Rusia - Ukraina Perang, RI Untung atau Buntung?

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
25 February 2022 10:20
INFOGRAFIS, Indonesia Tak Dapat Durian Runtuh Perang Dagang
Foto: Seorang wanita memegang tanda dengan hati pada protes setelah Rusia melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap Ukraina, selama rapat umum "Berdiri dengan Ukraina" di depan Gedung Putih di Washington, AS, 24 Februari 2022. (REUTERS/KEVIN LAMARQUE)

Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan Rusia ke Ukraina kemarin menjadi tanda dimulainya perang. Kekhawatiran yang tadinya sempat mereda kini kembali naik, perang dapat berdampak buruk terhadap perekonomian dunia.

"Pecahnya invasi ini mengejutkan pasar," ungkap Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro dalam risetnya, Jumat (25/2/2022)

Pasca serangan diluncurkan kepanikan langsung terjadi di pasar keuangan global. Pasar saham global anjlok memasuki teritori negatif. Begitu juga dengan perdagangan di bursa Asia seperti STI Singapura turun 3,5%, Nikkei Jepang turun 1,8%, dan IHSG turun 1,5%.

Harga minyak, emas, dan komoditas naik tajam karena investor mengalihkan dana ke aset safe haven. Pada Kamis (24/2), Emas diperdagangkan pada USD1.942,10 per ounce, tertinggi sejak akhir 2020.

Harga minyak dunia berdasarkan West Texas Intermediate 5,61% lebih tinggi pada USD97,27 per barel dan Brent melonjak 5,95% menjadi USD102,60 per barel, melewati level USD100 untuk pertama kalinya sejak 2014.

Harga batu bara acuan untuk kontrak Maret di Ice Newcastle (Australia) meroket 14,27% ke US$ 271/ton. Sementara rekor tertinggi harga batu bara US$ 280/ton yang dicapai pada 5 Oktober 2021 lalu.

Harga CPO mampu menembus harga MYR 6.294/ton padahal pada perdagangan pagi hari, harga CPO sudah menyentuh all time high sejak 1980. Namun, ketika Rusia menyerang dua kota terbesar Ukraina yaitu Kyiv dan Kharkiv, harga CPO melesat tajam hingga 5,22%.

Dolar Amerika Serikat (AS) alami penguatan terhadap mata uang utama. Sebagian besar mata uang Asia pun melemah terhadap dolar AS. Begitu juga dengan rupiah melemah 0,4% menjadi 14.391 terhadap Dolar AS.

Sementara Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun bergerak relatif stabil di level 6,46% di tengah level CDS Indonesia 5 tahun yang terpantau naik 3,7 bps menjadi 102,4.

Andry memandang, bagi pasar keuangan, volatilitas memang akan meningkat dalam jangka pendek. Tidak cuma persoalan perang, pelaku pasar juga mengantisipasi rencana kenaikan suku bunga acuan AS.

"Volatilitas dalam jangka pendek akan meningkat," jelasnya.

Akan tetapi kondisi perekonomian dalam negeri akan menjadi sentimen positif bagi investor, sehingga dapat menahan gejolak. Antara lain dari sisi inflasi yang terkendali, surplus neraca perdagangan dan cadangan devisa yang tinggi.

Terlihat hingga 23 Februari 2022, arus masuk modal di pasar saham tercatat sebesar Rp21,6 triliun (ytd) dan di pasar obligasi sebesar Rp10,2 triliun (ytd). Di sisi lain ada respons cepat pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

"Tim riset ekonomi Bank Mandiri memperkirakan rupiah akan terus bergerak sesuai fundamentalnya sepanjang tahun ini, dengan faktor risiko utama adalah kebijakan The Fed. Begitu pula dengan obligasi Indonesia yang memiliki imbal hasil riil yang masih kompetitif dibandingkan negara-negara sejenis," terangnya.

"Kami terus mempertahankan proyeksi rupiah sebesar 14.388 (dengan rata-rata 14.392 per USD) dan target imbal hasil obligasi 10-tahun sebesar 6,84% pada akhir tahun 2022," kata Andry.

Sementara itu, lonjakan harga minyak dunia dan komoditas seperti batu bara dan CPO akan memberikan pengaruh terhadap perdagangan. Bahana Sekuritas dalam risetnya, memperkirakan neraca perdagangan tetap surplus dengan perkiraan US$ 18 miliar atau lebih rendah dari 2021.

Surplus pada transaksi berjalan (current account) juga kembali terulang pada 2022, meskipun dalam perkiraannya sedikit menyusut menjadi US$ 2 miliar atau 0,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dampak cukup berat adalah pada inflasi. Bahana memandang situasi saat ini akan mendorong kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, sehingga inflasi akan lebih tinggi menjadi 2,5% year on year (yoy). Lemahnya permintaan akan menjadi penahan inflasi. Level tersebut juga masih dalam rentang yang diasumsikan Bank Indonesia (BI).

Kenaikan harga minyak akan memberikan beban terhadap subsidi energi. Pada tahun ini anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 sebesar Rp 134,02 triliun. Terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 kg sebesar Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 56,47 triliun.

"Ada konsekuensi beban subsidi energi," kata Ekonom Maybank Myrdal Gunarto kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/2/2022)

Hingga akhir Januari 2022, realisasi subsidi energi sudah mencapai RP 10,2 triliun atau melonjak 347,2%. Lonjakan tersebut terjadi karena kenaikan harga minyak dunia dalam beberapa waktu terakhir.

Tekanan akan semakin berat apabila tidak ada penyesuaian harga BBM dan listrik, khususnya bagi Pertamina dan PLN. Meskipun di sisi lain, apabila pemerintah menaikan harga, efeknya akan terasa pada inflasi dan memukul daya beli masyarakat.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga melihat efek yang sama terhadap APBN. Hanya saja diperkirakan tekanannya tidak akan begitu besar. Sebab Indonesia masih ekspor minyak dan gas, sehingga ketika ada kenaikan harga maka bisa berdampak positif terhadap penerimaan.

"Di nota keuangan APBN 2022 di sini pemerintah bikin simulasi, setiap kenaikan minyak mentah RI, naik 1 dolar AS per barel akan dongkrak penerimaan PPnBM dan PPh Migas Rp 3 triliun," jelasnya kepada CNBC Indonesia.

"Di sisi lain memang spending akan meningkat Rp 2,6 triliun. Tapi net-nya masih ada Rp 400 miliar efek surplus ke APBN," tambah Josua.

Tingginya harga komoditas, seperti batu bara hingga crude palm oil (CPO), juga akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara. Khususnya pada pos bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Nah kenaikan harga komoditas ini menguntungkan kita, karena ekspor kita komoditas," pungkasnya.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular