
Simposium Jackson Hole Hari Ini, Bakal Picu Taper Tantrum?

Tapering yang akan dilakukan The Fed diprediksi membuat rupiah melemah ke Rp 15.000/US$, tetapi sekali lagi tidak akan separah 2013.
Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021)
"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.
Tahun 2013 menjadi situasi yang suram bagi perekonomian Indonesia. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Dibandingkan 2013, kondisi sekarang tentu berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan. Sementara sekarang porsi asing hanya sekitar 23%.
"Satu hal, outflow tahun lalu sudah besar, itu belum sepenuhnya capital-nya balik. Itu kelihatan dulu foreign holder di bond turun 32% ke 23%. Jadi ini berita bagus, kalau porsi asing makin kecil, efek ke rupiah juga terbatas," imbuhnya.
BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan stabilisasi, yaitu US$ 137,3 miliar. Dari sisi kebijakan BI sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
![]() |
Menurut Chatib, pelaku pasar juga telah membaca arah pelemahan tersebut. Belajar dari 2013, ketika ada isu tapering, maka opsi yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan defisit fiskal dan menaikkan suku bunga acuan.
Sekarang, kedua opsi tersebut tidak mungkin dilakukan karena mampu menahan pemulihan ekonomi nasional. "Maka opsi yang bisa dilakukan itu hanya membiarkan rupiah pelan-pelan terdepresiasi," terang Chatib.
BI sendiri sudah menyatakan suku bunga baru akan dinaikkan di akhir 2022, sekali lagi menunjukkan sikap ahead the curve.
Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).
Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry Selasa lalu yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.
"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).
Dengan proyeksi tersebut, artinya BI akan lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sebab, The Fed baru akan menaikkan suku bunga pada tahun 2023.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Sikap ahead the curve BI tersebut bisa membatasi tekanan yang akan dialami rupiah ketika The Fed akhirnya menaikkan suku bunga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
