Sudah 4 Hari Rupiah Terkoreksi di Eropa, Ternyata Gegara Ini

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
20 May 2022 12:25
A pound coin is placed on broken glass and EU flag in this illustration picture taken January 28, 2019. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: Ilustrasi koin Poundsterling (REUTERS / Dado Ruvic)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah kembali terkoreksi terhadap euro, poundsterling, dan dolar franc swiss pada perdagangan hari ini, Jumat (20/5/2022). Dengan begitu, Mata Uang Garuda telah terkoreksi selama empat hari beruntun di Benua Biru.

Melansir Refinitiv, pukul 11:30 WIB, rupiah terkoreksi tajam terhadap euro sebanyak 0,99% ke Rp 15.600/EUR dan rupiah anjlok terhadap poundsterling 1,29% di Rp 18.353,58/GBP.

Hal serupa terjadi pada dolar franc swiss menguat terhadap Mata Uang Tanah Air sebesar 1,83% ke Rp 15.134,08/CHF.

Dengan inflasi yang melonjak di wilayah Eropa dan mencapai 7,4% di April, bank sentral Eropa (ECB) mengkonfirmasi rencana pertemuan untuk mengakhiri skema pembelian obligasi pada kuartal III-2022, tapi mempertahankan nada yang tidak berkomitmen dan menghindari janji termasuk menaikkan suku bunga.

Pasar saat ini memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 107 basis poin untuk sisa tahun ini atau sedikit lebih dari seperempat persen kenaikan pada setiap pertemuan kebijakan mulai Juli dan seterusnya.

Hampir semua pembuat kebijakan telah berbicara secara terbuka untuk mendukung kenaikan suku bunga pada Juli yang jika benar terjadi, hal tersebut merupakan kenaikan pertama dalam lebih dari satu dekade.

Suku bunga acuan ECB saat ini berada di wilayah negatif di 0,5% dan diprediksikan akan kembali ke wilayah positif tahun ini.

Di wilayah Inggris, semenjak inflasi Inggris di bulan April yang melonjak hingga menyentuh 9% dan tertinggi sejak 40 tahun, nampaknya berdampak pada level pesimisme masyarakatnya.

Mengacu pada data riset pasar Gfk bahwa pengukur moral konsumen telah menyentuh level terendah sejak 1974 dan berada di -40 di bulan Mei dari -38 di bulan April.

Survei tersebut ikut menekan Menteri Keuangan Rishi Sunak untuk segara memberikan lebih banyak bantuan kepada rumah tangga yang menghadapi inflasi tertinggi sejak awal 1980-an.

Tidak hanya itu, ukuran optimisme ekonomi untuk 12 bulan mendatang menyamai rekor terendah pada April 2020 ketika pandemi Covid-19 melanda negara tersebut.

"Kepercayaan konsumen sekarang lebih lemah daripada di hari-hari tergelap krisis perbankan global, dampak Brexit terhadap ekonomi, atau penutupan COVID," kata Joe Staton, direktur strategi klien di GfK yang dikutip dari Reuters.

Bahkan, resesi di awal 1980-an dan awal 1990-an ketika suku bunga dua digit dan pengangguran tinggi, menghasilkan lebih sedikit pesimisme ketimbang krisis saat ini yang utamanya disebabkan oleh perang antara Rusia-Ukraina. 

Gfk juga menerapkan metodologi ke survei Komisi Eropa yang sebanding, tapi konsumen Inggris menunjukkan angka yang lebih suram daripada rekan-rekan mereka di Perancis dan Jerman jika melihat catatan sejak 1985.

Angka inflasi yang menyentuh 9% di bulan April, menekan Bank of England (BOE) untuk bertindak lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya di pertemuan selanjutnya. 

Dengan demikian, keagresifan ECB dan BOE untuk menaikkan suku bunga acuannya, membuat nilai mata uangnya pun terbantu menguat. Tidak heran jika rupiah pun tertekan selama empat hari beruntun di Eropa.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) dijadwalkan akan menggelar pertemuan selanjutnya pada 23 dan 24 Mei 2022. Namun, kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan tersebut masih sangat minim. 

Walaupun inflasi di April telah melonjak dan menjadi level tertinggi sejak empat tahun enam bulan di 3,47%, tapi masih dalam kisaran target BI di 2-4%. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Eropa Diprediksi Melambat, Tapi Euro Cs Masih Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular