CNBC Indonesia Research

Harga Komoditas Tak Lagi Membara, RI Siap-Siap Merana?

mae, CNBC Indonesia
11 January 2023 14:02
Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pengapalan batu bara. (Dok: PLN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas andalan Indonesia terus melandai. Pelemahan ini bisa berdampak besar mulai dari pertumbuhan hingga kemampuan daya beli masyarakat.

Setelah menjadi bintang pada tahun lalu, harga komoditas andalan Indonesia seperti batu bara, minyak sawit, hingga nikel perlahan-lahan melandai pada 2023.

Harga batu bara jeblok 7,34% sejak awal 2023. Sepanjang perdagangan tahun ini, harga pasir hitam bahkan hanya mampu menguat dua kali yakni pada 4 dan 5 Januari 2023. Selebihnya harga batu bara ambruk.

Harga batu bara kini bergerak di kisaran US$ 361 per ton, jatuh dari level psikologis US$ 400 sejak awal Desember 2022. Bila dihitung dari harga tertingginya pada 5 September 2022 di level US$ 463,75 maka harga batu bara saat ini sudah jeblok 22,2%.



Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga setali tiga uang. Harga CPO lebih kerap melemah sepanjang tahun ini. Sejak awal tahun, hanya dua kali CPO menguat yakni pada 3 dan 9 Januari 2023. Selebihnya, harga CPO ambrol. Sepanjang tahun ini, harga CPO sudah jatuh 5,3%.

Sejak kemarin, harga CPO juga terpental dari level psikologis MYR 4.000 per ton. Harga CPO sudah jatuh 44,3% dari harga tertingginya pada 29 April 2022 yang tercatat MYR 7104 per ton.



Harga komoditas andalan Indonesia lainnya yakni nikel juga terus turun. Harga nikel kini berada di kisaran US$ 27.000 per ton, melandai 5,6% sejak awal tahun. Harga nikel sudah ambruk 43,5% dibandingkan level tertingginya pada Maret 2022 yang tercatat US$ 48.241 per ton.

Sebagai catatan, lonjakan harga komoditas membuat Indonesia mencatatkan rekor demi rekor di sektor perdagangan.

Nilai ekspor mencapai level tertingginya pada Agustus 2022 dengan nilai US$ 27,86 miliar.  Neraca perdagangan membukukan surplus selama 31 bulan beruntun dan mencatat rekor tertingginya pada April 2022 sebesar US$ 7,56 miliar.
Secara keseluruhan, ekspor melonjak 28,16% pada Januari-November 2022 menjadi US$ 268,18 miliar. 

Semakin melandainya harga komoditas tidak bisa dilepaskan dari normalisasi pasar, memadainya pasokan, serta ancaman resesi.

Fitch Solutions pada Desember 2022 mengatakan kebijakan moneter ketat akan membuat pertumbuhan ekonomi global melambat pada 2023. Kondisi ini tentu saja berdampak pada harga komoditas.

"Pasar negara maju akan terdampak berat (oleh kebijakan moneter ketat). Kawasan Eropa akan menghadapi resesi yang menyakitkan sementara Amerika Serikat menghadapi resesi ringan. Dengan kondisi global seperti itu, permintaan komoditas akan tertahan," tutur Fitch.

Peringatan resesi sudah dikeluarkan puluhan lembaga/ institusi. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan mengingatkan sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi pada tahun ini.

Industry & Regional Analyst Bank Mandiri, Abrar Aulia, mengatakan harga CPO melandai karena ada normalisasi antara permintaan dan pasokan di pasar minyak nabati.

Sebagai catatan, harga CPO dan minyak nabati lainnya terbang setelah perang Rusia-Ukraina meletus pada akhir Februari 2022.

"Salah satu penyebab turunnya harga CPO adalah normalisasi supply and demand di pasar minyak nabati, termasuk CPO pada tahun 2023," tutur Abrar, kepada CNBC Indonesia.

Berdasarkan hitungan Bank Mandiri, harga batu bara pada tahun ini akan berada di kisaran US$ 168,8 per ton, jauh di bawah 2022 yang berada di angka  US$ 262,4 per ton.

Rata-rata harga CPO akan berada di kisaran US$ 891 per ton, anjlok dibandingkan 2022 yang berada di angka  US$ 1.207,7 per ton. Harga nikel akan melandai ke US$ 24.000 per ton pada 2023, melandai dibandingkan US$ 25.992 per ton pada 2022.

Harga karet akan berada di kisaran US$ 1,43 per kg pada 2023, lebih rendah dibandingkan pada 2022 yang berada di US$ 1,67 per kg.


Melandainya harga komoditas akan menggerus ekspor serta pendapatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari komoditas, seperti di Kalimantan dan Sumatera.

Contoh paling nyata adalah apa yang terjadi di Kalimantan Timur pada 2010-2012.

Salah satu produsen utama batu bara tersebut tumbuh 5,04% saat masih terjadi booming komoditas pada 2010. Begitu harga komoditas anjlok, pertumbuhannya pun ambruk dari 3,9% pada 2011 dan 1,59% pada 2012.

Pengalaman serupa terjadi pada Riau yang merupakan kantong utama produsen minyak sawit mentah (CPO). Pada 2010, ekonomi Riau tumbuh 5,57% tetapi ambles menjadi 2,48% pada 2013.

Sinyal perlambatan ekspor sudah terasa pada November 2022 baik di Kalimantan Timur ataupun Riau.

Kalimantan Timur mencatatkan nilai ekspor sebesar US$ 3,12 miliar pada November 2022. Nilai tersebut turun 4,11% dibandingkan Oktober 2022 dan anjlok 5,57% dibandingkan November 2021 (year on year/yoy).

Penurunan ekspor secara tahunan ini adalah yang pertama kalinya sejak November 2021.

Sementara itu, nilai ekspor Riau pada November 2022 tercatat US$ 1,81 miliar. Nilai tersebut turun 9,69% dibandingkan bulan sebelumnya.

Nilai ekspor November 2022 adalah yang terendah sejak Mei 2022 atau saat pemerintah melarang ekspor CPO. Ekspor pertanian anjlok 15% pada November 2022.

Analis dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, mengatakan pelemahan harga komoditas akan berdampak cukup besar ke Indonesia.

"Terutama sawit dan batubara, yg merupakan andalan kita. Dampak lebih besar ke ekspor dulu, lalu dengan ekspor turun, konsumsi masyarakat juga turun," imbuh Rully.

Kekhawatiran melandainya daya beli sudah tercermin dari Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK).

Merujuk data Bank Indonesia, IKK pada Desember 2022 memang naik tipis menjadi 119,9. Namun, angkanya turun jauh  bila dibandingkan pada Agustus 2022 (124,7).
IKK pada provinsi-provinsi penghasil komoditas juga anjlok.

IKK di Samarinda, Kalimantan Timur, melandai dari 123,8 pada Agustus 2022 menjadi 113,8 pada Desember 2022.  IKK di kota Medan, Sumatera Utara, anjlok dari 101,9 pada Agustus menjadi 96,3 pada Desember.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular