
Kurang Bertenaga, Minyak Sawit Sepekan Anjlok 4%

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam sepekan, harga minyak kelapa sawit (CPO) anjlok 4,85% di posisi MYR3.416 hingga Jumat (2/6) . Ada banyak faktor yang menyebabkan turunnya harga.
Di antaranya, harga minyak saingannya mengalami penurunan, kondisi produksi, ekspor-impor dari Indonesia dan Malaysia, pengaruh mata uang Ringgit (MYR), serta kebijakan dari kedua negara tersebut.
Turunnya harga minyak saingannya dipicu kekhawatiran kelebihan pasokan.
"Kerugian besar pada minyak kelapa sawit dan kedelai di Dalian, ditambah kekhawatiran yang tersisa pada peningkatan produksi Mei melebihi permintaan membebani harga," ucap Sathia Varqa, salah satu pendiri Palm Oil Analytics yang berbasis di Singapura dikutip dari Reuters.
Sementara, produksi Mei diperkirakan akan meningkat sekitar 20% dari April, rebound dari posisi terendah yang terlihat selama liburan.
Harga minyak saingannya yakni minyak mentah WTI juga turun dalam sepekan hingga 1,28% ke posisi US$71,74 per barel. Sementara harga minyak mentah brent juga turun dalam sepekan 1,07% ke posisi US$76,13 per barel hingga hari Jumat kemarin 2 Juni 2023.
Harga minyak mentah WTI dan Brent yang lebih rendah membuat minyak sawit menjadi pilihan yang kurang menarik sebagai bahan baku biodiesel.
Minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak terkait karena mereka bersaing untuk mendapat bagian di pasar minyak nabati global.
Di sisi lain, Indonesia bertujuan mempercepat program penanaman kembali kelapa sawit untuk melipatgandakan area yang dicakupnya antara tahun 2017 dan 2022 dalam upaya mempertahankan tingkat produksi.
Sementara itu, sektor manufaktur China mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Biro Statistik Nasional China kemarin melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Mei turun menjadi 48,8 dari bulan sebelumnya 49,2. Angka di bawah 50 berarti kontraksi atau menurunnya aktivitas usaha. Makin jauh ke bawah, penurunan aktivitas usaha tentunya makin dalam.
Dengan demikian, ada risiko permintaan CPO dari China bakal mengalami penurunan. Saat volume permintaan turun, harga juga lebih murah, Indonesia tentunya kurang diuntungkan.
Hal ini terlihat dari data ekspor-impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Nilai ekspor CPO pada periode Januari - April 2023 sebesar US$ 8,8 miliar, anjlok nyaris 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jatuhnya harga CPO tersebut tentunya mengikis surplus neraca perdagangan Indonesia, dan bisa jadi tanda jika era "durian runtuh" segera berakhir.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(saw/saw)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Ada Kabar Baik, CPO Lagi-lagi Merosot