2021 In Review

Jejak Saham IPO: Banyak yang Bikin FOMO & Kena PHP

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
28 December 2021 08:38
Bukalapak (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Berbeda dengan saham DCII hingga UFOE di atas, dua saham pencetak rekor IPO terjumbo dalam sejarah bursa saham RI, BUKA dan MTEL, malah tertekan sejak awal 'manggung' di BEI.

Sejak debut pada 6 Agustus 2021, saham BUKA cenderung terbenam di zona merah. Bahkan, pada Jumat (24/12) pekan lalu, saham BUKA berada di level terendah Rp 442/saham, hampir separuh dari harga IPO di Rp 850/saham.

Mengenai kinerja keuangan teranyar, BUKA masih membukukan kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp 1,12 triliun pada periode September 2021.

Namun, kerugian bersih tersebut membaik dari periode yang sama pada tahun sebelumnya Rp 1,39 triliun.

Mengacu laporan keuangan perusahaan sampai dengan sembilan bulan pertama ini, Bukalapak tercatat membukukan pendapatan bersih senilai Rp 1,34 triliun, naik 42,09% dari periode yang sama di tahun sebelumnya senilai Rp 948,43 miliar.

Adapun dari sisi Total Processing Value (TPV) sampai dengan September ini tumbuh 45% menjadi Rp 87,9 triliun. TPV ini juga naik dari posisi kuartal ketiga yang tercatat naik 51% menjadi Rp 31,2 triliun.

Pertumbuhan TPV BUKA didukung oleh peningkatan jumlah transaksi sebesar 25% dan kenaikan sebesar 21% pada Average Transaction Value (ATV) sepanjang 9 bulan pertama di 2020 sampai dengan September 2021.

Sementara itu, terkait Mitra Bukalapak--yang diklaim sebagai penggerak utama pertumbuhan perseroan--di mana TPV Mitra pada September naik 179% menjadi Rp 40 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. ATV Mitra pada September 2021 tumbuh sebesar 63% dibandingkan periode yang sama tahun 2020.

Selain saham BUKA, saham emiten anak BUMN MTEL juga masih belum begitu memuaskan sejauh ini.

Saham MTEL masih minus 0,63% di Rp 795/saham sejak melantai pada 22 November lalu di harga Rp 800/saham. Saham MTEL pun sudah berkali-kali mencoba menembus level Rp 795/saham untuk setidaknya kembali ke harga IPO, tetapi belum berhasil hingga Senin (27/12).

Kabar terbaru, dana abadi Indonesia atau sovereign wealth fund (SWF) bernama Indonesia Investment Authority (INA) kembali menambah kepemilikan saham di Mitratel.

Dengan ini, porsi kepemilikan INA di saham MTEL menjadi sebanyak 5% dari total saham perseroan, dari sebelumnya sebesar 4,63%.

Diwartakan CNBC Indonesia sebelumnya, manajemen Mitratel berencana untuk melakukan akuisisi hingga enam ribu menara dalam 2-3 tahun ke depan. Akuisisi ini merupakan bagian dari upaya pengembangan bisnis perusahaan secara anorganik.

Direktur Investasi Mitratel Hendra Purnama mengatakan ada potensi untuk mengakuisisi menara telekomunikasi dari sister company-nya, Telkomsel yang berpotensi untuk melepas enam ribu dari delapan ribu menara yang dimilikinya saat ini.

"Yang diakuisisi sekarang yang memang punya banyak Telkomsel ada 8.000, sekitar 6.000 akan dilepas. Di samping itu ada opportunity lain operator kecil yang mau jual tower, ada lebih dari 10 dari small operator buat M&A [merger & acquisition]," jelas Hendra, kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/12/2021).

Adapun, dua saham IPO yang kinerjanya paling jeblok adalah saham emiten produsen kuas cat KUAS yang ambles 56,92% sejak IPO pada 25 Oktober lalu dan saham emiten penyedia jasa konstruksi FIMP yang nyungsep 67,20% sejak debut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular