Dejavu The Fed & Serangan Rusia 2014, Dampaknya Ngeri Bagi RI

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 February 2022 19:35
Perang Rusia & Ukraina_cover
Foto: cober topik/ Perang Rusia & Ukraina_cover /Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia akhirnya menyerang Ukraina sejak Kamis kemarin. Hal ini menjadi dejavu, sebab Rusia pernah menyerang Ukraina di tahun 2014 lalu dan saat itu bank sentral Amerika Serikat (AS) sedang melakukan normalisasi kebijakan moneter. 

Dua peristiwa tersebut terjadi lagi di tahun ini. 

Direktur Pelaksana Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF), Kristalina Georgieva, mengatakan perang yang terjadi di Ukraina memberikan risiko yang signifikan ke kawasan tersebut dan ke perekonomian dunia.

IMF juga dikatakan saat ini masih terus menilai dampak yang ditimbulkan dari perang Rusia dan Ukraina. Ia juga mengatakan siap membantu Ukraina dan negara-negara yang terdampak dari perang tersebut, sebagaimana dilansir AFP, Kamis (24/2).

Indonesia meski jauh dari lokasi peperangan juga bisa terkena dampaknya, terutama akibat kenaikan harga komoditas energi. Minyak mentah jenis Brent melesat ke atas US$ 100/barel untuk pertama kalinya sejak tahun 2014.

Kenaikan harga minyak akan memberikan beban terhadap subsidi energi. Pada tahun ini anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 sebesar Rp 134,02 triliun. Terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 kg sebesar Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 56,47 triliun.

"Ada konsekuensi beban subsidi energi," kata Ekonom Maybank, Myrdal Gunarto, kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/2/2022).

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga melihat efek yang sama terhadap APBN. Hanya saja diperkirakan tekanannya tidak akan begitu besar. Sebab Indonesia masih ekspor minyak dan gas, sehingga ketika ada kenaikan harga maka bisa berdampak positif terhadap penerimaan.

"Di nota keuangan APBN 2022 di sini pemerintah bikin simulasi, setiap kenaikan minyak mentah RI, naik 1 dolar AS per barel akan dongkrak penerimaan PPnBM dan PPh Migas Rp 3 triliun," jelasnya kepada CNBC Indonesia.

"Di sisi lain memang spending akan meningkat Rp 2,6 triliun. Tapi net-nya masih ada Rp 400 miliar efek surplus ke APBN," tambah Josua.

Tingginya harga komoditas, seperti batu bara hingga crude palm oil (CPO), juga akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara. Khususnya pada pos bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Nah kenaikan harga komoditas ini menguntungkan kita, karena ekspor kita komoditas," pungkasnya.

Namun, efek tidak langsung yang ditimbulkan dari kenaikan harga minyak mentah bisa memberikan dampak yang lebih besar ke Indonesia.

Kenaikan harga minyak mentah, begitu juga dengan gas alam hingga batu bara berisiko memicu kenaikan inflasi yang saat ini sedang menjadi masalah di negara-negara Barat.

Di Amerika Serikat misalnya, inflasi di bulan Januari sebesar 7,5% tertinggi dalam 4 dekade terakhir, yang membuat The Fed (bank sentral AS) akan agresif menaikkan suku bunga.

Jika inflasi semakin tinggi, maka The Fed bisa semakin agresif dalam menaikkan suku bunga. Jika itu terjadi, maka dolar AS berisiko menguat tajam dan bisa memberikan dampak buruk ke rupiah.

Normalisasi kebijakan The Fed sebelumnya pernah terjadi pada tahun 2013 lalu. Kebetulan di tahun 2014, Rusia menyerang Ukraina hingga mencaplok wilayah Krimea. Saat itu dampaknya ke Indonesia sangat besar.

Peristiwa di 2022 ini menjadi dejavu nyaris satu dekade yang lalu, di mana The Fed menormalisasi kebijakan moneternya dan Rusia menyerang Ukraina. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Jeblok Ekonomi Bisa Merosot

Kenaikan suku bunga di AS secara agresif berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi dan terpuruknya nilai tukar rupiah.

Jika itu terjadi, Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas rupiah. Namun, hal ini berisiko mengerek suku bunga kredit, sehingga akan berdampak pada pelambatan ekonomi.

Dampak buruknya skenario tersebut tergambar jelas pada tahun 2013 saat The Fed menormalisasi kebijakan moneternya. Seperti disebutkan sebelumnya, di 2014 juga terjadi serangan Rusia ke Ukraina hingga mencaplok wilayah Krimea.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.

Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun. Sementara ekspansi bisnis melambat akibat BI menaikkan suku bunga hingga 200 basis poin menjadi 7,75% guna menstabilkan rupiah. Pada akhirnya perekonomian Indonesia mengalami pelambatan.

Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Sudah Price-in, Fundamental Dalam Negeri Kuat

Meski risikonya cukup besar, tetapi pelaku pasar sudah price-in terhadap kenaikan suku bunga The Fed sebesar 125 hingga 150 basis poin di tahun ini. Hal tersebut ditambah dengan fundamental yang kuat dari dalam negeri membuat nilai tukar rupiah stabil sejauh ini.

Fundamental perekonomian Indonesia yang semakin membaik bisa jadi membuat investor asing terus mengalirkan modalnya ke Indonesia.

Di pasar obligasi sepanjang tahun ini hingga 18 Februari lalu tercatat capital inflow lebih dari Rp 10 triliun. Kemudian di pasar saham lebih dari Rp 23 triliun hingga hari ini.

Tidak seperti negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) begitu juga negara-negara di Eropa, inflasi di Indonesia masih rendah.

Di bulan Januari, inflasi di Indonesia dilaporkan tumbuh 2,18% (yoy), bandingkan dengan Amerika Serikat yang sebesar 7,5% (yoy). Sehingga riil yield (imbal hasil) dari obligasi di Indonesia masih relatif tinggi ketimbang AS yang justru negatif.

Selain itu, ditopang kenaikan harga komoditas neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 21 bulan beruntun, dan membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.

Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Dengan surplus tersebut, stabilitas nilai tukar rupiah akan lebih terjaga yang bisa memberikan kenyamanan investor asing berinvestasi di dalam negeri. Kerugian akibat fluktuasi kurs bisa diminimalisir, begitu juga rendahnya inflasi.

Di tahun ini, transaksi berjalan memang diperkirakan akan kembali defisit, tetapi tidak akan sebesar sebelumnya.

Kemudian, pemerintah juga sudah menegaskan tidak akan lagi melakukan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih kencang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular