Analisis

Simposium Jackson Hole Hari Ini, Bakal Picu Taper Tantrum?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 August 2021 18:55
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, CNBC Indonesia - Simposium Jackson Hole di Amerika Serikat (AS) yang digelar hari ini (Jumat waktu AS) menjadi headline sepanjang pekan ini. Maklum saja, acara tahunan tersebut dihadiri oleh pimpinan bank sentral, menteri keuangan, akademisi hingga praktisi pasar finansial dari berbagai negara.

Awalnya, simposium Jackson Hole akan dilakukan dengan tatap muka, tetapi lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) di AS membuat semuanya berubah menjadi daring.

Adapun yang paling dinanti pelaku pasar kali ini adalah pernyataan ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell, mengenai kapan dan bagaimana tapering akan dilakukan. Itu, jika Powell menceritakan hal tersebut, ada kemungkinan juga Powell tidak akan menyinggung masalah pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) tersebut.

Spekulasi tapering akan dilakukan di tahun ini menguat pascarilis risalah rapat kebijakan moneter The Fed edisi Juli pada pekan lalu. Dalam risalah tersebut, mayoritas anggota The Fed melihat tapering bisa dilakukan di tahun ini.

"Melihat ke depan, sebagian besar partisipan (Federal Open Market Committee/FOMC) mencatat bahwa selama pemulihan ekonomi secara luas sesuai dengan ekspektasi mereka, maka akan tepat untuk melakukan pengurangan nilai pembelian aset di tahun ini," tulis risalah tersebut yang dirilis Rabu pekan lalu waktu setempat.

Sebelum simposium Jackson Hole dimulai, beberapa pejabat elit The Fed juga kembali bersuara mendukung tapering di tahun ini.

"Kita kemungkinan tidak perlu lagi melakukan pembelian aset pada titik ini," kata presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard kepada CNBC International kemarin.

Bullard kembali menegaskan pilihannya untuk segara melakukan tapering QE yang saat ini senilai US$ 120 miliar per bulan, dan mengakhiri program tersebut di awal tahun depan.

Ada lagi presiden The Fed wilayah Kansas City Ester George, kepada Fox Business mengatakan ia memperkirakan informasi detail mengenai tapering akan ada setelah rapat kebijakan moneter The Fed bulan September.

"Dengan inflasi yang kuat dan pemulihan pasar tenaga kerja yang diperkirakan berlanjut, ada peluang untuk mengurangi pembelian aset," kata George.

Ia juga lebih senang jika tapering dilakukan lebih cepat ketimbang mundur lagi.

Sementara presiden The Fed wilayah Dallas, Robert Kaplan mengatakan The Fed seharusnya mengumumkan tapering pada bulan September, dan melakukannya di bulan Oktober atau tidak jauh dari pengumuman, dan diselesaikan dalam waktu 8 bulan.

Meski demikian, hasil polling terbaru yang dilakukan Reuters menunjukkan sebanyak 28 dari 43 analis memprediksi The Fed akan mengumumkan tapering pada bulan September.

idrFoto: Refinitiv

Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan, dengan rincian US$ 80 miliar untuk pembelian obligasi pemerintah (Treasury) dan US$ 40 miliar untuk efek beragun aset KPR (Mortgage-Backed Security/MBS).

Sementara polling mengenai kapan tapering akan mulai dilakukan, sebanyak 26 dari 43 analis memprediksi pada kuartal I-2021. Sementara sisanya mengatakan tapering pertama akan dilakukan di kuartal IV-2021.

Jim O'Sullivan, kepala ahli strategi makro Amerika Serikat di TD Securities, tidak yakin The Fed akan mengumumkan tapering pada bulan depan. November dikatakan menjadi lebih masuk akal, sebab The Fed akan melihat perkembangan pasar tenaga kerja lebih lanjut.

"Saya tahu beberapa pejabat The Fed berusaha menekan agar pengumuman tapering dilakukan pada rapat kebijakan moneter bulan September, tetapi itu kemungkinan tidak terjadi," kata O'Sullivan, sebagaimana dilansir Reuters.

"November menjadi mungkin jika data tenaga kerja dalam 2 bulan ke depan menunjukkan perbaikan, bulan Desember sebenarnya lebih favorit sebagai pengumuman resmi," tambahnya.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Tanpa Taper Tantrum

Tapering pernah terjadi di tahun 2013 dan hasilnya tidak baik bagi pasar finansial global. Saat itu terjadi, aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global menjadi bergejolak, yang disebut taper tantrum. Rupiah saat itu terus mengalami tekanan hingga di tahun 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

idr

Pemicu utama taper tantrum pada tahun 2013 yakni kurangnya komunikasi antara The Fed dan pelaku pasar. Pengumuman tapering pada Juni 2013 terbilang mengejutkan pelaku pasar, sehingga pasar bergejolak, dan taper tantrum terjadi.

Patut diingat, cepat atau lambat tapering pasti akan dilakukan oleh The Fed ketika perekonomian AS sudah membaik, inflasi dan pasar tenaga kerja sudah memuaskan bagi bank sentral paling powerful di dunia ini. Saat ini kondisi tersebut sudah tercapai, maka melanjutkan QE senilai US$ 120 miliar per bulan berisiko membuat perekonomian AS overheating, inflasi juga bisa makin tinggi lagi. Sehingga tapering perlu dilakukan, hingga akhirnya QE berakhir.

The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell saat ini sudah terus berkomunikasi dengan pasar terkait dengan tapering. Yang teranyar tentu rilis risalah yang membuka peluang tapering dilakukan tahun ini.

Secara tidak langsung, pelaku pasar diminta untuk bersiap jika tapering terjadi di tahun ini. Sehingga dampak tapering kali ini tidak seperti 2013, atau diharapkan tidak memicu taper tantrum.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, juga menyatakan komunikasi The Fed kali ini jelas sehingga bisa menghindari terjadinya taper tantrum.

"The Fed komunikasinya jelas, kerangka kerjanya kayak apa, inflasi dan pengangguran dan rencana tapering-nya. Tentu saja dengan demikian, pasar semakin memahami pola kerja, kerangka kerja Fed," papar Perry usai Rapat Dewan Gubernur tengah pekan lalu.

"Bahwa kebijakan tapering fed dampaknya tidak akan sebesar taper tantrum pada 2013. Fed tapering yang dilakukan dampaknya ke global dan emerging market khususnya Indonesia Insya Allah tidak sebesar seperti taper tantrum 2013," jelasnya.

Selain mengenai kemungkinan waktu tapering yang sudah diungkapkan, The Fed juga menegaskan tapering tidak ada kaitannya dengan suku bunga The Fed. Artinya, ketika QE sudah berakhir, tidak serta merta suku bunga akan langsung dinaikkan.

Meski kemungkinan tidak akan separah taper tantrum, tapering yang akan dilakukan The Fed pasti akan berdampak pada pergerakan rupiah, dan kemungkinan akan tertekan. Meski, sekali lagi tidak akan mengalami gejolak seperti 2013.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Diperkirakan Sentuh Rp 15.000/US$

Tapering yang akan dilakukan The Fed diprediksi membuat rupiah melemah ke Rp 15.000/US$, tetapi sekali lagi tidak akan separah 2013.

Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021)
"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.

Tahun 2013 menjadi situasi yang suram bagi perekonomian Indonesia. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Dibandingkan 2013, kondisi sekarang tentu berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan. Sementara sekarang porsi asing hanya sekitar 23%.

"Satu hal, outflow tahun lalu sudah besar, itu belum sepenuhnya capital-nya balik. Itu kelihatan dulu foreign holder di bond turun 32% ke 23%. Jadi ini berita bagus, kalau porsi asing makin kecil, efek ke rupiah juga terbatas," imbuhnya.

BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan stabilisasi, yaitu US$ 137,3 miliar. Dari sisi kebijakan BI sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

idr

Menurut Chatib, pelaku pasar juga telah membaca arah pelemahan tersebut. Belajar dari 2013, ketika ada isu tapering, maka opsi yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan defisit fiskal dan menaikkan suku bunga acuan.

Sekarang, kedua opsi tersebut tidak mungkin dilakukan karena mampu menahan pemulihan ekonomi nasional. "Maka opsi yang bisa dilakukan itu hanya membiarkan rupiah pelan-pelan terdepresiasi," terang Chatib.

BI sendiri sudah menyatakan suku bunga baru akan dinaikkan di akhir 2022, sekali lagi menunjukkan sikap ahead the curve.

Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.

"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.

Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).

Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry Selasa lalu yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.

"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Dengan proyeksi tersebut, artinya BI akan lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sebab, The Fed baru akan menaikkan suku bunga pada tahun 2023.

Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

Sikap ahead the curve BI tersebut bisa membatasi tekanan yang akan dialami rupiah ketika The Fed akhirnya menaikkan suku bunga.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular