Terungkap! Banyak yang Cari Batu Bara, Tapi RI Tak Bisa Sedia

Maesaroh & Maesaroh, CNBC Indonesia
05 April 2022 12:58
Pengapalan batu bara. (Dok: PLN)
Foto: Pengapalan batu bara. (Dok: PLN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina tidak hanya menyebarkan berita buruk kepada dunia. Konflik kedua negara juga memberikan keuntungan kepada sejumlah pihak, terutama penghasil komoditas. Batu bara menjadi satu dari banyak komoditas yang melambung harganya karena perang.

Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 25 Februari lalu, harga batu bara terus melejit bahkan mencatat rekor ke level US$ 446 pada 2 Maret lalu. Melambungnya harga batu bara tentu saja membuat saham-saham perusahaan penghasil batu bara terbang.

Saham PT Adaro Energy, misalnya, melesat 30% sepanjang tahun ini sementara PT Bukit Asam melonjak 27%. Saham Adaro bahkan mencatat rekor tertingginya pada 7 Maret lalu di level Rp 3.270

Melambungnya harga batu bara utamanya dipicu kekhawatiran akan kelangkaan pasokan setelah Rusia diberi sanksi ekonomi oleh Dunia Barat. Sanksi dalam bentuk larangan ekspor hingga pemblokiran sistem keuangan dunia Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).

Sanksi tersebut tentu saja membuat negara-negara importir batu bara berburu pasokan batu bara ke negara lain, seperti Indonesia, China, dan Australia. Pasokan yang dicari terutama untuk batu bara thermal yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), pada tahun 2020, perdagangan global batu bara thermal mencapai 978 juta ton. Indonesia adalah eksportir terbesar untuk thermal batu bara dengan kontribusi hingga 40%. Australia ada di posisi kedua dengan porsi 20%, disusul kemudian dengan Rusia ( 18%), Afrika Selatan (8%), Kolombia (5%), dan Amerika Serikat (2,55). Dari sisi importir, negara pembeli terbesar batu bara thermal adalah China (23%), India (15%), Jepang (14%).

Negara penghasil batu bara thermal terbesar di duniaSumber: Capital Economics

Sayangnya, Indonesia tidak mudah bagi Indonesia menggantikan posisi yang ditinggalkan Rusia. Direktur Executive Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan potensi Indonesia untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan Rusia terbuka.

Terlebih, banyak negara Eropa yang mencari pasokan batu bara baru karena sanski mereka terhadap Rusia. "Potensi Indonesia dalam memenuhi pasar Eropa yang ditinggalkan oleh Rusia atau lebih tepatnya negara-negara Eropa yang menghentikan pasokan dari Rusia, peluang tetap ada tapi tidak mudah," tutur Hendra, kepada CNBC Indonesia.

Hendra menjelaskan kualitas batu bara Indonesia kurang memenuhi standar negara Eropa. Mayoritas batu bara produksi Indonesia berkualitas menengah-rendah.

"Batu bara yang dibutuhkan dimana negara-negara Eropa umumnya mencari batu bara dengan kualitas menengah tinggi sementara rata-rata kualitas batubara kita di menengah-rendah," ujarnya.


Dia menjelaskan produsen batu bara Indonesia juga tidak bisa meningkatkan produksi dalam waktu cepat karena keterbatasan peralatan. Sebagai catatan, Kementerian ESDM menargetkan produksi batu bara Indonesia bisa mencapai 663 juta ton di tahun ini, naik dibandingkan pada tahun 2021 yakni 614 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 497,2 juta ton akan diekspor sementara sebanyak 165,7 juta akan digunakan pasar dalam negeri untuk memenuhi Domestic Market Obligation (DMO).

"Tidak banyak banyak perusahaan yang punya slot tersisa untuk ekspor 2022," imbuh Hendra.

Terkait alat berat, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Patria Sjahrir mengatakan butuh waktu hingga 18 bulan bagi kontraktor untuk mendapatkan peralatan baru.

"Ada isu terkait supply chain terutama karena peralatan. Karena perang, peralatan baru mungkin baru bisa datang setelah 18 bulan. Perang juga membuat perusahaan sulit mengestimasi harga peralatan tersebut," tutur Sjahrir, kepada S&P Global Commodity. Sjahrir menjelaskan sebagian besar peralatan datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan China.

Hendra menjelaskan produksi yang belum pulih juga menjadi tantangan Indonesia untuk meningkatkan produksi. Produsen batu bara Indonesia  menurunkan produksi di awal tahun karena kebijakan larangan ekspor sehingga produksi belum sepenuhnya pulih. Sebagai catatan, pemerintah melarang ekspor batu bara pada bulan Januari tahun ini karena minimnya pasokan batu bara untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"Produksi di kuartal-I masih rendah dibandingkan tahun sebelumnya karena Januari produksi terhambat kebijakan larangan ekspor," ujarnya.

Beberapa perusahaan besar batu bara hanya menargetkan produksi batu bara dalam jumlah yang moderat untuk tahun ini. PT Bumi Resources menargetkan produksi baru bara di tahun ini sebesar 85-90 juta ton, naik tipis dibandingkan 2021 yang mencapai 78-80 juta ton. Adaro Energy Tbk (SDRO) menargetkan produksi batu bara sebesar 58-60 juta ton pada tahun ini.

Mahalnya ongkos pengiriman juga menjadi kendala Indonesia dalam mengejar pasar Eropa. "Harga freight yang tidak kompetitif," ujar Hendra.

Secara geografis, Indonesia jauh dari Eropa sementara pesaing Indonesia lain seperti Afrika Selatan, Kolombia, lebih dekat ke Benua Biru. Berdasarkan laporan S&P Global, biaya sewa kapal tanker minyak sudah naik tiga kali lipat karena pemilik kapal harus menghadapi risiko kesulitan pengiriman dan bongkar muat.

Kendati terbatas, Hendra menjelaskan ada beberapa perusahaan yang dikabarkan tengah menjajaki peluang untuk masuk ke beberapa negara Eropa. "Kami mendengar ada beberapa perusahaan yang meng-explore peluang untuk memasok ke Polandia, Spanyol, dan Italia," ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM dan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara Indonesia terus mengalami kenaikan tajam. Dalam rentang waktu 2016-2020, ekspor meningkat dari 331,13 juta ton menjadi 405,05 juta ton pada tahun 2020. Pada tahun lalu, ekspor diperkirakan mencapai 435 juta ton.

Ekspor batu bara Indonesia sebagian besar dikirim ke negara Asia seperti China, India, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea selatan. Taiwan, Vietnam, Thailand, hingga Hong Kong.


Dileep Srivastava, direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources, mengatakan tidak mudah bagi produsen batu bara Indonesia untuk memenuhi pasokan yang ditinggalkan Rusia.

"Untuk saat ini, Indonesia kurang mampu maju (menggantikan posisi Rusia) dan memenuhi permintaan baru," tutur Dileep, kepada CNBC Indonesia.

Dia menambahkan peningkatan produksi batu bara Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti cuaca. Curah hujan yang tinggi dan fenomena La Nina telah berdampak besar terhadap produksi batu bara di Indonesia sejak Desember tahun lalu.


"Kondisi ini berdampak terhadap produksi batu bara satu hingga dua bulan setelahnya (Desember)," tutur Dileep kepada CNBC Indonesia.

Sebagai catatan, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan puncak La Nina terjadi pada Januari-Februari yang mengakibatkan peningkatan curah hujan dari 20-70% di atas normal. "Produsen juga memprioritaskan DMO dibandingkan ekspor sehingga ada penurunan di ekspor," imbuhnya.

Dalam ketentuan DMO, pengusaha wajib menjual batubara ke PLN sebesar 25% dari total produksi dengan harga US$ 70 per metrik ton. Kewajiban DMO dan larangan ekspor batu bara di Januari membuat ekspor batu bara Indonesia jeblok. 

Sampai Januari 2022 ini, produksi batu bara mencapai 34 juta ton atau 5% dari rencana produksi 663 juta ton. Sementara realisasi batu bara DMO mencapai 13 juta ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan turunnya volume ekspor batu bara pada Januari 2022 sebesar 61,3% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu (year on year/ yoy). Mengutip data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Selasa (15/02/2022), ekspor batu bara pada Januari 2022 baru tercatat sebesar 4,76 juta ton dari total produksi sekitar 35,33 juta ton.

Dileep menambahkan keengganan institusi asing dan bank memberikan pinjaman ke produsen batu bara juga membuat mereka tidak mampu meningkatkan produksi dengan cepat. "Sektor batu bara tidak mampu meningkatkan kapasitas produksinya dengan cepat karena keengganan bank mendanai sektor tersebut sehingga selisih antara permintaan dan pasokan makin melebar,"ujarnya.

Senada, Sjahrir juga mengatakan produsen batu bara memiliki keterbatasan akses pembiayaan karena kebijakan kini banyak difokuskan ke energi hijau. Dileep menambahkan China dan India kemungkinan bisa meningkatkan produksi dalam waktu cepat untuk menggantikan Rusia. Namun, pasokan dari kedua negara kemungkinan tetap terhambat dalam jangka menengah.

"Kondisi inilah yang membuat harga batu bara thermal bisa tetap tinggi sepanjang tahun ini," ujar Dileep.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular