Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 sudah berat, bahkan sangat berat. Namun 2021, yang awalnya digadang-gadang membawa harapan perbaikan, ternyata tidak kalah rumit.
Sisa masalah besar dari tahun lalu, yaitu pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), masih belum selesai. Memang sudah ada vaksin, tetapi bukan berarti masalah selesai.
Malah kini ada masalah baru karena virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini terus bermutasi. Ada varian Brasil, Inggris, Afrika Selatan, India, dan sebagainya. Virus corona yang bermutasi ini secara umum lebih cepat dan mudah menyebar.
Oleh karena itu, sejumlah negara yang sempat berhasil mengendalikan pandemi kini dibuat sibuk lagi. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura bahkan sampai kembali mengetatkan pembatasan sosial.
Bagaimana dengan Indonesia? Selepas Idul Fitri, kasus positif maupun kasus aktif mengalami peningkatan yang lumayan mencolok.
Kementerian Kesehatan melaporkan total pasien corona di Indonesia per 14 Juni 2021 berjumlah 1.919.547 orang. Bertambah 8.189 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Dalam dua pekan terakhir, pasien positif bertambah rata-rata 6.989 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 5.547 orang per hari.
Secara persentase, rata-rata laju pertumbuhan kasus harian dalam dua pekan terakhir adalah 0,37% per hari. Lebih cepat ketimbang rata-rata 14 hari sebelumnya yakni 0,31% per hari.
Angka kasus aktif pun bergerak ke utara. Kasus aktif adalah jumlah pasien yang masih menjalani perawatan, baik di fasilitas kesehatan maupun mandiri. Data ini menggambarkan seberapa berat tekanan terhadap sistem pelayanan kesehatan di suatu negara.
Per 14 Juni 2021, jumlah kasus aktif corona di Indonesia adalah 115.197 orang. Bertambah 1.809 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir, rata-rata tambahan kasus aktif adalah 942 orang per hari. Lebih tinggi ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 919 orang saban harinya.
Dinamika ini membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengetatkan pembatasan sosial walau tidak ketat-ketat amat. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro kembali diperpanjang hingga 28 Juni 2021. Karyawan yang masuk ke kantor diharapkan hanya 25%, sisanya bekerja dari rumah (work from home/WfH) untuk daerah zona merah. Untuk daerah zona kuning dan hijau, karyawan yang WfH tetap 50%.
Kemudian rumah ibadah di daerah zona merah ditutup untuk sementara sementara dua minggu. Restoran dan pusat perbelanjaan boleh tetap buka dengan pembatasan kapasitas maksimal 50% dan harus tutup pukul 21:00.
Halaman Selanjutnya --> Waspada, Kredit Bermasalah Bisa Meledak!
Semakin lama ekonomi belum dibuka seperti masa sebelum pandemi, maka akan semakin berat tekanan yang dialami oleh sejumlah sektor. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengidentifikasi sejumlah sektor yang terpukul paling dahsyat oleh pandemi, misalnya transportasi dan perdagangan.
Saat yang lain perlahan sudah pulih, dua sektor ini masih tertinggal. Keduanya baru bisa 'tinggal landas' setelah aktivitas ekonomi sudah dibuka sepenuhnya, 100%, seperti masa pra-pandemi.
Masalahnya, dua sektor itu punya paparan atau eksposur yang tinggi di sistem perbankan nasional. Per akhir Maret 2021, total penyaluran kredit perbankan adalah Rp 9.279,98 triliun. Dari jumlah itu, Rp 940,7 triliun (10,14%) dialokasikan ke sektor perdagangan dan Rp 277,33 triliun (2,99%) ke sektor transportasi. Jadi keduanya menyumbang 13,13% dari total penyaluran kredit perbankan.
Saat bisnis perdagangan dan transportasi lesu digebuk pandemi, maka kemampuan bayar pengusahanya tentu terpukul. Ini kemudian memunculkan masalah baru yaitu kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL).
Pada Maret 2021, nilai NPL di sektor perdagangan adalah Rp 42,48 triliun atau 4,51%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,71% dan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 4,01%.
Sementara di sektor transportasi, nilai NPL pada Maret 2021 adalah Rp 6,89 triliun atau 2,84% dari total penyaluran kredit ke sektor ini. Rasio NPL itu naik dibandingkan April 2021 yang sebesar 2% dan April 2020 yakni 2,18%.
Ini adalah masalah yang tidak bisa disepelekan. Ketika sistem perbankan terpapar oleh risiko peningkatan NPL, maka dampaknya bisa menjalar ke seluruh sistem keuangan. Sebab, perbankan masih sangat dominan di sistem keuangan Indonesia.
Halaman Selanjutnya --> The Fed Bikin Tegang
Belum kelar urusan pandemi dan segala tetek bengeknya, ada lagi problema baru. Kali ini datang dari luar negeri, yaitu risiko pengetatan kebijakan bank sentral terutama di Amerika Serikat (AS).
Seiring vaksinasi yang masif dan pembukaan kembali 'keran' aktivitas masyarakat (reopening), ekonomi Negeri Paman Sam merekah. Permintaan masyarakat naik pesat, yang sayangnya belum diikuti oleh kemampuan dunia usaha dalam memasok barang dan jasa.
Oleh karena itu, pelaku pasar mulai mengendus aroma bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan segera ambil ancang-ancang untuk melakukan pengurangan 'dosis' stimulus. Ini akan diawali dengan mengurangi besaran quantitative easing yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan.
Saat the Fed mulai mengurangi quantitative easing, maka era pengetatan alias tapering off telah resmi dimulai. Dimulai dengan menurunkan jumlah pembelian aset, tapering akan berakhir kala suku bunga acuan dikerek ke atas. Ketika itu terjadi, maka kebijakan moneter sudah sah tidak lagi longgar.
Berdasarkan survei yang dilakukan Reuters terhadap 50 ekonom/analis, kemungkinan The Fed belum akan mengumumkan pengurangan quantitative easing bulan ini. Pengumuman sepertinya akan terjadi pada Agustus atau September 2021, tetapi quantitative easing baru benar-benar dilakukan pada awal 2022.
Sebanyak 26% responden memperkirakan pengumuman tapering akan terjadi paling cepat saat pertemuan tahunan di Jackson Hole pada 26-28 Agustus 2021, sementara 32% lainnya memperkirakan saat rapat bulanan September 2021. Sisa 42% responden memperkirakan pengumuman akan lebih lama dari itu.
 Sumber: Reuters |
Apapun itu, yang jelas kebijakan moneter AS tidak bisa selamanya ultra-longgar seperti sekarang. Apalagi ekonomi Negeri Stars and Stripes terus menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah terpukul hebat oleh pandemi virus corona. Pemulihan ekonomi akan menyebabkan tekanan inflasi, sehingga perlu direspons dengan pengetatan kebijakan moneter.
"Vaksinasi yang masif dan berbagai stimulus membuat permintaan tumbuh lebih cepat dari pasokan. Ini menyebabkan efek samping berupa inflasi. Meski The Fed berulang kali menegaskan bahwa tekanan inflasi ini hanya sementara, tetapi 'mantra' itu semakin lama semakin basi," tegas Sal Guateri, Ekonom Senior BMO Capital Markets, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Taper Tantrum Bikin Dana Asing Kabur
Pengetatan kebijakan oleh The Fed akan sangat mempengaruhi pasar keuangan dan perekonomian dunia. Misalnya, begitu quantitative easing dikurangi maka pasokan likuiditas global tidak akan semelimpah sekarang. Akibatnya, aset-aset berisiko menjadi kurang diminati karena dengan likuiditas yang lebih terbatas tentu lebih baik bermain aman di instrumen safe haven. Istilah kerennya, flight to quality, terjadi perpindahan arus modal ke aset dengan kualitas lebih baik.
Belum lagi kalau suku bunga acuan sampai naik. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Arus modal akan berkerumun di sekitar US Treasury Bonds sementara aset-aset berisiko di negara berkembang hanya kebagian remah-remah rengginang.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mempersiapkan diri dari sekarang. Indonesia harus bisa menjaga daya tarik investasi agar pemilik modal tetap berkenan masuk.
Menjaga daya tarik, apalagi buat investor asing, menjadi penting karena mereka punya peran yang signifikan di pasar keuangan Tanah Air. Misalnya di obligasi pemerintah, porsi kepemilikan investor asing hampir mencapai 40%. Ini adalah yang tertinggi di antara negara-negara berkembang yang sekelas (peers) dengan Indonesia.
 Sumber: IMF |
Ketika investor asing merasa menanamkan modal di Indonesia tidak memberikan insentif yang sepadan dengan risikonya, maka yang terjadi adalah flight to quality, pembalikan arus modal (capital reversal). Jika itu terjadi, maka dampaknya di pasar keuangan akan sangat masif mengingat besarnya porsi kepemilikan investor asing.
Indonesia sepertinya belum bisa tenang. Tantangan demi tantangan tidak berhenti berdatangan.
Bagaimana ini, Pak Jokowi...?
TIM RISET CNBC INDONESIA