
Tenang Bos! RI Gak 'Goyang' Hadapi Taper Tantrum 2.0

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve diyakini tidak akan mengguncang pasar modal dan menekan nilai tukar rupiah sebagaimana terjadi pada 2013. Beberapa faktor seperti posisi neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa bakal jadi penentu daya tahan ekonomi RI.
"Kita pernah alami hal ini di 2013 nah bagaimana itu pernah disebut sebagai taper tantrum menyebabkan market bonds dan equity terkoreksi dalam. Di 2022 kemungkinan terjadi jilid 2 taper tantrum tapi kami optimis bahwa kali ini berbeda (efeknya bagi Indonesia)," tukas Chief Investment Officer PT Sinarmas Asset Management Genta Wira Anjalu dalam Capital Market Outlook 2022 yang digelar CNBC Indonesia, Rabu (17/2/2022).
Dia menjelaskan, ada dua faktor yang bakal menjadi kunci Indonesia menghadapi taper tantrum jilid 2 tersebut. Pertama, cadangan devisa RI lebih baik dibanding posisi tahun 2013. Kemudian dari sisi porsi kepemilikan asing di pasar obligasi pada tahun ini yang sebesar 19% tidak sebesar pada 2013 lalu mecapai 40%.
The Federal Reserve (The Fed) diprediksi akan menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini untuk menyikapi lonjakan inflasi. Berkaca pada 2013 silam, tapering AS membawa bencana terhadap pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah jatuh, yield surat berharga negara (SBN) melambung dan secara beruntun merusak laju perekonomian dalam negeri.
Setali tiga uang dengan Genta, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas, Mino menyebut kondisi RI pada 2013 dan tahun ini jauh berbeda, terutama dari sisi bantalan cadangan devisa dan inflasi yang masih cukup rendah.
Dia menjelaskan, dari sisi makroekonomi RI berbanding terbalik dibanding tahun 2013, di mana current account deficit (CAD) defisit dukup besar dan cadangan devisa hanya cukup 5 bulan. Sekarang berbeda. Di kuartal 3 tahun lalu itu CAD surplus 1,5% dari GDP yang merupakan angka yang cukup baik. Sementara cadangan devisa dalam rentang tinggi atau setara 8 bulan untuk impor dan pembayaran utang.
"Ada dua hal yang bisa menjadi bumper menghadapi taper tantrum dari ekternal dan terkait dengan suku bunga (The Fed) di ekstra naik tinggi itu kaitan dengan inflasi. Dan di kita (inflasi) masih rendah sehingga suku bunga kita positif sendiri bahkan di Eropa, AS kan suku bunga riil minus," tegas Mino.
Diketahui, di AS dalam pengumuman indeks harga konsumen (IHK) terbaru 10 Februari lalu, mencatat semua item naik 0,6% pada Januari, dan mendorong inflasi tahunan sebesar 7,5%. Ini merupakan kenaikan terbesar sejak Februari 1982 alias 40 tahun.
Sedangkan di Indonesia, realisasi inflasi pada tahun 2021 tercatat sebesar 1,87% (yoy) atau naik dari realisasi tahun 2020 yang sebesar 1,68% (yoy). Adapun per Januari 2022, tingkat inflasi terjaga di level 1,84% (yoy).
(bul/bul)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pak Jokowi, Ada Yang Lebih Ngeri dari Tapering Off di 2022!
