
Inflasi AS Diprediksi Naik, Rupiah Bakal Terpuruk Besok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah masih belum mampu bangkit melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (13/4/2021). Rupiah bergerak dalam rentang sempit pada hari ini, sebab perhatian pelaku pasar tertuju pada data inflasi AS yang akan dirilis malam ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah melemah 0,07% ke Rp 14.600/US$, dengan rentang pergerakan hanya di kisaran Rp 14.580 - 14.600/US$. Kemarin, rupiah membukukan pelemahan 0,21%, dan sebelumnya juga melemah dalam 8 pekan beruntun dengan total 4,37%.
Melihat pergerakan rupiah yang sempit hari ini, ada kemungkinan besok akan terjadi pergerakan besar merespon rilis data inflasi AS.
Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) bulan Maret diprediksi tumbuh 2,5% year-on-year (YoY) dari bulan sebelumnya 1,7% YoY.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan diperkirakan tumbuh 1,5% YoY, dari bulan sebelumya 1,3% YoY.
Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneternya. Perhitungan inflasi yang digunakan The Fed adalah personal consumption expenditure (PCE).
Inflasi PCE baru akan dirilis pada 30 April nanti. Meski demikian, inflasi CPI yang dirilis hari ini bisa memberikan gambaran apakah inflasi PCE naik atau turun. Data terakhir menunjukkan inflasi PCE tumbuh 1,4% YoY di bulan Maret, sementara inflasi inti PCE 1,6% YoY.
Jika inflasi terus menanjak maka ekspektasi kenaikan suku bunga akan semakin menguat dan memukul rupiah.
Meski The Fed berulang kali menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023, tetapi pasar tidak percaya begitu saja. Sebab, The Fed sendiri merubah proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini menjadi 6,5% dari prediksi sebelumnya 4,2%.
Besarnya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti dengan pembaharuan panduan kebijakan yang akan diambil, sehingga menimbulkan tanda-tanya di pasar, apakah benar The Fed baru akan menaikkan suku bunga di tahun 2023.
"Kebijakan moneter saat ini diterapkan untuk menghadapi ketidakpastian yang ditumbulkan dari krisis Covid-19. Tetapi, dengan perekonomian yang terus menunjukkan perbaikan serta kemajuan dalam vaksinasi membuat sulit untuk memahami bagaimana kebijakan dikalibrasi dengan benar sekarang," kata Bob Miller, head of Americas fundamental fixed income di BlackRock, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (8/4/2021).
"Stance moneter yang darurat masih sama, meski saat ini tidak ada kondisi darurat" tambahnya.
![]() |
Oleh karena itu, muncul bisik-bisik di pasar The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun ini. Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 7,6% The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti.
Persentase tersebut memang kecil, tetapi jika inflasi di AS semakin tinggi tentunya pelaku pasar melihat probabilitas kenaikan suku bunga akan semakin besar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Berisiko Terpuruk ke Rp 14.700/US$
