2021 In Review

'Hujan Duit' Segera Reda, Ini Efek Mengerikan Buat RI

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 28/12/2021 08:15 WIB
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Era kebijakan moneter longgar yang dimulai 2020 tampaknya akan berakhir tahun depan. Bank sentral negara-negara maju sudah mulai mengurangi stimulus moneter yang selama setahun lebih membuat perekonomian 'hujan duit'.

Kebijakan tersebut secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi Indonesia, khususnya di pasar finansial. 'Hujan duit' yang menimbulkan banjir likuiditas tersebut juga dinikmati pasar finansial dalam negeri, khususnya bursa saham Indonesia.

Data pasar mencatat, sepanjang 2021 hingga Jumat 24 Desember, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih lebih dari Rp 29 triliun di pasar reguler, nego dan tunai bursa saham Indonesia.


Sayangnya, di pasar obligasi justru kebalikannya. Investor asing justru melepas kepemilikannya terhadap Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 80 triliun sepanjang tahun ini hingga Jumat pekan lalu, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan. 

Pemicu capital outflow di pasar obligasi Indonesia tersebut salah satunya adalah 'hujan duit' yang akan segera berakhir.

Kini dengan berakhirnya 'hujan duit' tersebut, Indonesia patut waspada di tahun depan. Sebab, jika terjadi capital outflow yang lebih besar dan dalam waktu singkat, pasar finansial Indonesia bisa mengalami gejolak, dan dampaknya akan besar.

Contoh nyata bagaimana dampak capital outflow yakni di tahun 2013 ketika terjadi taper tantrum. Dampak pertama yang ditimbulkan yakni jebloknya nilai tukar rupiah hingga 50% mulai pertengahan 2013 hingga akhir 2015.

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.

Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Pada kuartal II-2014, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (yoy). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.

Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) menjadi pemicu taper tantrum tersebut, dan pada 2022 juga menjadi ancaman yang patut diwaspadai.

The Fed menjadi bank sentral yang paling jor-joran dalam menggelontorkan stimulus moneter. Sejak penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0-0,25%, dan menggelontorkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 120 miliar per bulan.

Sejak saat itu hingga pertengahan Desember 2021, The Fed sudah membanjiri perekonomian Amerika Serikat dengan duit senilai US4 4,5 triliun atau sekitar Rp 64.350 triliun (kurs Rp 14.300/US$).

Hal tersebut tercermin dari neraca The Fed yang hingga 13 Desember lalu mencapai US$ 8,76 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun. Semakin besar QE yang digelontorkan maka neraca The Fed akan membengkak.

Banjir likuiditas tersebut akhirnya menjalar ke negara-negara emerging market yang memberikan imbal hasil (yield) tinggi. Indonesia salah satunya.

Itu baru The Fed, belum lagi bank sentral utama lainnya, seperti bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang menggelontorkan QE senilai 1,85 triliun euro. Kemudian bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) senilai 875 miliar poundsterling.

Ada lagi bank sentral Jepang yang juga menggelontorkan QE guna menyelamatkan perekonomiannya. Bank sentral Australia (Reserve bank of Australia/RBA) bahkan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah meluncurkan program pembelian aset, setelah memangkas suku bunga ke rekor terendah sepanjang sejarah.

Nyaris semua bank sentral melakukan hal yang termasuk Bank Indonesia (BI), sehingga terjadi "hujan duit" yang membuat perekonomian global mampu lepas dari resesi akibat pandemi Covid-19.

Dampak baik sudah terlihat, kini tinggal bagaimana menghindari agar "monster" taper tantrum, yang selama ini sukses dikekang tidak muncul lagi akibat normalisasi kebijakan moneter bank sentral utama dunia di tahun depan. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Tinggi, Suku Bunga Bakal Ikut Tinggi


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: BI Siap Luncurkan Payment ID, Bisa Pantau Transaksi Keuangan

Pages