BI Buka Rahasia Rupiah Bisa Kuat dan Dolar Lagi Loyo

Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
24 February 2022 07:10
Gedung BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak pekan lalu sampai kemarin, nilai tukar rupiah terus menunjukkan penguatan dan cenderung bergerak stabil terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menunjukkan performa positif di tengah gejolak geopolitik panasnya tensi Rusia dan Ukraina, laju perkembangan Covid-19 varian omicron di dalam negeri, hingga rencana kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS). Apa rahasianya?

Dalam data CNBC Indonesia mengutip Refinitiv, rupiah pada penutupan kemarin sukses mencatat penguatan 0,18% ke Rp 14.335/US$. Hingga pukul 15:00 WIB kemarin, rupiah menguat 0,18% menjadi yang terbaik ketiga, hanya kalah dari baht Thailand yang menguat 0,49% dan peso Filipina 0,43%.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan pergerakan nilai tukar dipengaruhi fundamental dan teknikal. Namun faktor fundamental ekonomi lebih kuat menjadi penopang pergerakan rupiah.

"Nilai tukar stabil dan cenderung menguat karena fundamental bagus, current account bagus, dan neraca perdagangan surplus. Investor asing mulai membeli SBN (surat berharga negara) yang membuat supply atau pasokan dolar AS di dalam negeri bertambah dan rupiah stabil," jelas Perry dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi Media, Rabu (23/2/2022).

Dia mengatakan, BI tidak melakukan intervensi terhadap penguatan dan kestabilan nilai tukar rupiah belakangan ini. Menurutnya, pergerakan rupiah tersebut sesuai dengan mekanisme pasar saja.

Faktor-faktor teknikal seperti gejolak geopolitik, perkembangan pandemi Covid-19 varian omicron, hingga rencana kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS tidak kuat menggerakkan nilai tukar rupiah. Selain itu perbedaan yield (imbal hasil) dari surat utang pemerintah AS dan Indonesia yang masih menarik, membuat investor asing masih tertarik untuk berinvestasi di surat utang pemerintah Indonesia, ini ikut membantu kestabilan rupiah.

Selain itu, Perry juga mengatakan dolar AS saat ini tidak sekuat dulu. "Kalau dulu dolar menguat terus, sekarang dolar tidak sekuat dulu. Kemudian Eropa juga akan melakukan normalisasi kebijakan moneternya. itu juga menjadi pendukung karena dolarnya tidak terus menguat," jelasnya.

Meski rupiah sudah menunjukkan kondisi normal, Perry mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan belum bisa dikatakan normal. Karena itu BI belum akan melakukan normalisasi kebijakan moneternya, seperti dengan menaikkan suku bunga acuan, paling tidak hingga kuartal II-2022.

Salah satu indikator ekonomi yang belum normal, ujar Perry, adalah kondisi likuiditas perbankan. Saat ini kondisi likuiditas perbankan masih berlebih akibat kebijakan quantitative easing yang dilakukan BI selama pandemi terjadi. BI akan mulai bertahap melakukan normalisasi likuiditas. Salah satu awalnya adalah melalui kebijakan kenaikan giro wajib minimum (GWM) perbankan di tahun ini. "Kenaikan GWM dilakukan tanpa memengaruhi kemampuan bank untuk membiayai kredit dan membeli SBN," jelasnya.

Soal fundamental ekonomi Indonesia yang kuat ini, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, memaparkan soal solidnya kondisi tersebut. Ekspor Indonesia terus meningkat, ini juga dibantu oleh penguatan harga-harga komoditas ekspor unggulan dalam negeri.

Destry menjelaskan, eksportir dalam negeri banyak yang menukar dolarnya ke rupiah, sehingga pasokan dolar dalam negeri naik. Para eksportir ini membutuhkan rupiah untuk aktivitas ekonominya di dalam negeri. "Likuiditas dolar masih terjaga, Februari ini inflow besar di SBN mencapai Rp 14 triliun," jelas Destry.

Di dalam negeri, BI juga mengembangkan platform yang membuat perbankan bisa bertransaksi dolar langsung tanpa broker. Ini membuat aktivitas transaksi dolar antar bank meningkat dua kali lipat di Februari 2022 menjadi lebih dari US$ 600 dolar.


(wed/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Panik! Rupiah Bakal Tembus Sampai Segini di Akhir 2022

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular