Efek Perang: Yang Kaya Makin Happy, Si Miskin Gigit Jari!

Maesaroh, CNBC Indonesia
08 April 2022 13:59
Bongkar Muat Batu Bara
Foto: Pekerja melakukan bongkar muat batubara di Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (6/1/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina melambungkan harga-harga komoditas. Di satu sisi, melambungnya harga komoditas semakin menggelembungkan cuan perusahaan berbasis komoditas. Namun, di sisi lain, kenaikan harga komoditas pangan dan energi semakin membuat masyarakat miskin tenggelam dalam pusingnya menghadapi kenaikan harga kebutuhan sehari-hari.

Ibarat gajah bertarung melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Masyarakat miskin terancam menjadi korban dari mahalnya harga komoditas pangan dan energi. Perang juga membuat lagu Rhoma Irama bahwa membuat yang kaya makin sementara yang miskin makin miskin menjadi semakin nyata.

Saham-saham berbasis komoditas energi, perkebunan, minyak dan gas, serta logam menjadi incaran investor seiring memanasnya perang Rusia-Ukraina.
Status Rusia dan Ukraina sebagai pemasok komoditas pangan dan energi global membuat kelangsungan pasokan kedua komoditas tersebut terancam setelah perang. Harganya pun melejit.


Merujuk Data Badan Energi Internasional (IEA), pada tahun 2020, perdagangan global batu bara thermal mencapai 978 juta ton. Indonesia adalah eksportir terbesar untuk thermal batu bara dengan kontribusi hingga 40%. Australia ada di posisi kedua dengan porsi 20%, disusul kemudian dengan Rusia ( 18%), Afrika Selatan (8%), Kolombia (5%), dan Amerika Serikat (2,55).

Batu bara menjelma menjadi idola dalam pasar komoditas setelah perang karena banyak negara kini mencari pasokan batu bara untuk menggantikan Rusia.
Harga batu bara melejit dari level di bawah US$200 per ton di awal Februari ke kisaran US$ 400 di awal Maret. Harga batu bara bahkan mencetak rekor pada 2 Maret 2022 lalu ke level US$ 446 per ton.

Harga batu bara memang melemah 0,64% pada perdagangan Kamis (7/4) tetapi dalam setahun kenaikan harganya sudah mencapai 242,3%.

Ibarat dapat durian runtuh, perusahaan penghasil batu bara Indonesia pun menangguk untung besar dari panasnya situasi di Ukraina dan Rusia. Saham perusahaan batu bara pun terbang menyusul kenaikan emas hitam. Saham PT Adaro Energy Indonesia (ADRO) bahkan mencatat rekor tertingginya pada 7 Maret lalu di level Rp 3.270

Kenaikan harga batu bara juga diperkirakan akan semakin mendongrak pendapatan Adaro pada kuartal I tahun ini. Adaro membukukan kenaikan laba bersih 547% secara tahunan menjadi US$1,02 miliar per akhir 2021 karena pemulihan ekonomi global dan melonjaknya permintaan. Sebagai catatan, saham batu bara sudah naik drastis pada pertengahan tahun lalu karena krisis energi di tingkat global.

Selain Adaro, Indika Energy (INDY) dan Bayan Resources (BYAN) juga mencatatkan kinerja yang pesat. Sepanjang tahun ini, saham INDY sudah naik 72,8% sementara Bayan Resources melonjak 59,6%.

Berdasarkan laporan Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Indo Tambangraya Megah (ITMG) akan sangat diuntungkan dari kenaikan harga batu bara karena memiliki porsi 76% sementara ADRO hanya 72% dan dan Bukit Asam (PTBA) yang hanya 43%. ADRO sudah menetapkan target produksi sebesar 59 juta ton pada tahun ini, naik 12%. Sementara itu, target produksi PTBA naik 21% menjadi 36 juta ton. ITMG akan meningkatkan produksi sebesar 1,6% menjadi 19 juta ton.

Produksi Batu baraSumber: Mirae Asset Sekuritas
Produksi Batu bara



Tidak mau kalah, saham-saham penghasil minyak kelapa sawit (CPO) juga tampil cemerlang karena perang. Status Rusia dan Ukraina sebagai salah satu penghasil minyak bijih matahari dunia membuat harga CPO melambung. Pasalnya, banyak negara kemudian memilih CPO sebagai alternatif minyak bijih matahari. 

Saham Astra Agro Lestari (AALI) sudah terbang 33,7% sementara samah Dharma Satya Nusantara melesat 26%. Di masa awal pandemi Covid-19, harga CPO memang sempat longsor. Pada Mei 2020 lalu harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia untuk kontrak 3 bulan sempat menyentuh harga 1.939 ringgit (MYR) per ton. Tetapi sejak saat itu, harga minyak nabati ini terus menanjak.


Pada 9 Maret lalu, CPO menyentuh harga MYR 7.268/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Sepanjang 2020, minyak sawit mentah tercatat membukukan penguatan 18%, dan di tahun 2021 melesat lebih dari 30%. Sepanjang kuartal I-2022, CPO mengalami kenaikan sekitar 21%.

Nikel pun tidak mau ketinggalan. Harga nikel mencatat rekor baru di bulan Maret lalu. Di awal Maret, bursa logam London (LME) bahkan menangguhkan perdagangan hingga seminggu karena aksi short selling membawa harga nikel mencapai lebih dari US$ 100.000/ton.

Rusia adalah produsen nikel terbesar nomor 3 di dunia dengan produksi 250.000 ton pada tahun 2021, mengacu data US Geological Survey (USGS). Jumlah ini setara dengan 9,25% produksi dunia.

Cadangan nikel Rusia mencapai 7,5 juta ton. Merupakan cadangan nikel terbesar keempat dunia dengan porsi 7,9% dari total cadangan seluruh dunia.

Menyusul lonjakan harga nikel, saham penghasil nikel di Indonesia pun melesat. Saham Vale Indonesia (INCO) sudah naik 58,12% sepanjang tahun ini sementara saham Timah Indonesia (TINS) naik 33,3%. 

Menurut Mirae, Aneka Tambang (ANTM) akan sangat diuntungkan kenaikan harga nikel. Meskipun penjualan emas menjadi kontributor utama ANTM tetapi nikel memberi margin lebih besar daripada emas.

Melengkapi kedigdayaan komoditas, saham-saham migas juga terbang selama perang. Saham Surya Esa Perkasa (ESSA) melonjak 199,1% sementara Energi Mega Persama melonjak 77,5%.

Bila perusahaan berbasis komoditas menikmati cuan dari perang, Tidak halnya dengan masyarakat kebanyakan yang harus menanggung beban tambahan.
Kenaikan harga CPO, batu bara, dan migas membuat rakyat dibuat pusing karena harus membayar lebih untuk membayar komoditas yang sama.

Masyarakat kini harus membayar Pertamax lebih mahal karena harganya sudah dinaikkan sejak 1 April. Naiknya harga CPO bahkan sudah membuat geger Indonesia sejak Januari.

Melonjaknya harga CPO bukan hanya membuat harga minyak goreng melesat tapi juga menghilang dari pasaran. Di sejumlah wilayah seperti Sulawesi, minyak goreng bahkan dijual dengan harga RP 70 ribu per 2 liter.


Hilangnya minyak goreng bermula dari keputusan pemerintah untuk memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng pada 1 Februari.
Harga tersebut jauh di atas HET yang ditetapkan yakni Rp14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium dan Rp13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.

Kelangkaan minyak goreng membuat pemerintah menyerah dan memutuskan untuk melepas minyak goreng sesuai harga pasar mulai 17 Maret. Anehnya, minyak goreng langsung bermunculan di toko ritel tapi dengan harga yang mahal yakni Rp 25.000 per liter.

Status Indonesia sebagai produsen terbesar CPO terbesar di dunia nyatanya tidak mampu membuat Indonesia mengatasi persoalan minyak goreng. Padahal, penggunaan CPO untuk konsumsi pangan kecil.

Pada tahun 2021, produksi CPO Indonesia mencapai 46, 9 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya 8,9 juta ton yang digunakan untuk pangan. Bandingkan ekspor CPO yang menembus 34,2 juta ton.



Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Misbakhun mengatakan ketidaksanggupan pemerintah untuk menangani krisis minyak goreng di Indonesia adalah kegagalan total. Dia menjelaskan Persoalan minyak goreng sudah memberikan dampak bahaya yang sama seperti teroris dan mengganggu stabilitas.

"Kalau menurut saya ini sudah menjadi terorisme ekonomi, negara harus menggunakannya segala cara, karena kewibawaan negara mau diatur. Ini pertama kalinya komoditas minyak goreng mengganggu makro ekonomi," tutur Misbakhun dalam diskusi publik secara virtual bertajuk Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu,Kamis (7/4/2022).

Dia mengingatkan selama ini pengusaha kelapa sawit sudah dihadiahi begitu banyak insentif dan kemudahan. Namun, mereka malah tidak mau bersatu dengan pemerintah menangani krisis minyak goreng.

"Pengusaha ini kan lahannya pakai lahan negara, ada hak rakyat di sana. Kreditnya pakai bank BUMN, ada peran negara. Mereka juga mendapatkan iklim investasi yang diciptakan pemerintah," imbuhnya.

Misbakhun mengatakan pemerintah sebenarnya memiliki banyak alat untuk memaksa tunduk pengusaha sawit.  Salah satunya adalah dengan memperpendek masa HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanyaan Nasional (ATR/BPN),

"Kalau kita perpendek, nangis mereka, nah itu alatnya negara, kalau orang dibina tidak mau ya ditekan. Hutan kita sudah 13 juta hektar yang berada dalam lahan sawit, kita ini ibarat ayam mati di lumbung padi, penghasil batu bara terbesar harga energinya mahal, sama seperti minyak goreng," ujarnya.

Mirip dengan minyak goreng, status Indonesia sebagai eksportir terbesar batu bara menjadi ironis pada Januari lalu. Pemerintah melarang ekspor batu bara di Januari karena PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menjadi distributor listrik terbesar Indonesia kekurangan pasokan batu bara.

Tingginya harga batu bara membuat ekspor melonjak tajam tapi ironisnya PLN kesulitan pasokan. Padahal, Indonesia bisa terancam massal jika PLN kekurangan pasokan batu bara.

Dalam diskusi yang sama, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengingatkan harga pangan dan energi sudah membuat inflasi komoditas pangan meningkat. Kenaikan harga gandum sudah berimbas pada meningkatnya harga roti tawar, sereal, mie instan kering, dan mie instan basah.

Tingkat inflasi komoditas panganSumber: BPS
Tingkat inflasi komoditas pangan

Margo mengatakan kenaikan harga komoditas pangan dan energi bisa menurunkan daya beli, meningkatkan kemiskinan, serta melemahkan pertumbuhan ekonomi yang bisa menambah pengangguran. Pasalnya, sebagian besar pengeluaran masyarakat miskin dihabiskan untuk makanan, terutama bagi masyarakat yang masuk ke dalam kuintil I atau 20% penduduk termiskin.

Sebagai mana diketahui, BPS membagi pola konsumsi penduduk berdasarkan pengeluarkan dalam lima kelompok. Kuintil 1 merupakan 20% penduduk termiskin, kuantil 2 adalah 20% penduduk miskin dan rentan, kuintil 3 adalah 20% penduduk dengan pengeluaran moderat, kuintil 4 merupakan 20% penduduk dengan pengeluaran menengah ke atas, dan kuintil 5 adalah 20% penduduk terkaya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Komoditas Menggila Sepekan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular