2021 In Review

Jejak Saham IPO: Banyak yang Bikin FOMO & Kena PHP

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
28 December 2021 08:38
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) pada tahun ini diwarnai oleh sejumlah nama-nama besar dengan raupan dana yang jumbo dan memecahkan rekor. Sejumlah besar saham IPO tercatat sukses melesat bak meteor hingga ribuan persen sepanjang tahun ini, tetapi hampir 41% saham sisanya malah terbenam di zona merah.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI) per Senin (27/12/2021), terdapat 54 emiten yang melakukan penggalangan dana IPO sepanjang 2021.

Rekor raihan dana IPO tertinggi, baik pada 2021 dan dalam sejarah bursa RI, dipegang oleh perusahaan e-commerce PT Bukalapak.com (BUKA) yang pada 6 Agustus lalu meraup Rp 21,90 triliun.

Di posisi kedua, ada anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), emiten menara telekomunikasi PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) alias Mitratel yang mendulang Rp 18,79 triliun dalam IPO pada 22 November lalu. Rekor IPO MTEL juga merupakan yang kedua tertinggi sepanjang sejarah.

Lantas, bagaimana kinerja saham IPO sepanjang 2021?

Apabila menilik data di atas, sebanyak 32 dari 54 saham IPO berhasil memiliki rapor positif sejak debut di bursa. Sementara, 22 saham sisanya malah loyo alias minus.

Sementara, 'hanya' sebanyak 23 saham IPO yang berhasil naik di atas kenaikan IHSG secara year to date (ytd) yang sebesar 9,97%. Itu berarti, sebanyak 31 saham 'anak baru' di bursa atau 57,41% dari total saham IPO memiliki kinerja di bawah performa IHSG sejak awal tahun.

Saham IPO Jawara

Nah, sang jawara saham IPO tahun ini disematkan kepada emiten data Center milik pengusaha Otto Toto Sugiri PT DCI Indonesia Tbk (DCII).

Saham DCII memang tampil fenomenal. Sejak IPO pada 6 Januari 2021 di harga Rp 420/saham, saham DCII telah 'meroket ke angkasa' dengan persentase 8.209,52% ke posisi Rp 34.900/saham per Senin (27/12).

Tak pelak lagi, saat ini saham DCII menjadi saham dengan harga tertinggi di bursa, melampaui harga saham produsen rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) yang senilai Rp 31.350/saham.

Bahkan, saham DCII sempat melonjak tinggi sampai 14.000% dan menyentuh harga Rp 59.000/saham sebelum disuspensi (penghentian saham sementara) oleh bursa pada 16 Juni lalu.

Kenaikan saham DCII memang terjadi sejak awal debut seiring ramai diborong investor pada awal tahun.

Kemudian, saham DCII semakin melonjak setelah pemilik Grup Salim Anthoni Salim kembali menambah kepemilikan di saham tersebut awal Juni lalu. Dengan demikian, kepemilikan Bos Indofood tersebut di DCII bertambah dari semula 3,03% menjadi 11,12%.

Lonjakan harga yang signifikan pada tengah tahun ini, membuat pihak bursa mensuspensi saham DCII selama 17 Juni hingga 10 Agustus atau hampir 2 bulan.

Melejitnya saham DCII, dan juga saham 'saudaranya' PT Indointernet Tbk (EDGE) sebesar 211,53% sepanjang tahun ini turut membuat ketiga pemiliknya masuk ke dalam daftar 50 besar orang paling tajir di Indonesia.

Menurut laporan Forbes teranyar, Presiden Direktur DCII Otto Toto Sugiri menempati peringkat ke-19 orang terkaya di Tanah Air dengan total kekayaan US$ 2,5 miliar atau setara dengan Rp 35,75 triliun (asumsi kurs Rp 14.300/US$).

Kemudian, Marina Budiman adalah partner bisnis lama Toto Sugiri. Ia adalah salah satu pendiri dan Presiden Komisaris DCII. Saat ini, Marina Budiman menduduki peringkat ke 30 orang paling kaya di Indonesia dengan pundi-pundi kekayaan US$ 1,5 miliar.

Selain Toto dan Marina, satu nama lagi yang turut ketiban berkah DCII adalah Han Arming Hanafia. Han ikut mendirikan DCI Indonesia bersama Toto Sugiri dan Marina Budiman sepuluh tahun silam.

Tahun ini, Han Arming Hanafia bercokol di peringkat 37 orang terkaya di Tanah Air dengan total kekayaan US$ 1,19 miliar.

Selain DCII, ada 3 saham IPO lainnya yang berhasil meroket hingga ribuan persen. Pertama, saham BEBS yang melambung 5.150% sejak IPO pada 10 Maret 2021.

Harga saham emiten produsen beton ready mix dan precast semakin melonjak sejak kabar ustaz Yusuf Mansur (UYM) masuk ke saham tersebut.

Diwartakan CNBC Indonesia sebelumnya, 25 Agustus 2021, UYM menyatakan, pada Juni 2021 pihaknya telah menekan kontrak kerjasama dengan BEBS lewat PT Apel Mas Indonesia (AMI), perusahaan air minum milik UYM.

Kerja sama senilai Rp 125 miliar akan digunakan untuk membangun pabrik air mineral AMI. Hanya saja, tidak dijelaskan besaran pembelian saham BEBS oleh Yusuf Mansur.

Setali tiga uang, saham BANK dan UFOE juga berhasil melonjak tinggi masing-masing sebesar 2.230,10% dan 1.558,42% sejak debut mereka di bursa.

Baca di halaman selanjutnya >>> Nasib Saham IPO 'Boncos'

Berbeda dengan saham DCII hingga UFOE di atas, dua saham pencetak rekor IPO terjumbo dalam sejarah bursa saham RI, BUKA dan MTEL, malah tertekan sejak awal 'manggung' di BEI.

Sejak debut pada 6 Agustus 2021, saham BUKA cenderung terbenam di zona merah. Bahkan, pada Jumat (24/12) pekan lalu, saham BUKA berada di level terendah Rp 442/saham, hampir separuh dari harga IPO di Rp 850/saham.

Mengenai kinerja keuangan teranyar, BUKA masih membukukan kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp 1,12 triliun pada periode September 2021.

Namun, kerugian bersih tersebut membaik dari periode yang sama pada tahun sebelumnya Rp 1,39 triliun.

Mengacu laporan keuangan perusahaan sampai dengan sembilan bulan pertama ini, Bukalapak tercatat membukukan pendapatan bersih senilai Rp 1,34 triliun, naik 42,09% dari periode yang sama di tahun sebelumnya senilai Rp 948,43 miliar.

Adapun dari sisi Total Processing Value (TPV) sampai dengan September ini tumbuh 45% menjadi Rp 87,9 triliun. TPV ini juga naik dari posisi kuartal ketiga yang tercatat naik 51% menjadi Rp 31,2 triliun.

Pertumbuhan TPV BUKA didukung oleh peningkatan jumlah transaksi sebesar 25% dan kenaikan sebesar 21% pada Average Transaction Value (ATV) sepanjang 9 bulan pertama di 2020 sampai dengan September 2021.

Sementara itu, terkait Mitra Bukalapak--yang diklaim sebagai penggerak utama pertumbuhan perseroan--di mana TPV Mitra pada September naik 179% menjadi Rp 40 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. ATV Mitra pada September 2021 tumbuh sebesar 63% dibandingkan periode yang sama tahun 2020.

Selain saham BUKA, saham emiten anak BUMN MTEL juga masih belum begitu memuaskan sejauh ini.

Saham MTEL masih minus 0,63% di Rp 795/saham sejak melantai pada 22 November lalu di harga Rp 800/saham. Saham MTEL pun sudah berkali-kali mencoba menembus level Rp 795/saham untuk setidaknya kembali ke harga IPO, tetapi belum berhasil hingga Senin (27/12).

Kabar terbaru, dana abadi Indonesia atau sovereign wealth fund (SWF) bernama Indonesia Investment Authority (INA) kembali menambah kepemilikan saham di Mitratel.

Dengan ini, porsi kepemilikan INA di saham MTEL menjadi sebanyak 5% dari total saham perseroan, dari sebelumnya sebesar 4,63%.

Diwartakan CNBC Indonesia sebelumnya, manajemen Mitratel berencana untuk melakukan akuisisi hingga enam ribu menara dalam 2-3 tahun ke depan. Akuisisi ini merupakan bagian dari upaya pengembangan bisnis perusahaan secara anorganik.

Direktur Investasi Mitratel Hendra Purnama mengatakan ada potensi untuk mengakuisisi menara telekomunikasi dari sister company-nya, Telkomsel yang berpotensi untuk melepas enam ribu dari delapan ribu menara yang dimilikinya saat ini.

"Yang diakuisisi sekarang yang memang punya banyak Telkomsel ada 8.000, sekitar 6.000 akan dilepas. Di samping itu ada opportunity lain operator kecil yang mau jual tower, ada lebih dari 10 dari small operator buat M&A [merger & acquisition]," jelas Hendra, kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/12/2021).

Adapun, dua saham IPO yang kinerjanya paling jeblok adalah saham emiten produsen kuas cat KUAS yang ambles 56,92% sejak IPO pada 25 Oktober lalu dan saham emiten penyedia jasa konstruksi FIMP yang nyungsep 67,20% sejak debut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular