Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Dolar AS yang pekan lalu begitu perkasa kini mundur teratur. Ada apa ya?
Pada Senin (7/6/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.250 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan, rupiah kian berjaya. Pada pukul 09:06 WIB, US$1 dihargai Rp 14.230 di mana rupiah terapresiasi 0,42%.
Sepanjang pekan kemarin, rupiah melemah tipis 0,07% secara point-point di hadapan mata uang Negeri Paman Sam. Dolar AS masih terjaga di bawah Rp 14.300.
Minggu lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,18% secara point-to-point. Jadi dolar AS tidak hanya berjaya di hadapan rupiah, tetapi terhadap berbagai mata uang dunia.
Nah, hari ini pamor itu mulai memudar. Hari ini pukul 07:28 WIB, Dollar Index terkoreksi tipis 0,03%. Ada apa dengan dolar AS?
Halaman Selanjutnya --> Data Tenaga Kerja AS di Bawah Ekspektasi
Sepertinya gerak dolar AS merespons data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang dirilis akhir pekan lalu. Kementerian Ketenagakerjaan AS mengumumkan pembukaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Mei 2021 adalah 559.000.
Angka tersebut lebih tinggi ketimbang realisasi bulan sebelumnya yaitu 278.000. Akan tetapi, berada di bawah ekspektasi pasar di mana konsensus pasar yang dihimpun Reuters keluar dengan angka 650.000.
"Masih banyak orang yang menganggur, tetapi pada saat yang sama dunia usaha mengaku kesulitan mencari tenaga kerja. Tentu akan lebih banyak penciptaan lapangan kerja kalau perusahaan mudah mencari karyawan," kata Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financials yang berbasis di New York (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Sejumlah kalangan menyalahkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden sebagai penyebab fenomena tersebut. Nyaman dengan BLT, buat apa cari kerja? Toh 'digaji' oleh negara, bukan?
Namun Menteri Ketenagakerjaan AS Marty Walsh membantah. Menurutnya, ada alasan lain mengapa masih banyak rakyat AS yang belum masuk ke pasar tenaga kerja.
"Kelas pekerja AS ingin kembali bekerja, tetapi mereka memberi tahu saya bahwa ada faktor yang belum memungkinkan untuk untuk itu. Misalnya menemukan tempat penitipan anak yang murah, merawat orang tua, dan sebagainya," tegas Walsh, sebagaimana diwartakan Reuters.
Halaman Selanjutnya --> The Fed Terus Tahan Suku Bunga?
Apapun alasannya, yang jelas perekonomian AS tidak menciptakan lapangan kerja setinggi yang diperkirakan. Ini membuat pelaku pasar bimbang, karena kemungkinan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tetap akan memberlakukan kebijakan ultra-longgar agar tercipta penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).
Mengutip CME FedWatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Negeri Adidaya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini hanya 7%. Turun dibandingkan pekan lalu yaitu 8% dan sebulan sebelumnya yang sebesar 12%.
 Sumber: CME FedWatch |
"Data ketenagakerjaan melepas tekanan terhadap The Fed sehingga mereka bisa mempertahankan suku bunga rendah lebih lama lagi. Ini adalah kesempatan bagi para pengambil risiko dan aset-aset berisiko," tutur Jack Alblin, Chief Investment Officer di Cresset Capital Management, seperti diberitakan Reuters.
Ya, mengecilnya probabilitas kenaikan Federal Funds Rate dalam waktu dekat membuat dolar AS tertekan. Tanpa kenaikan suku bunga, berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi kurang menarik.
Perkembangan ini membuat dolar AS mengalami tekanan jual. Rupiah berhasil memanfaatkan peluang ini untuk 'menyalip'.
TIM RISET CNBC INDONESIA