
Please, Rupiah! Jangan Sampai Lemas 5 Hari Beruntun Ya...

Selain faktor koreksi terknikal tersebut, pelemahan dolar AS juga disebabkan oleh respons pasar terhadap data inflasi Negeri Paman Sam. Pada Maret 2021, inflasi AS tercatat 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adalah laju tercepat sejak Agustus 2012.
Sementara dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), inflasi pada Maret 2021 adalah 2,6%. Ini menjadi laju tercepat sejak Agustus 2018.
Akan tetapi, tidak ada jaminan bahwa inflasi yang tinggi ini bakal berkelanjutan. Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), berkali-kali menyebut bahwa inflasi yang tinggi hanyalah transisi karena sebelumnya nyaris tidak ada inflasi karena dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Dengan 'keran' aktivitas publik yang kini mulai terbuka, permintaan meningkat. Sementara dunia usaha masih menyesuaikan diri karena mereka juga terpukul oleh pandemi sehingga terjadi keketatan pasokan (supply constraint). So, tidak heran laju inflasi terakselerasi.
Pandangan ini membuat peluang kenaikan suku bunga acuan menyempit. Mengutip CME FedWatch per pukul 07:57 WIB, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini adalah 7,5%. Turun dibandingkan kemarin yaitu 9,9%.
![]() |
"Inflasi adalah sebuah proses. Oleh karena itu, kami menilai The Fed tidak akan mempertimbangkan untuk bergerak sampai inflasi terakselerasi secara permanen, yang baru terjadi ketika perekonomian bisa menciptakan lapangan kerja secara maksimal (maximum employment)," kata Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financials yang berbasis di New York (AS), sebagaimana diwartakan Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
