan perlu melewati level support yang berada di area 1.350 apabila level ini berhasil ditembus PGAS berpotensi kembali anjlok ke level 1.280.
Indikator Relative Strength Index (RSI) sebagai indikator momentum yang membandingkan antara besaran kenaikan dan penurunan harga terkini dalam suatu periode waktu dan berfungsi untuk mendeteksi kondisi jenuh beli (overbought) di atas level 70-80 dan jenuh jual (oversold) di bawah level 30-20.
Saat ini RSI berada di area 76 yang menunjukkan adanya indikator jenuh beli serta yang biasanya menandakan pergerakan PGAS selanjutnya akan cenderung terdepresiasi akan tetapi apabila momentum sedang kuat, RSI biasanya dapat bertahan di area jenuh beli dalam waktu yang lama.
Kuatnya momentum sendiri ditunjukkan oleh indikator Moving Average Convergen Divergen (MACD) yang menggunakan pergerakan rata-rata untuk menentukan momentum, dengan indikator MACD di wilayah positif, yang menunjukkan momentum PGAS sedang kuat.
PGAS perlu melewati (break) salah satu level resistance atau support, untuk melihat arah pergerakan selanjutnya.
Batu Bara memang saat ini menjadi komoditas kesayangan pasar, bagaimana tidak harga batu bara acuan Newcastle terus melesat ke level tertingginya selama 7 bulan terakhir pasca diserang virus corona.
Harga kontrak batu bara termal Newcastle masih tren naik sejak pertengahan Oktober lalu. Kini harga batu legam termal Newcastle berjangka itu sudah tembus ke level US$ 68,9/ton. Ini merupakan level tertinggi sejak 30 Maret, bahkanb harga saat ini sudah mendekati harga batu bara pada awal tahun.
Tentunya melesatnya harga batu bara tidak lepas dari sentimen global kesuksesan vaksin Covid-19, dengan berputarnya kembali ekonomi apabila nantinya vaksin sudah di-deploy, maka tentunya harga batu bara akan kembali pulih karena permintaanya yang kembali melesat setelah sektor manufaktur kembali berputar mengikuti roda perekonomian yang mulai kembali normal.
Selanjutnya sentimen positif untuk sektor pertambangan terutama pertambangan batu legam adalah kabar bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Mineral dan Batu Bara (Minerba) akan diundangkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) paling lambat bulan depan bahkan bisa jadi akan diundangkan akhir bulan ini.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut masih dalam proses harmonisasi antar kementerian. Ditargetkan, RPP Minerba ini bisa disahkan dan diundangkan pada November-Desember ini.
"Ini sudah selesai dalam tahap harmonisasi ya, jadi mungkin sebentar lagi (terbit)," ungkapnya dalam sebuah diskusi bertema 'Prospek Sektor Tambang di tengah Ketidakpastian Ekonomi Global' secara virtual, Selasa (10/11/2020).
Sedangkan sentimen untuk INDY secara khusus datang dari, anak usaha INDY yang menjadi anggota konsorsium proyek operator pelabuhan Patimban yang menjadi satu-satunya konsorsium yang lolos tahap pra-kualifikasi.
Perusahaan tersebut adalah Konsorsium Patimban yang terdiri dari PT CTCorp Infrastruktur Indonesia, PT Indika Logistic & Support Services, PT U Connectivity Services, dan PT Terminal Petikemas Surabaya.
Secara fundamental, sejatinya harga INDY memang masih tergolong amat murah. Bayangkan saja, perseroan memiliki kas dan setara kas per saham sebesar 0,0938 US$ atau setara dengan Rp 1.332 per saham (Kurs Rp 14.200/US$).
Hal ini tentu sangat menarik karena harga penutupan INDY kemarin hanya sebesar Rp 1465/unit yang menunjukkan bahwa harga pasar INDY saat ini hanya 'menghargai' uang kas dan setara kas perusahaan tanpa menghargai aset perusahaan lain.
Sejatinya perusahaan pada tahun 2020 masih merugi dampak dari harga batu bara yang sempat merosot sehingga metode valuasi PER tidak dapat dilakukan begitupula dengan mayoritas perusahaan pertambangan batu bara yang masih membukukan rugi.
Sedangkan valuasi harga di banding nilai buku PBV berada di angka 0,68 kali jauh berada di bawah rata-rata industri di angka 1 kali.
Selain itu PBV INDY juga masih berada di bawah rata-rata PBV-nya selama 3 tahun terakhir yang berada di angka 0,80 kali yang menunjukkan potensi kenaikan sebesar 17,64% apabila harga INDY kembali ke level rata-rata PBVnya selama 3 tahun terakhir.
Analisis Teknikal
 Foto: Tri Putra/CNBC Indonesia Grafik Teknikal |
Pergerakan INDY dengan menggunakan periode harian (daily) dari indikator Boillinger Band (BB) melalui metode area batas atas (resistance) dan batas bawah (support). Saat ini, INDY berada di area batas atas dengan BB yang kembali melebar yang menunjukkan pergerakan INDY masih akan volatil.
Untuk mengubah bias menjadi bullish atau penguatan, perlu melewati level resistance yang berada di area 1.560 apabila konsisten menembus level ini maka harga saham INDY berpotensi kembali menguat ke level 1.600.
Sementara itu untuk melanjutkan tren bearish atau penurunan perlu melewati level support yang berada di area 1.350 apabila level ini berhasil ditembus INDY berpotensi kembali anjlok ke level 1.200.
Indikator Relative Strength Index (RSI) sebagai indikator momentum yang membandingkan antara besaran kenaikan dan penurunan harga terkini dalam suatu periode waktu dan berfungsi untuk mendeteksi kondisi jenuh beli (overbought) di atas level 70-80 dan jenuh jual (oversold) di bawah level 30-20.
Saat ini RSI berada di area 88 yang menunjukkan adanya indikator jenuh beli serta yang biasanya menandakan pergerakan INDY selanjutnya akan cenderung terdepresiasi akan tetapi apabila momentum sedang kuat, RSI biasanya dapat bertahan di area jenuh beli dalam waktu yang lama.
Kuatnya momentum sendiri ditunjukkan oleh indikator Moving Average Convergen Divergen (MACD) yang menggunakan pergerakan rata-rata untuk menentukan momentum, dengan indikator MACD di wilayah positif, yang menunjukkan momentum INDY sedang kuat.
Meskipun demikian muncul candlestick shooting star pada tren kenaikan INDY sehingga biasanya menujukkan akan adanya pembalikan arah alias reversal yang menandakan INDY akan terkoreksi.
INDY perlu melewati (break) salah satu level resistance atau support, untuk melihat arah pergerakan selanjutnya.
Status AALI sebagai perusahaan dengan aset, ekuitas, laba bersih, dan kapitalisasi pasar terbesar sektor agrikultur yang melantai di BEI tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi para investor yang ingin berinvestasi di sektor ini.
Komoditas yang menjadi unggulan AALI yakni minyak sawit juga sedang menjadi primadona akhir-akhir ini setelah sudah 'sembuh' dari virus corona yang ditunjukkan dengan harganya yang sudah menembus level awal tahun bahkan berada di posisi tertinggi selama 8 tahun terakhir.
Produksi minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia diperkirakan menurun sampai akhir tahun. Di Indonesia rendahnya produksi diakibatkan oleh dampak kekeringan panjang tahun lalu dan penggunaan pupuk yang lebih rendah.
Ke depan adanya fenomena La Nina yang mengakibatkan turunnya hujan lebat juga menjadi ancaman bagi rantai pasok. Alhasil harga makin melambung. Apalagi di Malaysia isu kekurangan tenaga kerja akibat pembatasan mobilitas publik juga jadi faktor yang menghambat aktivitas panen.
Kabar vaksin nCov-19 juga menjadi pendorong kenaikan harga CPO karena seiring dengan berputarnya kembali roda ekonomi tentu permintaan CPO akan kembali melesat.
Harga CPO kontrak pengiriman Februari 2021 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange sendiri berada di level RM 3.277/ton masih tergolong tinggi meski sudah 2 pekan terkoreksi.
Secara fundamental, Apabila menggunakan metode valuasi PER berada di angka 26,76 kali meskipun terlihat mahal secara kasat mata, angka ini masih berada di bawah rata-rata industri di angka 30,3 kali.
Laba bersih AALI secara anualized juga berhasil tumbuh 367% dibandingkan dengan tahun lalu meskipun hal ini terjadi karena kinerja AALI yang kurang baik pada tahun tersebut karena kinerja minyak nabati yang kurang apik.
Sedangkan valuasi harga di banding nilai buku PBV berada di angka 1,1 kali jauh berada di bawah rata-rata industri di angka 3 kali.
Selain itu PBV AALI juga masih berada di bawah rata-rata PBV-nya selama 3 tahun terakhir yang berada di angka 1,36 kali yang menunjukkan potensi kenaikan sebesar 23,63% apabila harga AALI kembali ke level rata-rata PBVnya selama 3 tahun terakhir.
Dilansir dari Refinitiv, nilai intrinsik AALI menggunakan metode valuasi StarMine Projection Model berada di angka Rp 13.233/unit yang menunjukkan potensi keuntungan sebesar 27,96% apabila AALI naik ke level intrinsiknya.
Selanjutnya harga AALI secara tahun berjalan masih terkoreksi 25,90% yang menunjukkan potensi kenaikan sebesar 34,72% apabila saham BMRI kembali ke level awal tahun.
Analisis Teknikal
 Foto: Tri Putra/CNBC Indonesia Grafik Teknikal |
Pergerakan AALI dengan menggunakan periode harian (daily) dari indikator Boillinger Band (BB) melalui metode area batas atas (resistance) dan batas bawah (support). Saat ini, AALI berada di area pivot dengan BB yang cenderung stabil.
Untuk mengubah bias menjadi bullish atau penguatan, perlu melewati level resistance yang berada di area 11.275 apabila konsisten menembus level ini maka harga saham AALI berpotensi kembali menguat ke level 11.700.
Sementara itu untuk melanjutkan tren bearish atau penurunan perlu melewati level support yang berada di area 10.500 apabila level ini berhasil ditembus AALI berpotensi kembali anjlok ke level 10.175.
Indikator Relative Strength Index (RSI) sebagai indikator momentum yang membandingkan antara besaran kenaikan dan penurunan harga terkini dalam suatu periode waktu dan berfungsi untuk mendeteksi kondisi jenuh beli (overbought) di atas level 70-80 dan jenuh jual (oversold) di bawah level 30-20.
Saat ini RSI berada di area 48 yang belum menunjukkan adanya indikator jenuh beli ataupun jenuh jual sehingga pergerakan AALI cenderung akan sideways.
AALI perlu melewati (break) salah satu level resistance atau support, untuk melihat arah pergerakan selanjutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA