Pungutan Naik, Monggo.. Ekspor Minyak Sawit Masih Gas Terus

Maesaroh & Maesaroh, CNBC Indonesia
21 March 2022 09:04
Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Candali Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah resmi menaikkan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya mulai Jumat (18/3/2022). Namun, pungutan ekspor diyakini tidak akan mampu meredam kencangnya ekspor minyak sawit pada tahun ini. Pasalnya, kenaikan harga CPO di pasar internasional yang tinggi menjadi daya tarik pengusaha.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan perang Rusia-Ukraina membuat permintaan akan sawit meningkat karena menipisnya pasokan minyak nabati dari kedua negara tersebut.

"Dunia kondisinya tengah shortage sehingga kebutuhan meningkat. Selama kebutuhan dunia meningkat maka pungutan ekspor tidak terlalu berpengaruh," tutur Eddy, kepada CNBC Indonesia, Minggu (20/3).
Dia menjelaskan minyak sawit lebih murah dibandingkan minyak nabati lain sehingga menjadi alternatif untuk menutup kekurangan pasokan minyak nabati lain seperti bijih bunga matahari.

Namun, Eddy mengatakan kenaikan pungutan ekspor sawit akan membuat CPO dan produk turunan dari Indonesia kurang kompetitif dari Malaysia. Indonesia masih menghadapi persoalan logistik seperti tidak memadainya pelabuhan sehingga ongkos ekspor jadi mahal.

Dia mengingatkan pasokan CPO Indonesia terlaa berlimpah untuk memenuhi kebutuhan domestik sehingga sebagian besar harus diekspor.
Merujuk pada data GAPKI, pada tahun 2021, produksi CPO Indonesia mencapai 51,3 juta ton sementara penggunaan untuk konsumsi lokal seperti pangan dan biodiesel 18,42 juta ton.

"Konsumsi kita masih sangat kecil sementara permintaan ekspor besar" ujarnya.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan melalui PMK No 23 Tahun 2022 telah memberlakukan kenaikan pungutan ekspor. Pemerintah juga memberlakukan tarif progresif jika harga di atas US$1.000/ton dari sebelumnya yang berlaku flat.

PMK tersebut menaikkan batas atas harga CPO dari sebelumnya di atas US$ 1.000 menjadi di atas US$1.500 per ton. Dengan aturan baru, tarif maksimal pungutan ekspor CPO dan produk turunannya kini menjadi US$ 375 per ton dari sebelumnya US$ 355 per ton.

Berdasarkan PMK tersebut, tarif pungutan ekspor akan naik sebesar US$ 20 per ton setiap kenaikan harga CPO sebesar US$ 50 per ton.
Sementara itu, untuk produk turunan CPO seperti destilat asam lemak minyak sawit, kenaikan tarif pungutan ekspor menjadi sebesar US$ 16 per ton setiap kenaikan US$ 50 per ton.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan ekspor sawit tidak elastis terhadap pungutan tarif ekspor terutama di tengah kondisi harga sawit yang sangat tinggi seperti sekarang ini. 

"Jadi kenaikan tarif ekspor tidak akan mengurangi ekspor sawit karena keuntungan akan tetap lebih tinggi dibandingkan biaya pajak ekspor. Mereka rugi kalau mengurangi atau menahan ekspor. Mereka akan tetap memaksimalkan ekspor," ujar Piter, kepada CNBC Indonesia, Minggu (20/3).

Gambaran tidak elastisnya pungutan ekspor ke ekspor CPO dan bagaimana naik turunnya ekspor lebih didasari permintaan dunia terlihat pada 2015 dan 2016.

Pada tahun 2015, ekspor CPO tetap naik sekitar 26% menjadi 27,46 juta ton dibandingkan 21,76 juta ton pada tahun 2014. Padahal, pada Juli 2015 untuk pertama kalinya Indonesia memberlakukan pungutan ekspor. Namun, ekspor turun menjadi 27,26 ton pada tahun 2016.

Pada tahun 2015 kenaikan permintaan Amerika Serikat dan China meningkat sehingga membantu peningkatan ekspor. Pada tahun 2016 terjadi penurunan permintaan tajam dari China seiring program peternakan mereka yang lebih banyak menggunakan kedelai sehingga ada pasokan minyak dari crushing kedelai.



Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi CPO dan produk turunannya melemah tipis 1,19% dibandingkan Januari 2022 dan 4,02% dibandingkan Februari 2021.

Nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati mencapai US$ 2,418 miliar sementara di Januari sebesar US$ 2,425 miliar.

Ekspor lemak dan minyak hewan/nabati pada Februari tahun ini adalah yang terendah sejak Juni tahun lalu yang berada di angka US$ 1,89 miliar.

Sebagai catatan, di Februari, Kementerian Perdagangan memberlakukan kebijakan domestic price obligation (DPO) dan domestic market obligation (DMO). Kebijakan tersebut telah dibatalkan pekan lalu.

Analisis dampak pungutan ekspor terhadap kinerja ekspor sawit dan produk turunannya yang dilakukan Kementerian Perdagangan menunjukkan kenaikan pungutan ekspor berdampak positif pada ekspor produk turunan CPO.

semakin tinggi nilai pungutan maka volume ekspor produk turunan sawit Indonesia akan meningkat. Setiap kenaikan 1 US$ pungutan akan menaikkan volume ekspor turunan sawit Indonesia ke dunia sebesar 0,32%.

Kendati tidak bisa menahan laju ekspor sawit terutama untuk CPO, Andrian Bagus Santoso, Industry Analyst Bank Mandiri, mengatakan kenaikan pungutan ekspor dibutuhkan untuk keberlangsungan program subsisi minyak goreng curah.

Sebagai catatan, pemerintah akan menggunakan dana pungutan ekspor yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)untuk membiayai proram subsidi minyak curah dengan banderol Rp 14.000 per liter.

"Namun, perlu dikaji juga apakah dana tambahan yang dikumpulkan akan mampu menutup subsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium agar dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia," ujarnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular