Please, Rupiah! Jangan Sampai Lemas 5 Hari Beruntun Ya...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 April 2021 09:13
Penukaran Uang Kusam
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Setelah melemah empat hari beruntun, rupiah memang berpeluang besar untuk bangkit.

Pada Rabu (14/4/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.600 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Namun beberapa saat kemudian rupiah berhasil menyeberang ke zona hijau. Pada pukul 09:14 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.590 di mana rupiah menguat 0,07%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,07% di Rp 14.600/US$, terlemah sejak November 2020. Pelemahan itu menggenapkan depresiasi rupiah menjadi empat hari beruntun. Selama empat hari tersebut, pelemahan rupiah adalah 0,76%.

Mata uang Tanah Air memang sedang dalam tren melemah. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 1,42% sementara sepanjang 2021 depresiasinya mencapai 3,99%.

Oleh karena itu, akan datang saatnya di mana investor merasa rupiah sudah kelewat 'murah'. Rupiah kembali dilirik, menjadi menarik, dan nilai tukarnya naik.

Berkebalikan dengan rupiah, dolar AS sudah terlalu lama menguat. Sepanjang 2021, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah bertambah 2,06%.

So, pasti akan ada waktunya pelaku pasar menilai dolar AS sudah kemahalan. Ini membuka ruang bagi investor untuk mencairkan keuntungan (profit taking) sehingga dolar AS melemah.

Sepertinya ini yang sedang terjadi sekarang. Pada pukul 07:38 WIB, Dollar Index terkoreksi 0,07%.

Halaman Selanjutnya --> Inflasi AS Terakselerasi, Suku Bunga Naik Dong?

Selain faktor koreksi terknikal tersebut, pelemahan dolar AS juga disebabkan oleh respons pasar terhadap data inflasi Negeri Paman Sam. Pada Maret 2021, inflasi AS tercatat 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adalah laju tercepat sejak Agustus 2012.

Sementara dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), inflasi pada Maret 2021 adalah 2,6%. Ini menjadi laju tercepat sejak Agustus 2018.

Akan tetapi, tidak ada jaminan bahwa inflasi yang tinggi ini bakal berkelanjutan. Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), berkali-kali menyebut bahwa inflasi yang tinggi hanyalah transisi karena sebelumnya nyaris tidak ada inflasi karena dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Dengan 'keran' aktivitas publik yang kini mulai terbuka, permintaan meningkat. Sementara dunia usaha masih menyesuaikan diri karena mereka juga terpukul oleh pandemi sehingga terjadi keketatan pasokan (supply constraint). So, tidak heran laju inflasi terakselerasi.

Pandangan ini membuat peluang kenaikan suku bunga acuan menyempit. Mengutip CME FedWatch per pukul 07:57 WIB, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini adalah 7,5%. Turun dibandingkan kemarin yaitu 9,9%.

fedSumber: CME FedWatch

"Inflasi adalah sebuah proses. Oleh karena itu, kami menilai The Fed tidak akan mempertimbangkan untuk bergerak sampai inflasi terakselerasi secara permanen, yang baru terjadi ketika perekonomian bisa menciptakan lapangan kerja secara maksimal (maximum employment)," kata Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financials yang berbasis di New York (AS), sebagaimana diwartakan Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular