Inflasi Bikin Dunia Kalang Kabut, Apa Sih Inflasi Itu?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 July 2022 14:40
Kesibukan aktivitas pembeli dan pedagang di Pasar Tradisional Kranji, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 2/4. Jelang memasuki Ramadhan pada esok hari harga sayuran mengalami kenaikan. (Cnbc Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Kesibukan aktivitas pembeli dan pedagang di Pasar Tradisional Kranji, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 2/4. Jelang memasuki Ramadhan pada esok hari harga sayuran mengalami kenaikan. (Cnbc Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi belakangan ini menjadi headline pemberitaan media tidak hanya di dalam negeri, tetapi di dunia. Beberapa negara mengalami inflasi tinggi, bahkan ada yang sangat tinggi.

Hal tersebut memberikan masalah yang lebih besar lagi, dunia terancam mengalami resesi. Tingginya inflasi membuat banyak bank sentral utama di dunia menaikkan suku bunganya secara agresif.

Inflasi yang tinggi membuat daya beli masyarakat merosot. Sementara belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian. Di sisi lain, suku bunga yang tinggi membuat ekspansi dunia usaha terhambat, alhasil perekonomian semakin tertekan, dan dunia terancam mengalami resesi.

Lantas, apa itu inflasi?

Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dalam periode waktu tertentu. Inflasi biasanya diukur secara bulanan, ada juga setiap kuartalan seperti di Australia.

Inflasi dilihat berdasarkan Consumer Price Index (CPI). Ketika angkanya positif berarti terjadi inflasi, sementara jika negatif artinya deflasi atau menurunnya harga barang dan jasa.

Inflasi dibagi menjadi dua, yakni inflasi headline yang menggambarkan kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Yang kedua inflasi inti, yakni inflasi yang tidak memasukkan item yang volatile (harganya naik turun dengan cepat). Kategori item volatil biasanya adalah harga energi dan pangan.

Inflasi bisa disebabkan oleh cost push atau demand pull, atau keduanya. Inflasi yang disebabkan oleh cost push misalnya yang terjadi saat ini di berbagai negara.

Perang Rusia dan Ukraina membuat harga minyak mentah dan pupuk meroket. Hal ini memicu kenaikan harga energi dan pangan yang termasuk dalam item volatile.

Kenaikan harga pupuk misalnya, akan biaya yang dikeluarkan petani untuk memproduksi tentunya akan meningkat. Alhasil harga pangan yang dijual juga akan lebih tinggi akibat kenaikan biaya produksi. Inilah yang disebut cost push inflation.

Sementara demand pull terjadi dari sisi konsumen, utamanya akibat kenaikan daya beli. Inflasi yang terjadi karena demand pull berdampak bagus bagi perekonomian, sebab memberikan gambaran meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga daya belinya menguat.

Ketika daya beli meningkat, konsumen bisa membeli lebih banyak barang. Semakin tinggi permintaan maka harganya akan naik, dan terjadi inflasi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi di Indonesia Menanjak, di Negara Lain Menggila

Badan Pusat Statistik (BPS) awal bulan ini melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%

Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.

Kelompok volatile menjadi pemicu kenaikan inflasi yang tinggi tersebut. Kenaikan harga kelompok volatile menembus 2,51% secara bulanan dan 10,07% secara tahunan. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. Jika dilihat lagi inflasi volatile meroket di item bahan makanan yang mencapai 2,3% secara bulanan dan 9,57% secara tahunan.

Hal ini lah yang disebut cost push inflation. Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.

BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).
Inflasi memang terus menanjak, tetapi jika dibandingkan dengan negara G20 lainnya, Indonesia masih termasuk rendah.

Inflasi di Amerika Serikat pada bulan Juni menembus 8,6% (yoy) menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Inflasi di Inggris lebih tinggi lagi yakni 9,1% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982. Jika dibandingkan dengan negara G20 lainnya, hanya China, Arab Saudi, Jepang dan Swiss yang inflasinya lebih rendah dari Indonesia.

Turki menjadi negara dengan inflasi paling tinggi diantara G20. Pada bulan Juni, inflasi di negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan tersebut tercatat melesat 78,62% (yoy) yang merupakan titik tertinggi dalam 24 tahun terakhir.

Tingginya harga minyak mentah dan komoditas energi lainnya menjadi salah satu penyumbang inflasi, selain juga harga pangan.

Inflasi sektor transportasi dilaporkan melesat lebih dari 123%, kemudian harga makanan naik nyaris 94%.

Lagi-lagi meroketnya harga-harga tersebut akibat cost push inflation.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Bank Sentral Agresif Kerek Suku Bunga, Resesi di Depan Mata

Guna meredam tingginya inflasi, bank sentral sangat agresif menaikkan suku bunga. Bank sentral Amerika Serikat AS atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) hingga Juni lalu, sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Bulan ini, bank sentral paling l di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50 - 75 basis poin, dan di akhirnya tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.

Alhasil, banyak yang meramal negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut akan mengalami resesi.

Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara "Street Signs Asia" CNBC International, Selasa lalu mengatakan kenaikan suku bunga yang agresif tersebut akan memicu resesi, tidak hanya di AS negara besar lainnya yga akan mengalami hal yang sama.

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

Dari semua negara tersebut, hanya bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan bank sentral Jepang (BoJ) yang belum menaikkan suku bunga. Tetapi ECB sudah mengatakan akan menaikkan di bulan ini dan September, jadi hanya Jepang saja yang tidak ikut arus.

Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) sudah 5 kali menaikkan suku bunga hingga Juni lalu. Suku bunga BoE saat ini 1,25% menjadi yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir.

Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) Selasa kemarin kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,35%, tertinggi sejak Maret 2019. RBA sudah menaikkan suku bunga dalam 3 bulan beruntun.

Bank sentral Kanada dan Korea Selatan juga sudah menaikkan suku bunga beberapa kali.

"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," kata Subbraman.

Jepang merupakan negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar ketiga di dunia, Inggris berada di urutan kelima.

Kanada di urutan kesepuluh, Korea Selatan dan Australia masing-masing menempati urutan dua belas dan tiga belas.

Kemudian zona euro terdiri dari 19 negara, yang termasuk di dalamnya Jerman Prancis dan Italia, yang masuk 10 besar negara dengan perekonomian terbesar di dunia. PDB total 19 negara tersebut berada menjadi yang terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Ketika para raksasa ekonomi tersebut mengalami kontraksi beruntun, maka dunia akan mengalami resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular