
IPO Unicorn Indonesia: Startup Bukan "Dotcom Era 1997"

Dalam laporan riset berjudul "Asset Bubble and Market Crises" (2009), Direktur Pelaksana DB Advisor James H. Norman menyebutkan bubble di pasar terbentuk dalam lima fase. Kelima fase tersebut mengada dalam kasus-kasus bubble aset dalam sepanjang sejarah sebelumnya.
Pertama, deviasi (harga dari nilai dasarnya), diikuti mania (booming di pasar mengabaikan deviasi). Ketiga, eforia (yang memicu lonjakan harga hingga mengawang-awang), yang diikuti skeptisme (memicu profit taking meski belum cukup besar), dan akhirnya crash (panic selling alias aksi jual besar-besaran karena ingin segera terbebas dari posisi nyangkut).
![]() |
Untuk melihat peluang bubble startup di pasar modal nasional layaknya di Bursa Wall Street tahun 1997, perlu ada tiga kondisi. Pertama, valuasi yang terdeviasi; kedua, booming perusahaan startup masuk bursa; dan ketiga, fakta bahwa valuasi mereka tak seperti yang dipersepsikan pasar. Kondisi kedua dan ketiga belum relevan dibicarakan karena memang belum terjadi.
Oleh karenanya, kita fokus pada valuasi.
Di titik ini, perlu dipahami bahwa startup adalah perusahaan yang didesain untuk merebut pasar di masa depan (future value), sehingga value-nya bukan terletak pada tinggi-rendahnya laba masa lalu (past value). Apalagi, jika perusahaan itu baru didirikan. Ia bukan skema ponzi yang langsung membagi laba di tahun awal .
Di era digital, masa lalu bukan indikator absolut prospek perusahaan. Kita tentu ingat kasus tutupnya gerai-gerai ritel internasional karena terdisrupsi e-commerce. Investor perlu mengukur proyeksi laba di masa depan dalam valuasi startup, misalnya dengan discounted cash flow (DCF), sebagaimana diakui Hasan belakangan kepada CNBC Indonesia.
"Yang tidak sederhana adalah kemampuan memprediksikan dengan betul proyeksi arus kas yang akan datang. Tak ada satu manusia pun yang tahu pasti apa yang akan terjadi esok hari. Itu sebabnya DCF yang sederhana kemudian diembel embeli dengan 1001 asumsi," jelasnya, meski lagi-lagi tak memberikan perhitungan WACC yang jadi tolak ukur valuasi DCF.
Oleh karenanya, jauh sebelum bicara risiko bubble, sebaiknya kita melihat dulu bagaimana para praktisi pasar modal melakukan perhitungan valuasi WACC atas unicorn di Indonesia. "Perang valuasi" ini lebih relevan dan bergizi untuk disimak oleh publik, ketimbang perang opini.
Dalam beberapa hal, memang ada kemiripan antara dotcom era 1997-an dan startup era 2017-an. Dua hal yang paling terlihat adalah profitabilitas yang buruk, sementara arus kas cenderung tertekan menyusul masifnya upaya membangun ekosistem. Nyaris semua unicorn di Indonesia-termasuk Bukalapak-masih rugi, dan sebagian besar masih "bakar uang."
Namun ada pembeda penting antara Bukalapak dkk dan perusahaan dotcom AS di masa lalu, yakni kemampuan mendisrupsi industri, dengan tidak bergantung pada subsidi bagi konsumen. Ketika internet booming pada tahun 1990-an, di mana jumlah pengguna hanya 200 juta di seluruh dunia, membangun ekosistem bukanlah perkara mudah.
Aksi bakar uang saat itu gagal memicu "ketergantungan" pada internet pada satu laman tertentu, mengingat luasnya pilihan yang tersedia. Bertransaksi di internet, saat itu, berarti bertumpu pada komputer fixed-line (wi-fi baru dipakai secara luas pada 1999). Sederhananya, "going dotcom" berarti "going potato" alias tak bisa ke mana-mana, tak fleksibel.
Hal ini berbeda dari startup yang layanannya bersifat lintas-platform, dan utamanya berbasis telepon genggam yang saat ini justru menjadi bagian vital dalam kehidupan manusia modern. Beberapa startup terbukti sukses mendistor si industri, manakala dotcom gagal.
Pelajaran terpenting dari bubble di era 1990-an adalah: disrupsi teknologi dalam kehidupan kita tak terelakkan. Internet terus berkembang meski ada bubble, dan 48% perusahaan dotcom AS bertahan sampai sekarang. Beberapa bahkan kini berada di puncak dunia. Hal serupa berlaku untuk prospek startup.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]