Jokowi Marah 4 Bulan Tak Kelar, Ini Biang Kerok Awal Migor!

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
08 April 2022 13:21
Pengunjung melihat minyak goreng kemasan yang dijual di Lotte Grosir, Alam Sutera, Tagerang Selatan, Jumat (18/3/2022). Mulai pukul 00.00 16 Maret 2022 pemerintah mencabut ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: Pengunjung melihat minyak goreng kemasan yang dijual di Lotte Grosir, Alam Sutera, Tagerang Selatan, Jumat (18/3/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta,CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentil keras ke para menterinya soal krisis minyak goreng yang sudah bergulir empat bulan. Persoalan minyak goreng sudah ada tanda-tanda naik di Desember 2022, dan baru jadi perhatian pemerintah akhir Januari 2022.

"Jangan sampai kita ini seperti biasanya dan tidak dianggap oleh masyarakat melakukan apa-apa, tidak ada statement, tidak ada komunikasi harga minyak goreng sudah 4 bulan, tidak ada penjelasan apa-apa, kenapa ini terjadi," kata Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna sebagaimana video yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (6/4/2022).

Bagaimana awal harga minyak goreng naik sehingga jadi persoalan kelangkaan?

Masalah ini merupakan rangkaian akumulasi dari berbagai faktor, selain internal di Indonesia hingga masalah global sejak tahun lalu. Pandemi, krisis energi di banyak negara hingga masalah produksi sawit,  hingga gangguan produksi minyak nabati lain selain sawit terutama di Eropa, dan faktor lainnya.

Di dalam negeri misalnya, penyebaran virus Covid-19 membuat aktivitas produksi di kebun kelapa sawit lesu yang juga berpengaruh terhadap produksi CPO. Pada tahun 2020 turun untuk pertama kalinya setelah selama empat tahun terakhir selalu bertumbuh. Saat itu, produksi CPO Indonesia tercatat 47,03 juta ton. Jumlah ini turun 146.000 ton dari produksi tahun 2019.

Kemudian pada tahun 2021, produksi CPO pun kembali turun. Selain karena faktor Covid-19, faktor cuaca juga menyebabkan produksi menjadi menyusut. Pada bulan Januari tahun 2021, produksi turun 260.000 ton dari bulan Desember 2021. Lalu kembali turun 342.000 ton pada bulan Februari hingga menjadi 3,08 juta ton.

Pada bulan-bulan berikutnya produksi bulanan CPO Indonesia berada dalam tren menanjak hingga bulan Agustus. Namun saat memasuki bulan musim penghujan, produksi CPO bulanan secara perlahan terus menyusut. Pada tahun 2021, produksi total CPO pun menyusut 146.000 ton menjadi 46,89 juta ton.

Menyusutnya produksi di Indonesia mendongkrak harga CPO global pada tahun 2021. Pasalnya produksi Indonesia setara dengan 60% dari total produksi dunia.

Selain karena Indonesia, produksi sawit di Malaysia juga jadi faktor pendorong harga minyak kelapa sawit global. Produksi Malaysia turun karena kendala tenaga kerja dan lonjakan kasus Covid-19 di negeri jiran itu.

Faktor lain diduga karena ada peningkatan konsumsi CPO untuk kebutuhan non pangan khususnya biodiesel. Porsi konsumsi CPO kebutuhan pangan untuk salah satunya minyak goreng cenderung menurun sejak 2015 hingga 2021. Pada tahun 2015 porsi konsumsi pangan dibanding produksi sebesar 21,4%. Namun pada tahun 2021 susut menjadi 19,1% dengan jumlah 8,95 juta ton, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Pertumbuhan konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan pun cenderung stagnan. Hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi untuk biodisel yang meningkat 10x lipat pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2015 seiring dengan aturan penggunaan CPO sebagai campuran bahan bakar.

Adanya kesenjangan antara pasokan minyak kelapa sawit mentah untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Sehingga memicu kenaikan permintaan dan mendongkrak harga CPO, dan berimbas pada harga minyak goreng di Indonesia pun meroket. 

Faktor lain yang turut membuat harga minyak goreng naik adalah pasokan minyak nabati pengganti CPO dunia pada tahun 2021/2022 turun. Turunnya pasokan ini menambah permintaan CPO di pasar global.

Ekspor minyak biji bunga matahari tercatat 12,17 juta ton turun 9,65% dan minyak rapeseed turun 7% menjadi 5,39 juta ton. Sementara minyak kedelai naik tipis 2,43% menjadi 11,8 juta ton.

Ketiga minyak nabati tersebut banyak digunakan oleh negara-negara Eropa. Akibatnya ekspor CPO ke Eropa pun melonjak. Berdasarkan data BPS nilai ekspor CPO Indonesia ke Eropa pada tahun 2021. senilai US$ 3,45 miliar atau Rp 49,33 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Nilai tersebut naik 32% dibandingkan tahun 2020. 

Selain faktor-faktor di atas, masalah penanganan lonjakan harga minyak goreng melalui berbagai kebijakan pemerintah justru tak efektif, seperti harga eceran tertinggi hingga pembatasan ekspor CPO atau DMO minyak sawit. Kini harga minyak goreng kemasan dilepas ke mekanisme pasar, hanya minyak goreng curah yang  masih ada intervensi pemerintah melalui subsidi.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Berlumur Minyak CPO, Potret Pekerja Penguras Kapal di Priok

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular