Semoga RI Kuat Ya, Ini Seramnya Hantu Taper Tantrum!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 June 2021 12:26
Dollar
Foto: REUTERS/Jose Luis Gonzalez/File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menyampaikan hal-hal yang perlu di waspadai ke depan. Salah satunya, ancaman taper tantrum seiring dengan rencana pengetatan kebijakan bank sentral.

Taper tantrum ini berhubungan erat dengan kebijakan suku bunga yang diterapkan oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed.

Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering QE yang dilakukan sejak krisis finansial global 2008.

The Fed saat itu menerapkan QE dalam 3 tahap.

QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.

QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.

Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.

Saat wacana tapering muncul dolar AS menjadi begitu perkasa. Sehingga jika wacana tapering kembali muncul ada risiko dolar AS akan "mengamuk" sebab kondisinya sama dengan 2013, dolar AS tertekan akibat QE The Fed yang senilai US$ 120 per bulan yang dilakukan sejak Maret tahun lalu, dan indeks dolar AS sebelumnya berada di bawah level 90.

Balik lagi ke tahun 2013, The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.

Halaman Selanjutnya >>> Hal Terburuk Bisa Hampiri RI

Besarnya dampak taper tantrum ke Indonesia membuat para pengambil kebijakan mulai waspada. Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mulai bicara soal ancaman taper tantrum.

"Tahun depan, kami memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya. Mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry.

"Inflasi di akan jadi penentu stance monetary policy tahun ini dan tahun depan," tambah Sri Mulyani.

Tanda-tanda ke arah sana memang semakin nyata. Technometrica Market Intelligence/The Investors Business Daily melaporkan, indeks keyakinan ekonomi AS periode Juni 2021 adalah 56,4. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54,4.

Kemudian IHS Markit mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) periode Mei 2021 sebesar 62,1. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan PMI oleh IHS Markit yang sudah berlangsung selama 14 tahun.

Masyarakat dan dunia usaha yang bergairah tentu akan menyebabkan harga barang dan jasa bergerak ke atas alias naik. Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis merilis data Personal Consumption Expenditure (PCE). PCE adalah data yang dijadikan acuan inflasi oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

Pada April 2021, PCE berada di 3,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), tertinggi sejak September 2008. Kemudian PCE inti adalah 3,1% yoy, tertinggi setidaknya sejak 2004.

Kalau melihat data ekonomi AS yang kinclong, maka kecemasan Perry dan Sri Mulyani itu adalah ancaman yang sangat nyata. Indonesia tidak boleh lengah, harus selalu waspada.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular