Aturan mengenai penggabungan ini ditandatangani Jokowi pada 15 September 2021 lalu. Ketiga BUMN tersebut antara lain PT Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT Pertani (Persero), dan PT Perikanan Nusantara (Persero)/Perinus.
Masing-masing perusahaan ini digabungkan ke PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero)/PPI, PT Sang Hyang Seri (Persero) dan PT Perikanan Indonesia (Persero)/Perindo.
Namun demikian, terlepas dari penggabungan karena pertimbangan bisnis ini, sebenarnya masih banyak BUMN yang saat ini masih tidak jelas juntrungannya lantaran bisnisnya yang saatnya sudah tak berjalan bahkan sudah dalam proses likuidasi yang belum beres.
Setidaknya terdapat tujuh BUMN yang saat ini sudah masuk dalam kelompok ini, mulai dari PT Kertas Leces (Persero) hingga PT Merpati Nusantara Airline (Persero).
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan BUMN yang dimaksud sudah tidak beroperasi sejak 2008 lalu sehingga pembubaran menjadi salah upaya yang yang diambil kementerian.
"Jadi itu dari 2008 mati beroperasi. Nah, kita akan dzolim kalau gak ada kepastian. BUMN yang sekarang pun dengan perubahan ini harus siap bersaing. Apalagi yang udah kalah bersaing," kata Erick di kantor Kementerian BUMN, Selasa (4/5/2021).
Perusahaan ini masih dalam proses likuidasi sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada 28 September 2018.
Setelah dinyatakan pailit, perusahaan masih harus menjual aset-asetnya untuk membayarkan kewajibannya ke kreditor. Dikabarkan nilai kewajiban yang harus dibayarkan ini mencapai dua kali lipat dari aset perusahaan yang ditaksir Rp 1 triliun.
Sebelum tutup 6 tahun lalu, Merpati awalnya cukup sukses melayani penumpang pesawat di Tanah Air sebelum masuknya maskapai bertarif murah alias LCC yang diawali dengan hadirnya Lion Air pada Juni 2000.
Pada awalnya, mengacu data Kementerian BUMN, Merpati hanya menawarkan layanan penumpang, lalu kemudian berkembang di bisnis layanan darat (ground handling) dan pelatihan awak dan pilot.
Selain itu, perseroan juga mendirikan Merpati Maintenance Facility (MMF) yang menyediakan perawatan dan perbaikan pesawat yang berbasis di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur.
Para 2015, jumlah karyawan Merpati di kantor pusat sebanyak 33 orang dan 152 orang di kantor cabang. Pada 2016, jumlah karyawan kantor pusat hanya 29 orang dan kantor cabang 132 orang.
Mengacu data kinerja BUMN periode 2015 (setahun setelah tutup), Merpati masih tercatat memiliki aset mencapai Rp 1,32 triliun, berkurang dari aset 2014 sebesar Rp 2,46 triliun dan pada 2012 sebesar Rp 2,79 triliun.
Ekuitas perseroan juga negatif hingga Rp 8,59 triliun dari tahun sebelumnya Rp 6,12 triliun, dan tahun 2012 negatif sebesar Rp 3,74 triliun. Sementara kewajiban Merpati pada 2015 yakni mencapai Rp 9,92 triliun dari 2014 yakni Rp 8,59 triliun dan 2012 sebesar Rp 6,55 triliun.
Sepanjang 2015, perseroan masih membukukan pendapatan Rp 43 miliar, amblas 64% dibandingkan dengan 2014 yakni Rp 121 miliar dan anjlok hingga 98% dari 2012 yang masih sebesar Rp 1,75 triliun.
Merpati mencetak rugi bersih Rp 2,48 triliun, membengkak 209% dari tahun sebelumnya Rp 803 miliar dan rugi bersih 2012 sebesar Rp 1,54 triliun.
Hingga akhir 2018 Iglas membukukan pendapatan senilai Rp 690 juta dan perusahaan juga mendapatkan pendapatan lain-lain senilai Rp 2,84 miliar.
Namun sayangnya beban usaha perusahaan justru lebih tinggi dibanding dengan pendapatan ini, yakni mencapai Rp 6,56 miliar. Selain itu juga terdapat beban lain-lain senilai Rp 57,13 miliar, beban bunga juga tinggi mencapai Rp 48,42 miliar.
Kondisi keuangan yang parah ini membuat perusahaan harus mencatatkan kerugian tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas pengendali senilai Rp 84,61 miliar.
Baru-baru ini PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PPA melakukan pembelian aset dari PT Industri Gelas (Persero). Hasil pembelian aset tersebut, oleh Iglas digunakan untuk membayarkan pesangon kepada 429 eks karyawan Iglas.
Direktur Utama PPA Yadi Jaya Ruchandi mengatakan pembelian aset dan pembayaran eks karyawan ini merupakan bagian dari langkah restrukturisasi yang dilakukan PPA pada Iglas. Pengambilalihan aset tersebut dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Kementerian BUMN selaku pemegang saham.
"Sebagai langkah nyata untuk menjalankan pilar bisnis Restrukturisasi BUMN Titip Kelola, PT PPA melakukan restrukturisasi PT Iglas di mana salah satunya adalah penyelesaian seluruh kewajiban kepada 429 eks karyawan PT Iglas," kata Yadi dalam siaran pers, Jumat (10/9/2021).
Dengan dilakukannya pembayaran pesangon tersebut, maka satu langkah restrukturisasi Iglas telah dilakukan, sesuai dengan roadmap penanganan.
Dikutip dari laporan keuangan BUMN kepada pemerintah pusat untuk periode yang berakhir pada Desember 2018, tercatat kinerja keuangan perusahaan tersebut.
Hingga akhir 2018 Iglas membukukan pendapatan senilai Rp 690 juta dan perusahaan juga mendapatkan pendapatan lain-lain senilai Rp 2,84 miliar.
Namun sayangnya beban usaha perusahaan justru lebih tinggi dibanding dengan pendapatan ini, yakni mencapai Rp 6,56 miliar. Selain itu juga terdapat beban lain-lain senilai Rp 57,13 miliar, beban bunga juga tinggi mencapai Rp 48,42 miliar.
Kondisi keuangan yang parah ini membuat perusahaan harus mencatatkan kerugian tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas pengendali senilai Rp 84,61 miliar.
Pada 2005, perusahaan ini direncakan untuk diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang lebih independen mengenai kondisi sebenarnya di BUMN itu.
Mengutip laman resmi BPKP, upaya ini dilakukan setelah adanya tindakkan dari Direktur Utama Iglas Daniel S. Kuswandi yang mengungkap kebocoran di BUMN tersebut, sedikitnya Rp10 miliar per tahun selama belasan tahun akibat praktik kecurangan (fraud) yang berlangsung selama ini.
Daniel sendiri akhirnya masuk bui setelah buron selama delapan tahun dan tertangkap pada November 2019. Dia telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) atas kasus korupsi senilai Rp 13 miliar.
Dia tertangkap di rumahnya di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan namun diadili di Surabaya dan dieksekusi hukumannya berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.
Dalam putusannya ini, Daniel dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia juga dibebankan membayar uang pengganti senilai Rp 13,9 miliar subsider 2 tahun penjara.
Menteri Erick Thohir telah menyampaikan dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI pada 20 Februari lalu bahwa perusahaan ini sudah berada dalam kondisi dead weight alias sekarat.
"Kita contohkan seperti Industri Sandang Nusantara ini sudah tidak maksimal, tidak kompetisi, tapi sayang sekali asetnya masih ada. Tapi kalau aset dan lain-lain dianggurkan seperti juga Merpati menjadi barang tidak berharga bahkan pegawainya tidak ada," jelas dia.
PT Istaka Karya (Persero)
Perusahaan ini sudah masuk sebagai salah satu perusahaan yang ditangani oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PPA. Kondisi perusahaan ini sudah sangat parah, mulai dari keuangan yang ketat hingga proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Baru-baru ini PPA mengkaji potensi penempatan karyawan BUMN yang tengah direstrukturisasi ke perusahaan pelat merah yang membutuhkan karyawan trampil.
Direktur Investasi 1 dan Restrukturisasi PPA Rizwan Rizal Abidin mengatakan ini merupakan bagian dari penyelamatan lapangan kerja BUMN Klaster Danareksa PPA. Langkah ini telah dimulai dari penempatan karyawan PT Istaka Karya (Persero) ke PT Nindya Karya (Persero).
"Penempatan karyawan PT IK di PT NK adalah yang pertama, kami akan terus kaji operasi BUMN Restrukturisasi lainnya dengan mencoba menerapkan strategi pengurangan beban operasi sementara dengan penempatan karyawan terampil di BUMN Restrukturisasi terkait ke BUMN lainnya di klaster Danareksa PPA yang tentunya lebih membutuhkan dan lebih sehat dalam operasi perusahaannya," kata Rizwan dalam siaran persnya awal tahun ini.
Pengalihan karyawan ini ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara kedua perusahaan. Nota ini berisi rencana Kerjasama penempatan karyawan PT IK di PT NK selama satu tahun sesuai hasil asessment dan kebutuhan PT NK.
Keberadaan perusahaan ini sebelumnya sempat membuat bingung Menteri Keuangan Sri Mulyani yang bahkan tidak menyadari bahwa BUMN ini ada.
Perusahaan ini dahulunya merupakan perusahaan pelat merah yang dulunya bergerak di bidang multifinance untuk kapal. Lalu perusahaan ini erpaksa menanggung beban utang sejak 1994, tanpa mendapatkan pemasukan dari utang tersebut. Padahal, dulunya perusahaan ini menjadi salah satu penyumbang dividen kepada negara.
Direktur Utama PANN Hery S. Soewandi mengatakan saat ini perusahaan terpaksa bertahan dan membiayai 21, termasuk satu direksi dari operasional dua hotel yang dimilikinya. Namun, operasional hotel ini tak mampu menutupi kewajiban perusahaan yang saat ini mencapai Rp 3,76 triliun dan biaya bunga Rp 2,8 triliun.
"Didirikan tahun 1974 dan 20 tahun sampai 1994 PANN menguntungkan. Selalu bayar dividen dan pajak rajin. Nah, kebetulan di 1994 pemerintah menempatkan ada dua transaksi program kerja sama indonesia dengan Jerman dan transaksi kerja sama dengan Spanyol," kata Hery dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (14/7/2020) malam.
Dia mengungkapkan, dua transaksi ini merupakan penugasan langsung dari pemerintah saat itu tanpa melalui kajian bisnis. Sehingga saat itu perusahaan harus membiayai pembelian 10 pesawat dan 31 kapal ikan.
Untuk itu PANN telah mengeluarkan pembiayaan sebanyak US$ 34 juta untuk pesawat dan Rp 150 miliar pinjaman bank untuk membiayai kapal tersebut. Utang inilah yang terus menggunung lantaran penerima bantuan ini tak lagi mampu membayarkan cicilannya, bahkan seluruh perusahaannya saat ini sudah dinyatakan bangkrut.