Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali semringah pada penutupan perdagangan Selasa (4/10/2022), tecermin dari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah. Namun, pasar obligasi masih bergerak variatif.
Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG sukses ditutup menguat 0,89% ke posisi 7.072,25, meski sempat menyentuh posisi intraday tertinggi di 7.101,47.
Penguatan IHSG ditopang oleh 9 indeks sektoral, di mana indeks dengan penguatan terbesar berhasil dibukukan indeks sektoral energi yang melesat 2,05%. Selain itu, sektor keuangan yang memiliki pangsa pasar terbesar juga berhasil menguat 0,81%.
Total volume transaksi bursa menyentuh 15,71 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 7,67 triliun.
Beberapa emiten dengan net buy terbesar asing adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan nilai Rp 317,95 miliar. Disusul oleh PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) Rp 175,71 miliar, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) Rp 89 miliar.
Sementara, saham-saham yang di lego asing terbesar yakni PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) Rp 37,99 miliar. Kemudian, PT Astra International Tbk (ASII) Rp 35,42 miliar dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) Rp 33,78 miliar.
Di sepanjang tahun ini, indeks acuan pasar saham domestik tersebut mampu menguat 6,51% terhitung sejak awal tahun meskipun sempat menghadapi beberapa koreksi tajam pada Mei dan Juli lalu sebelum mengejar ketertinggalan hingga akhirnya bertahan di atas level 7.000 sejak awal Agustus 2022. Meskipun sesekali sempat mencicipi zona 6.900-an.
Investasi asing ke saham RI telah mendorong indeks lebih tinggi. Pasalnya, Indonesia diuntungkan dari harga komoditas yang lebih tinggi, khususnya batu bara. Bahkan, pada Juli lalu, saham-saham emiten batu bara kembali menjadi pendorong penguatan IHSG.
Dibalik cemerlangnya kinerja saham Tanah Air. Sebaliknya, indeks Hang Seng di Hong Kong, Kospi Korea Selatan, dan Taiex Taiwan telah jatuh lebih dari 25% tahun ini. Shanghai Composite dan Komponen Shenzhen China Daratan juga telah terpukul, masing-masing merosot hampir 17% dan 27%.
Nikkei 225 di Jepang, Nifty 50 India dan indeks SET di Thailand bernasib lebih baik, mencatat kerugian satu digit.
Sementara itu, indeks Straits Times Singapura memiliki kinerja terbaik kedua di kawasan ini, turun hanya 0,53%.
Hal serupa terjadi pada nilai tukar rupiah yang sukses mencatatkan penguatan cukup tajam hingga menjauhi level Rp 15.300/US$ yang sempat dicapainya awal pekan ini.
Melansir Data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,2%. Setelahnya rupiah sempat berbalik melemah 0,07% ke Rp 15.310/US$, sebelum kembali menguat dan mengakhiri perdagangan di Rp 15.245/US$, menguat 0,36% di pasar spot.
Penguatan Mata Uang Garuda dipicu oleh terkoreksinya indeks dolar AS di pasar spot. Pada perdagangan Selasa (4/10/2022), indeks dolar AS yang mengukur laju si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya, kembali ditutup melemah 1,39% ke posisi 110,19. Bahkan, kini telah turun ke level 110 setelah sebelumnya sempat menyentuh level 114.
Sentimen pelaku pasar yang membaik membuat rupiah bertenaga. Hal tersebut tecermin dari turunnya imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun ke 3,63%.
Namun, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup beragam pada perdagangan kemarin. SBN berjangka menengah diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield, sedangkan untuk SBN berjangka pendek dan panjang dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 1 tahun menjadi yang paling besar kenaikan yield-nya yakni melonjak 12,5 basis poin (bp) ke posisi 5,712%.
Sedangkan untuk SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara menjadi yang paling besar penurunan yield-nya pada hari ini, yakni melandai 6,7 bp menjadi 7,291%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sejak siang kemarin, minat beli sudah terjadi di SBN tenor 10 dan 20 tahun. Hal ini ditopang oleh sentimen dari penguatan nilai tukar rupiah yang tidak hanya menang melawan dolar AS, tetapi juga Singapura dan Australia.
Beralih ke Negeri Paman Sam, bursa saham Wall Street ditutup melesat pada perdagangan Selasa (04/10/2022), di mana imbal hasil (yield) kembali turun karena sentimen positif di pasar.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) sukses reli tajam 2,8% ke 30.316,32. Serupa, indeks S&P 500 ditutup melesat 3,1% ke 3.790,93 dan Nasdaq Composite naik tajam 3,3% ke 11.176,41.
Dengan begitu, di sepanjang pekan ini, indeks S&P 500 telah membukukan kenaikan 5,7% dan menjadi kenaikan terbesar selama dua hari beruntun sejak Maret 2020.
Pasar ekuitas memiliki awal yang kuat pada bulan ini, membalikkan penurunnya pada September 2022 dan kuartal sebelumnya. Pada perdagangan Senin (3/10/2022), indeks Dow Jones ditutup melesat 2,66% dan menjadi posisi penutupan terbaiknya sejak 24 Juni 2022. Sedangkan indeks S&P 500 naik tajam 2,59% dan menjadi yang terbaiknya sejak 27 Juli 2022. Nasdaq juga berakhir melesat 2,27%.
"Setelah ambles lebih dari 9% di sepanjang September 2022 dan anjlok hampir 25% di sepanjang tahun ini, kita menilai indeks S&P 500 telahoversold," tutur Ketua Investasi UBS Global Wealth Mark Haefele dikutipCNBC International.
"Selain itu, beberapa aksi jual pada pekan lalu mungkin didorong oleh penyeimbangan kembali kuartal akhir, yang kini telah berakhir. Dengan sentimen yang minim untuk pasar ekuitas,rebound secara periodik diharapkan, tapi pasar kemungkinan akan tetap bergejolak dalam waktu dekat, terutama didorong oleh ekspektasi seputar inflasi dan suku bunga," tambahnya.
Sentimen telah meningkat dalam dua hari terakhir karena yield obligasi tenor 10 tahun turun dan diperdagangkan sekitar 3,63% pada Selasa (04/10), setelah pekan lalu sempat menyentuh di atas 4%.
Selain itu, angka lowongan pekerjaan AS per Agustus 2022 mengalami penurunan 10% dari 11,2 juta menjadi 10,05 juta pekerjaan. Hal tersebut menjadi kabar baik di pasar.
"Orang-orang suka menunggu kabar baik tapi...kita tidak akan memiliki pemulihan di pasar ini sampai Fed memberi sinyal bahwa mereka akan berhenti menaikkan suku bunga dan itu tidak akan terjadi sampai inflasi mulai turun," tutur Analis Neuberger Berman newman Kroft.
Pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati sentimen dari pergerakan bursa saham Wall Street yang ditutup melesat pada perdagangan kemarin karena pasar merespons positif terhadap menurunnya angka lowongan pekerjaan pada Agustus 2022, yang menandakan perekonomian AS mulai mendingin.
Relinya bursa Wall Street, tentunya menjadi sinyal positif bagi pasar saham Asia dan Indonesia karena bursa saham Paman Sam tersebut menjadi kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street meroket, ada potensi IHSG ikut melesat.
William Surya Wijaya, Direktur Uama PT Yugen Bertumbuh Sekuritas memperkirakan IHSG berpeluang menguat terbatas dengan rentang di kisaran 6.872-7.236.
"Pola pergerakan IHSG hingga saat ini masih terlihat berada dalam rentang konsolidasi wajar dengan pola tekanan yang belum terlihat berkurang. Namun, capital outflow secara year to date (ytd) masih terlihat cukup besar menunjukkan bahwa minat investasi ke dalam pasar modal Indonesia belum surut, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang turut mendorong penguatan IHSG secara ytd. Hari ini, IHSG berpotensi menguat terbatas," tutur dalam analisisnya.
Untuk sentimen penggerak pasar hari ini, investor sebaiknya mencermati beberapa data dari dalam maupun luar negeri.
Pertama, Biro Statistik Tenaga Kerja telah merilis angka lowongan pekerjaan AS per Agustus 2022, yang turun 10% dari 11,2 juta menjadi 10,05 juta pekerjaan. Angka tersebut juga di bawah perkiraan FactSet di 11,1 juta pekerjaan dan menjadi penurunan terbesar sejak April 2020. Selain itu, penghasilan riil turun 2,8%, jika disesuaikan dengan inflasi.
Rilis data ekonomi tersebut diawasi ketat oleh Fed karena pasar tenaga kerja yang ketat diprediksikan menjadi pendorong utama inflasi sulit melandai. Sebagai informasi, gap dari angka lowongan pekerjaan dengan angka pengangguran di AS pada Juli lalu sangat besar hingga membuat para pelaku bisnis untuk turut menaikkan upah dan bonus, sehingga masyarakat AS tetap konsumtif, di tengah inflasi yang melonjak.
Hal tersebut membuat angka inflasi sulit untuk turun ke target Fed di 2%. Padahal, di sepanjang tahun ini saja, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 300 basis poin (bps) untuk memperlambat daya konsumsi masyarakat.
"Dilihat dari penurunan angka lowongan pekerjaan dan tingginya jumlah masyarakat yang memasuki angka kerja pada Agustus yang hampir 900.000 orang, menunjukkan pasar tenaga kerja yang ketat telah berakhir," tutur Analis Navy Federal Credit Union Robert Frick dikutip CNBC International.
Namun, melansir data dari Departemen Tenaga Kerja AS bahwa gap tersebut kian mengecil, kini rasio antara angka lowongan pekerjaan dengan angka pengangguran menurun menjadi 1,67:1 dari sebelumnya 2:1.
 Sumber: Labor Department |
Hal tersebut meningkatkan potensi bahwa The Fed akan mengurangi keagresifannya untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya di November 2022. Jika benar terjadi, maka tekanan terhadap nilai tukar rupiah akan berkurang, sehingga harapannya dapat turut menopang pasar ekuitas di negara-negara berkembang seperti, Indonesia.
Kedua, investor perlu mencermati agenda pertemuan negara-negara produsen minyak mentah dunia yang tergabung dalam OPEC+, dijadwalkan akan digelar pada hari ini di Vienna, Austria untuk memutuskan kebijakan produksi minyak selanjutnya.
Seperti diwartakan Reuters, OPEC+ berencana untuk memangkas produksi minyak yang dikabarkan bisa mencapai lebih dari 1 juta barel per hari (bph), terbesar sejak pandemic Covid-19 yang melanda dunia pada akhir 2019 lalu.
Stephen Brennock, seorang analis senior di PVM Oil Associates di London, mengatakan bahwa tampaknya ada beberapa potensi kenaikan harga minyak setelah kerugian besar pada September.
"Peningkatan lebih lanjut dalam aktivitas perdagangan, ditambah dengan pengetatan fundamental minyak jangka pendek bisa mendorong harga minyak kembali ke US$ 100 per barel," kata Brennock dalam sebuah catatan penelitian, dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (04/10/2022).
Hal senada juga diungkapkan berbagai lembaga keuangan. Analis Goldman Sachs memperkirakan harga minyak jenis Brent bisa mencapai tiga digit selama tiga bulan ke depan, sebelum menanjak ke US$ 105 per barel selama enam bulan.
Sementara untuk jenis WTI diperkirakan akan melonjak ke US$ 95 per barel pada akhir tahun ini, sebelum menyentuh level US$ 100 per barel dalam enam bulan ke depan.
Analis Fitch Solutions memproyeksikan hal serupa, di mana pertemuan tersebut diperkirakan akan menjadi sinyal yang penting untuk pasar global.
"Kami memperkirakan pemotongan substansial akan dilakukan, yang tidak hanya akan membantu memperketat fundamental fisik tetapi mengirimkan sinyal penting ke pasar," kata Fitch Solutions dalam sebuah catatan.
Lantas, apa artinya ini bagi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri?
Meski harga BBM non subsidi telah turun pada 1 Oktober 2022 lalu, pemerintah masih bergeming dan tetap tidak menurunkan harga bensin Pertalite (RON 90) dan Solar subsidi.
Apakah dengan ramalan harga minyak akan kembali ke US$ 100 per barel, artinya harga Pertalite ini tidak akan diturunkan?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 105 per barel dan kurs Rp 14.700, maka harga keekonomian Pertalite mencapai Rp 14.450 per liter.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa harga Pertalite bisa turun bila harga minyak dunia stabil di level US$ 80 per barel.
Menurutnya, subsidi energi yang membengkak sampai Rp 502 triliun dan bahkan diperkirakan bisa mencapai Rp 653 triliun karena sejak beberapa bulan lalu harga minyak mentah dunia naik gila-gilaan atau berada di atas US$ 100 per barel.
"Turunnya harga minyak mentah dunia di level US$ 80 per barel mestinya menurunkan subsidi," ungkap Fahmy kepada CNBC Indonesia, dikutip (3/10/2022).
Fahmy menilai harga BBM Pertalite bisa turun Rp 2.500 per liter atau menjadi Rp 7.500 per liter dari yang saat ini Rp 10.000 per liter jika harga minyak bisa stabil di level US$ 80 per barel.
"Penurunan Pertalite sekitar Rp. 2.500 dan Pertamax sekitar Rp 2.300 per liter," tegasnya.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- S&P Global PMI Final Eropa per September 2022 (15:00 WIB)
- Rilis data tenaga kerja AS versi Automatic Data Processing Inc. (ADP) per September 2022 (19:15 WIB)
- Neraca Perdagangan AS (19:30 WIB)
- PMI Non-manufaktur ISM AS per September 2022 (20:45 WIB)
- Pertemuan OPEC+
Berikut beberapa agenda korporasi
- RUPST PT Anugerah Kagum Karya Utama Tbk (AKKU) (13:00 WIB)
- RUPSLBPT Wira Global Solusi Tbk (WGSH) (13:00 WIB)
- RUPSLB PT Centratama Telekomuniks IndonesiaTbk (CENT) (14:00 WIB)
Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (Agustus 2022 YoY) | 4.69% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,25% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022) | (1,1%) PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (Agustus 2022) | US$ 123,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA