
Efek Perang: Yang Kaya Makin Happy, Si Miskin Gigit Jari!

Bila perusahaan berbasis komoditas menikmati cuan dari perang, Tidak halnya dengan masyarakat kebanyakan yang harus menanggung beban tambahan.
Kenaikan harga CPO, batu bara, dan migas membuat rakyat dibuat pusing karena harus membayar lebih untuk membayar komoditas yang sama.
Masyarakat kini harus membayar Pertamax lebih mahal karena harganya sudah dinaikkan sejak 1 April. Naiknya harga CPO bahkan sudah membuat geger Indonesia sejak Januari.
Melonjaknya harga CPO bukan hanya membuat harga minyak goreng melesat tapi juga menghilang dari pasaran. Di sejumlah wilayah seperti Sulawesi, minyak goreng bahkan dijual dengan harga RP 70 ribu per 2 liter.
Hilangnya minyak goreng bermula dari keputusan pemerintah untuk memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng pada 1 Februari.
Harga tersebut jauh di atas HET yang ditetapkan yakni Rp14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium dan Rp13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.
Kelangkaan minyak goreng membuat pemerintah menyerah dan memutuskan untuk melepas minyak goreng sesuai harga pasar mulai 17 Maret. Anehnya, minyak goreng langsung bermunculan di toko ritel tapi dengan harga yang mahal yakni Rp 25.000 per liter.
Status Indonesia sebagai produsen terbesar CPO terbesar di dunia nyatanya tidak mampu membuat Indonesia mengatasi persoalan minyak goreng. Padahal, penggunaan CPO untuk konsumsi pangan kecil.
Pada tahun 2021, produksi CPO Indonesia mencapai 46, 9 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya 8,9 juta ton yang digunakan untuk pangan. Bandingkan ekspor CPO yang menembus 34,2 juta ton.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Misbakhun mengatakan ketidaksanggupan pemerintah untuk menangani krisis minyak goreng di Indonesia adalah kegagalan total. Dia menjelaskan Persoalan minyak goreng sudah memberikan dampak bahaya yang sama seperti teroris dan mengganggu stabilitas.
"Kalau menurut saya ini sudah menjadi terorisme ekonomi, negara harus menggunakannya segala cara, karena kewibawaan negara mau diatur. Ini pertama kalinya komoditas minyak goreng mengganggu makro ekonomi," tutur Misbakhun dalam diskusi publik secara virtual bertajuk Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu,Kamis (7/4/2022).
Dia mengingatkan selama ini pengusaha kelapa sawit sudah dihadiahi begitu banyak insentif dan kemudahan. Namun, mereka malah tidak mau bersatu dengan pemerintah menangani krisis minyak goreng.
"Pengusaha ini kan lahannya pakai lahan negara, ada hak rakyat di sana. Kreditnya pakai bank BUMN, ada peran negara. Mereka juga mendapatkan iklim investasi yang diciptakan pemerintah," imbuhnya.
Misbakhun mengatakan pemerintah sebenarnya memiliki banyak alat untuk memaksa tunduk pengusaha sawit. Salah satunya adalah dengan memperpendek masa HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanyaan Nasional (ATR/BPN),
"Kalau kita perpendek, nangis mereka, nah itu alatnya negara, kalau orang dibina tidak mau ya ditekan. Hutan kita sudah 13 juta hektar yang berada dalam lahan sawit, kita ini ibarat ayam mati di lumbung padi, penghasil batu bara terbesar harga energinya mahal, sama seperti minyak goreng," ujarnya.
Mirip dengan minyak goreng, status Indonesia sebagai eksportir terbesar batu bara menjadi ironis pada Januari lalu. Pemerintah melarang ekspor batu bara di Januari karena PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menjadi distributor listrik terbesar Indonesia kekurangan pasokan batu bara.
Tingginya harga batu bara membuat ekspor melonjak tajam tapi ironisnya PLN kesulitan pasokan. Padahal, Indonesia bisa terancam massal jika PLN kekurangan pasokan batu bara.
Dalam diskusi yang sama, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengingatkan harga pangan dan energi sudah membuat inflasi komoditas pangan meningkat. Kenaikan harga gandum sudah berimbas pada meningkatnya harga roti tawar, sereal, mie instan kering, dan mie instan basah.
![]() Tingkat inflasi komoditas pangan |
Margo mengatakan kenaikan harga komoditas pangan dan energi bisa menurunkan daya beli, meningkatkan kemiskinan, serta melemahkan pertumbuhan ekonomi yang bisa menambah pengangguran. Pasalnya, sebagian besar pengeluaran masyarakat miskin dihabiskan untuk makanan, terutama bagi masyarakat yang masuk ke dalam kuintil I atau 20% penduduk termiskin.
Sebagai mana diketahui, BPS membagi pola konsumsi penduduk berdasarkan pengeluarkan dalam lima kelompok. Kuintil 1 merupakan 20% penduduk termiskin, kuantil 2 adalah 20% penduduk miskin dan rentan, kuintil 3 adalah 20% penduduk dengan pengeluaran moderat, kuintil 4 merupakan 20% penduduk dengan pengeluaran menengah ke atas, dan kuintil 5 adalah 20% penduduk terkaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]