The Fed Sudah Duluan, Kenapa BI Belum Naikkan Bunga?

Maesaroh, CNBC Indonesia
17 March 2022 17:09
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Maret 2022. (Tangkapan layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Maret 2022. (Tangkapan layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Januari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%. Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar, inflasi, serta upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dalam RDG bulan ini, BI juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.

BI sudah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 3,5% sejak Februari 2021. Ini adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia merdeka.

Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan hari ini, hanya beberapa jam setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan mereka sebesar 25 basis poin (bps) ke level 0,25-0,5%.


Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan sejumlah risiko terhadap inflasi terus diwaspadai, termasuk dampak kenaikan harga komoditas global.
"Kami akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di 3,5% sampai muncul tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental," tutur Perry, dalam konferensi pers, Kamis (17/3/2022).

Inflasi Indonesia masih terkendali meskipun mengalami kenaikan dalam dua bulan terakhir. Pada Februari 2022, Indonesia mencatatkan inflasi tahunan (year on year/YoY) sebesar 2,06%, lebih rendah dibandingkan Januari (2,18%).


Sebagai catatan, Indonesia tidak pernah mencatat inflasi tahunan di atas 2% sejak Mei 2020. BI sendiri menargetkan inflasi bergerak di 3,0%±1% pada tahun ini.

Perry menjelaskan tekanan inflasi meningkat karena faktor eksternal terutama perang Rusia-Ukraina yang melambungkan harga energi dan pangan. Risiko inflasi Indonesia diperkirakan akan membengkak pada bulan depan saat Ramadhan tiba. Secara historis, inflasi Indonesia akan mencapai puncak pada periode Ramadhan dan Lebaran. Belum lagi, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bisa mengerek harga-harga.

Namun, Perry menegaskan BI hanya akan melihat faktor fundamental dalam mempertimbangkan inflasi untuk kenaikan suku bunga. Artinya, BI akan melihat pergerakan inflasi inti. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti tahunan pada Februari 2022 di level 2,03%, level tertinggi sejak Juli 2020 (2,07%).

"Kenaikan inflasi akan sangat tergantung pada respon pemerintah dan yang kami lakukan terutama dalam hal administered price. Perlu saya tekankan, kebijakan moneter merespon kebijakan inflasi yang bersifat fundamental. Bukan yang bersifat inflasi terkait volatile atau administered price," tegas Perry.

Presiden Joko Widodo hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan sudah mewanti-wanti lonjakan harga ke depan yang akan mendongkrak inflasi. "Kami sudah menghitung ada tekanan harga ini terhadap inflasi dalam beberapa bulan ke depan dan terutama juga untuk Indonesia, karena kami mengantisipasi Ramadhan dan Idul Fitri, yang akan terjadi dalam dua bulan ke depan," kata Sri Mulyani, Rabu (16/3/2022).



Tekanan inflasi akan merongrong daya beli sehingga akan mengganggu pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan perkembangan itu, pertumbuhan ekonomi pada 2022 diprakirakan tetap berada dalam kisaran 4,7-5,5%.

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan tekanan inflasi memang meningkat tetapi Indonesia masih membutuhkan suku bunga rendah untuk mendorong pertumbuhan, Terlebih, pertumbuhan kredit baru merangkak naik. Bila suku bunga BI dinaikkan, pertumbuhan kredit yang sudah mencapai 6,33% pada bulan Februari bisa kembali turun.


"Perbaikan ekonomi dunia berlanjut namun berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, disertai ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat, seiring dengan eskalasi ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina," tutur Perry.

Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan pada bulan ini berbanding terbalik dengan apa yang mereka lakukan pada tahun 2018.
Pada tahun tersebut BI sangat agresif menaikkan suku bunga sebagai bagian dari kebijakan pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve.

Secara keseluruhan, BI mengerek suku bunga acuannya sebesar 175 bps pada tahun 2018 dari 4,25% di Januari 2018 menjadi 6% di Desember 2018. Pada Mei 2018, BI bahkan menaikkan suku bunga dua kali sebagai antisipasi kenaikan FFR. The Fed pada 2018 telah menaikkan FFR sebanyak empat kali sebesar 100 bps, sehingga FFR pada akhir 2018 tercatat pada kisaran 2,25%-2,50%.

BI agresif menaikkan suku bunga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dan menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Dalam catatan Bank Indonesia, nilai tukar Rupiah pada 2018 secara rerata melemah 6,05% (YoY) ke level Rp1 4.246 per dolar AS dari Rp 13.385 per dolar AS pada 2017. Secara point to-point (ptp), nilai tukar Rupiah melemah 5,65% dan ditutup di level Rp 14.380 per dolar AS pada akhir 2018. Volatilitas Rupiah pada 2018 meningkat menjadi 8,5% dari 3,0% pada 2017.

Sementara itu, yield pada Surat Utang Negara tenor 10 tahun meningkat tajam dari 6,60% pada awal April 2018 menjadi 8,1% di akhir Agustus 2018.

Pengetatan kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2018 dilakukan di tengah tren penurunan inflasi. Inflasi tahunan (YoY) pada Maret 2018 ada di level 3,23% dan angkanya menurun ke level 2,88% pada September 2018.

Berbeda dibandingkan 2018, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini masih tersendat. Ekonomi Indonesia tahun lalu tumbuh sebesar 3,69% setelah terkontraksi 2,07% pada 2020.

Inflasi masih di kisaran 2% meskipun angkanya meningkat dalam dua bulan terakhir. Sementara itu, nilai tukar rupiah justru menguat didorong oleh membaiknya surplus neraca perdagangan karena lonjakan neraca perdagangan.

Pada akhir 2021, pertumbuhan kredit perbankan tercatat 5,24%. Bandingkan dengan pertumbuhan kredit perbankan yang mencapai 11,18% pada tahun 2018.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular