
Wall Street 'Ijo Royo Royo', IHSG Bisa All Time High?

Pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati sentimen dari pergerakan bursa saham Wall Street yang ditutup melesat pada perdagangan kemarin karena pasar merespons positif terhadap menurunnya angka lowongan pekerjaan pada Agustus 2022, yang menandakan perekonomian AS mulai mendingin.
Relinya bursa Wall Street, tentunya menjadi sinyal positif bagi pasar saham Asia dan Indonesia karena bursa saham Paman Sam tersebut menjadi kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street meroket, ada potensi IHSG ikut melesat.
William Surya Wijaya, Direktur Uama PT Yugen Bertumbuh Sekuritas memperkirakan IHSG berpeluang menguat terbatas dengan rentang di kisaran 6.872-7.236.
"Pola pergerakan IHSG hingga saat ini masih terlihat berada dalam rentang konsolidasi wajar dengan pola tekanan yang belum terlihat berkurang. Namun, capital outflow secara year to date (ytd) masih terlihat cukup besar menunjukkan bahwa minat investasi ke dalam pasar modal Indonesia belum surut, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang turut mendorong penguatan IHSG secara ytd. Hari ini, IHSG berpotensi menguat terbatas," tutur dalam analisisnya.
Untuk sentimen penggerak pasar hari ini, investor sebaiknya mencermati beberapa data dari dalam maupun luar negeri.
Pertama, Biro Statistik Tenaga Kerja telah merilis angka lowongan pekerjaan AS per Agustus 2022, yang turun 10% dari 11,2 juta menjadi 10,05 juta pekerjaan. Angka tersebut juga di bawah perkiraan FactSet di 11,1 juta pekerjaan dan menjadi penurunan terbesar sejak April 2020. Selain itu, penghasilan riil turun 2,8%, jika disesuaikan dengan inflasi.
Rilis data ekonomi tersebut diawasi ketat oleh Fed karena pasar tenaga kerja yang ketat diprediksikan menjadi pendorong utama inflasi sulit melandai. Sebagai informasi, gap dari angka lowongan pekerjaan dengan angka pengangguran di AS pada Juli lalu sangat besar hingga membuat para pelaku bisnis untuk turut menaikkan upah dan bonus, sehingga masyarakat AS tetap konsumtif, di tengah inflasi yang melonjak.
Hal tersebut membuat angka inflasi sulit untuk turun ke target Fed di 2%. Padahal, di sepanjang tahun ini saja, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 300 basis poin (bps) untuk memperlambat daya konsumsi masyarakat.
"Dilihat dari penurunan angka lowongan pekerjaan dan tingginya jumlah masyarakat yang memasuki angka kerja pada Agustus yang hampir 900.000 orang, menunjukkan pasar tenaga kerja yang ketat telah berakhir," tutur Analis Navy Federal Credit Union Robert Frick dikutip CNBC International.
Namun, melansir data dari Departemen Tenaga Kerja AS bahwa gap tersebut kian mengecil, kini rasio antara angka lowongan pekerjaan dengan angka pengangguran menurun menjadi 1,67:1 dari sebelumnya 2:1.
![]() |
Hal tersebut meningkatkan potensi bahwa The Fed akan mengurangi keagresifannya untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya di November 2022. Jika benar terjadi, maka tekanan terhadap nilai tukar rupiah akan berkurang, sehingga harapannya dapat turut menopang pasar ekuitas di negara-negara berkembang seperti, Indonesia.
Kedua, investor perlu mencermati agenda pertemuan negara-negara produsen minyak mentah dunia yang tergabung dalam OPEC+, dijadwalkan akan digelar pada hari ini di Vienna, Austria untuk memutuskan kebijakan produksi minyak selanjutnya.
Seperti diwartakan Reuters, OPEC+ berencana untuk memangkas produksi minyak yang dikabarkan bisa mencapai lebih dari 1 juta barel per hari (bph), terbesar sejak pandemic Covid-19 yang melanda dunia pada akhir 2019 lalu.
Stephen Brennock, seorang analis senior di PVM Oil Associates di London, mengatakan bahwa tampaknya ada beberapa potensi kenaikan harga minyak setelah kerugian besar pada September.
"Peningkatan lebih lanjut dalam aktivitas perdagangan, ditambah dengan pengetatan fundamental minyak jangka pendek bisa mendorong harga minyak kembali ke US$ 100 per barel," kata Brennock dalam sebuah catatan penelitian, dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (04/10/2022).
Hal senada juga diungkapkan berbagai lembaga keuangan. Analis Goldman Sachs memperkirakan harga minyak jenis Brent bisa mencapai tiga digit selama tiga bulan ke depan, sebelum menanjak ke US$ 105 per barel selama enam bulan.
Sementara untuk jenis WTI diperkirakan akan melonjak ke US$ 95 per barel pada akhir tahun ini, sebelum menyentuh level US$ 100 per barel dalam enam bulan ke depan.
Analis Fitch Solutions memproyeksikan hal serupa, di mana pertemuan tersebut diperkirakan akan menjadi sinyal yang penting untuk pasar global.
"Kami memperkirakan pemotongan substansial akan dilakukan, yang tidak hanya akan membantu memperketat fundamental fisik tetapi mengirimkan sinyal penting ke pasar," kata Fitch Solutions dalam sebuah catatan.
Lantas, apa artinya ini bagi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri?
Meski harga BBM non subsidi telah turun pada 1 Oktober 2022 lalu, pemerintah masih bergeming dan tetap tidak menurunkan harga bensin Pertalite (RON 90) dan Solar subsidi.
Apakah dengan ramalan harga minyak akan kembali ke US$ 100 per barel, artinya harga Pertalite ini tidak akan diturunkan?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 105 per barel dan kurs Rp 14.700, maka harga keekonomian Pertalite mencapai Rp 14.450 per liter.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa harga Pertalite bisa turun bila harga minyak dunia stabil di level US$ 80 per barel.
Menurutnya, subsidi energi yang membengkak sampai Rp 502 triliun dan bahkan diperkirakan bisa mencapai Rp 653 triliun karena sejak beberapa bulan lalu harga minyak mentah dunia naik gila-gilaan atau berada di atas US$ 100 per barel.
"Turunnya harga minyak mentah dunia di level US$ 80 per barel mestinya menurunkan subsidi," ungkap Fahmy kepada CNBC Indonesia, dikutip (3/10/2022).
Fahmy menilai harga BBM Pertalite bisa turun Rp 2.500 per liter atau menjadi Rp 7.500 per liter dari yang saat ini Rp 10.000 per liter jika harga minyak bisa stabil di level US$ 80 per barel.
"Penurunan Pertalite sekitar Rp. 2.500 dan Pertamax sekitar Rp 2.300 per liter," tegasnya.
(aaf/luc)