Kurs Lira Turki Jeblok Parah, Bakal Menular ke Rupiah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 March 2021 14:47
Mata Uang Turkey
Foto: REUTERS/Murad Sezer

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar lira Turki merosot belasan persen melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin kemarin. Jebloknya lira tersebut sempat memberikan kecemasan di pasar finansial global, yang turut menyeret mata uang emerging market lainnya, termasuk rupiah.

Kemarin, rupiah memang sempat melemah 0,28%, tetapi perlahan berhasil bangkit dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.400/US$.

Sementara itu, lira kemarin sempat merosot lebih dari 13% ke 8,1745/US$ yang merupakan level terlemah sejak 11 November lalu. Tetapi, di penutupan perdagangan, lira memangkas pelemahan menjadi 8% di 7,7963/US$. Pada perdagangan hari ini, lira kembali melemah 1,57% ke 7,9187/US$.

Jebloknya lira terjadi setelah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan memecat Gubernur Bank Sentral Turki (TCMB) pada Jumat pekan lalu.

Gubernur TCMB, Nanci Agbal dipecat Presiden Erdogan tanpa memberikan alasan. Namun, pasar melihat pemecatan tersebut dilakukan akibat Agbal yang agresif menaikkan suku bunga.

Dua hari sebelum dipecat, Agbal menaikkan suku bunga sebesar 200 basis poin menjadi 19%, yang merupakan suku bunga tertinggi sejak Juli 2018.

Seperti diketahui, Presiden Erdogan tidak suka bahkan bisa dikatakan benci dengan suku bunga tinggi.

"Suku bunga tinggi adalah biangnya setan," tegas Erdogan, seperti diberitakan Reuters, pada pertengahan Mei 2018.

Sejak saat itu, suku bunga di Turki terus diturunkan, alhasil inflasi meroket, dan membuat kurs lira babak belur belur sejak semester II-2018, dan semakin parah pada tahun lalu. TCMB sampai harus menguras lebih dari US$ 100 miliar cadangan devisa guna meredam kemerosotan lira.

Nanci Agbal merupakan mantan menteri keuangan Turki, ditunjuk menjadi Gubernur TCMB sejak November 2020 oleh Erdogan setelah memecat Murat Uysal. Sejak saat itu Agbal menaikkan suku bunga secara agresif, total 8,75 basis poin, dan menjadi lebih tinggi dari inflasi. Pada bulan Februari lalul, inflasi Turki tercatat sebesar 15,61%.

Pasar menyambut baik kenaikan suku bunga tersebut, yang membuat lira menguat bahkan sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia.

Pada 16 Februari lalu, lira menyentuh level 6,881/US$, membukukan penguatan 7,4% dibandingkan posisi akhir 2020.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Jebloknya Lira Tak Akan Berdampak Besar ke Rupiah

"Bulan madu" Agbal dengan lira Turki hanya berlangsung sesaat. Baru 4 bulan menjabat Gubernur TCMB Agbal dipecat dan digantikan oleh Sahap Kavcioglu.

Kavcioglu punya latar belakang bankir dan anggota parlemen dari Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AK Parti) yang dipimpin oleh Erdogan. Seperti halnya Erdogan, Kavcioglu punya pandangan yang serupa yaitu suku bunga tinggi adalah 'biangnya setan'.

Goldman Sachs memperkirakan Kavcioglu akan melakukan penurunan suku bunga secara besar-besaran di awal (frontload). Oleh karena itu, bank yang berpusat di New York (AS) tersebut menyatakan risiko pelemahan lira terus-menerus dalam waktu dekat sangat besar.

Jebloknya lira kemarin sempat menyeret mata uang emerging market lainnya. Sebab, sentimen pelaku pasar menjadi memburuk dan beralih ke aset aman (safe haven) seperti dolar AS.

Meski demikian, efek tersebut hanya sementara, dan tidak akan mempengaruhi mata uang emerging market lainnya seperti rupiah dalam jangka waktu yang lama.
Sebab, kemerosotan lira akibat penerapan kebijakan moneter yang tidak biasa, dan hanya terjadi di Turki.

"Apa yang terjadi di Turki sangat spesifik untuk negara itu saja dan tidak memiliki hubungan langsung dengan Asia," kata Khoon Goh, kepala riset Asia di ANZ Banking Group, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (23/3/2021).

Selain itu, riset dari Citi menunjukkan pada tahun lalu jebloknya lira pada periode Agustus hingga awal November tidak diikuti oleh aksi jual mata uang emerging market lainnya.
Apa yang terjadi di Turki tetapi di Turki saja, meski sempat memicu pelemahan mata uang emerging market akibat memburuknya sentimen pelaku pasar.

Seperti disebutkan sebelumnya, Presiden Erdogan tidak menyukai suku bunga tinggi, hingga menyebutnya sebagai "biangnya setan". Tetapi disisi lain, inflasi di Turki sangat tinggi. Lazimnya ketika inflasi menanjak maka suku bunga akan dinaikkan agar lebih tinggi dari inflasi.

Ketika inflasi lebih tinggi dari suku bunga, maka nilai mata uang akan tergerus. Hal itulah yang membuat lira jeblok pada tahun lalu, sebelum akhirnya perlahan kembali menguat setelah Agbal secara agresif menaikkan suku bunga hingga lebih tinggi dari inflasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Anti Mainstream! Bank Sentral Turki Kerek Suku Bunga Jadi 17%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular