Rupiah Sukses Libas 2 Mata Uang Ini di Eropa, Kok Bisa?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
06 June 2022 13:01
FILE PHOTO: Wads of British Pound Sterling banknotes are stacked in piles at the Money Service Austria company's headquarters in Vienna, Austria, November 16, 2017. REUTERS/Leonhard Foeger/File Photo
Foto: Pound Sterling (REUTERS/Leonhard Foeger)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah berhasil berjaya terhadap poundsterling dan dolar franc swiss pada perdagangan hari ini, Senin (6/6). Namun, rupiah bergerak stagnan terhadap euro. Sentimen kurang baik masih menyelimuti wilayah Eropa dan Inggris.

Melansir Refinitiv, pukul 11:35 WIB, rupiah menguat tajam terhadap poundsterling sebanyak 1,01% ke Rp 18.026/GPB dan rupiah terapresiasi terhadap dolar franc swiss 0,76% di Rp 14.992/CHF.

Namun, Mata Uang Ibu Pertiwi bergerak stagnan terhadap euro, 1 euro dibanderol dengan Rp 15.560/EUR.

Dari sisi fundamental, wilayah Eropa sedang diselimuti kabar tak sedap. Pasalnya, Kepala Eksekutif Citigroup Inc Jane Fraser mengatakan pada hari Jumat (3/6) bahwa Eropa lebih mungkin daripada Amerika Serikat (AS) untuk tergelincir ke dalam resesi.

Hal tersebut karena Eropa benar-benar terdampak dari sektor energi karena biaya listrik dan biaya energi melonjak sehingga beberapa dari perusahaan energi menutup operasional.

Selain itu, pengawas utama bank sentral Eropa (ECB) Andrea Enria berharap bahwa ECB dan bank-bank zona Eropa segera menjual aset yang berada di Rusia karena ekonomi Rusia yang menyusut dan terisolasi oleh sanksi besar-besaran yang dijatuhkan para negara Barat.

Sehingga, banyak pemberi pinjaman zona Eropa termasuk Societe Generale dari Prancis dan Raiffeisen Bank International dari Austria ingin segera meninggalkan Rusia.

"Semua bank Eropa mengatakan mereka akan menjual, mereka semua mencoba untuk menjual. Ada yang sudah jual dan ada juga sedang negosiasi - prosesnya tidak mudah, saya harap bisa segera selesai," tambahnya yang dikutip dari Reuters.

Bank-bank menghindari penurunan pada pendapatan mereka karena ekonomi Rusia yang terus mengalami kemerosotan akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaannya.

Selain itu, di Inggris, ketika biaya hidup tengah menjadi masalah bagi masyarakatnya, kini harus dihadapkan dengan biaya pesawat yang tinggi karena banyaknya permintaan yang melebihi kemampuan maskapai.

Pada Minggu (5/6), Menteri Transportasi Inggris Grant Shapps mengatakan akan bekerja sama dengan industri penerbangan untuk menghindari terulangnya kekacauan di bandara pekan lalu karena penumpang mengalami penundaan keberangkatan hingga ratusan pembatasan penerbangan.

Hal tersebut karena melonjaknya permintaan pasca-pandemi dan dibarengi dengan libur sekolah dan adanya libur panjang untuk memperingati 70 tahun Ratu Elizabeth di atas takhta.

Shapps menyatakan bahwa maskapai penerbangan harus berhenti menjual tiket untuk penerbangan yang tidak dapat mereka tangani dan industri harus menyelesaikan masalah tersebut.

Harga tiket pesawat yang melonjak juga disebabkan oleh tingginya harga bahan bakar karena perang antara Rusia-Ukraina mendorong negara Barat dan Eropa untuk melarang impor minyak mentah Rusia.

Mahalnya harga tiket penerbangan tentunya akan memiliki implikasi signifikan bagi ekonomi dan dapat membahayakan sektor perjalanan yang belum sepenuhnya pulih dari penurunan drastis ketika pandemi.

Masalah utama bagi maskapai penerbangan sekarang yaitu kenaikan biaya bahan bakar jet yang melonjak 45% tahun ini menjadi US$ 3,29/galon. Namun, awal bulan Mei lalu harga sempat menyentuh US$ 4,07/galon yang tertinggi sejak 2008.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Eropa Diprediksi Melambat, Tapi Euro Cs Masih Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular