Analisis Bagian 2

IPO Unicorn Indonesia: Startup Bukan "Dotcom Era 1997"

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
Selasa, 13/07/2021 08:30 WIB
Foto: Bukalapak (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana PT Bukalapak.com Tbk masuk bursa bisa dibilang sebagai 'tes ombak' bagi startup lain yang ingin melantai di bursa. Dengan harga penawaran Rp 750-Rp 850/saham, valuasi Bukalapak mencapai Rp 77 triliun-Rp 88 triliun. Bubble perusahaan dotcom era 1990-an pun dibicarakan.

Sejauh ini, Indonesia belum memiliki startup berstatus unicorn (valuasi di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun, kurs Rp 14.000//US$) yang tercatat di bursa saham.

Menurut laporan firma konsultan global EY dalam laporan berjudul "In The World of Unicorns" (2019), mayoritas unicorn melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Amerika Serikat (AS), dan di Asia hanya ada di dua negara yakni China dan Jepang.


Sumber: EY (2019)

Bukalapak, dengan demikian, akan menjadi unicorn pertama di Asia Tenggara yang masuk bursa. Jika benar-benar meraup dana maksimal Rp 22 triliun, itu akan menjadikannya sebagai nilai penawaran perdana saham terbesar dalam sejarah Indonesia, mengalahkan raupan PT Adaro Energy Tbk sebesar Rp 12,2 triliun pada 2008.

Namun, pertanyaan terbesar yang menggelayuti benak publik tentu saja pada valuasi.

Bagi sebagian orang, valuasi Rp 88 triliun tidak masuk akal untuk Bukalapak yang pendapatannya baru sebesar Rp 1,35 triliun. Salah satunya disampaikan oleh Hasan Zein Mahmud dalam tulisannya yang banyak beredar di sosial media.

Mantan direktur utama PT Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia) ini membandingkan target raupan dana hasil senilai Rp 22 triliun yang sangat besar, mencapai 10 kali lipat dari aset perseroan. Dia mengingatkan tentang biaya modal (cost of capital) yang idealnya didominasi ekuitas (cost of equity) dan bukan utang (cost of debt).

Sayangnya, dia tidak mengupas rerata biaya modal tertimbang (weighted average cost of capital/WACC), yang menjadi patokan untuk menilai pengembalian investasi saham. Dia hanya menilai laba bersih Bukalapak harus tumbuh 7% /tahun agar menarik investor, dengan mengacu pada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun, bukan WACC.

"Kalau imbal hasil saham-yang dihasilkan emiten, bukan dari naiknya harga saham yang cenderung selalu emosional-hanya sebesar yield SUN, 6-7% per tahun, kenapa harus membeli saham yang risikonya lebih tinggi?" ujar Hasan.

Dia mewakili investor yang melihat calon emiten sebagai entitas yang matang dan mengikuti kaidah valuasi konvensional ketika masuk bursa, seperti rasio profitabilitas atau rasio EV/EBITDA (enterprise value/earning before interest, tax, depreciation, and amortization).

Namun bagi investor startup, patokan tersebut jelas tidak relevan untuk mengukur valuasi perusahaan rintisan, yang secara natural membelanjakan setiap uang yang ada guna membangun ekosistem secepatnya. Kian tinggi belanja investasi, konsekuensinya profitabilitas pun kian kecil.

Nilai yang paling diperhatikan terutama adalah: kemampuan menciptakan disrupsi.

NEXT: Startup Bukan Dotcom era 1997-an


(ags/ags)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Melantai di Bursa, Merry Riana Bangun Masa Depan Edukasi

Pages