Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga saham emiten big cap atau saham dengan kapitalisasi pasar di atas Rp 100 triliun anjlok pada perdagangan Senin (22/3/2021). Penurunan harga ketiga saham tersebut juga terjadi baik dalam sebulan maupun secara year to date (YTD).
Lantas, bagaimana kinerja keuangan dan prospek ketiga emiten ini?
Berikut pergerakan harga ketiga saham big cap tersebut, mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI) periode perdagangan Senin (22/3/2021).
UNVR
Kinerja saham emiten barang konsumen UNVR tercatat merosot 3,60% dalam sebulan. Bahkan, secara YTD produsen sampo brand Clear ini anjlok 12,42%.
Aksi beli asing dalam sebulan Rp 67,06 miliar dan Rp 73,20 miliar secara YTD tampaknya tidak mampu mendorong harga saham UNVR ke zona hijau.
Sebelumnya, UNVR melaporkan laba bersih 2020 tercatat turun 3,11% menjadi Rp 7,16 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 7,39 triliun. Penurunan laba bersih ini seiring dengan kenaikan tipis pendapatan saat pandemi Covid-19.
Total penjualan bersih UNVR di 2020 mencapai Rp 42,97 triliun, naik 0,12% dari 2019 yakni Rp 42,92 triliun.
Satu sentimen negatif bagi saham-saham sektor konsumer ialah data penjualan ritel Indonesia yang masih 'berdarah-darah' dengan pertumbuhan negatif alias kontraksi yang belum kunjung berhenti. Bahkan kontraksinya masih berada di kisaran belasan persen.
Kontraksi ini turut mempengaruhi kinerja emiten-emiten ritel dan barang konsumsi, termasuk UNVR.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2021 berada di 182. Turun 4,3% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM).
Pada Januari 2021, penjualan ritel tumbuh -16,4% YoY. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang -19,2% YoY, tetapi masih lumayan dalam.
Situasi diperkirakan masih suram pada Februari 2021, di mana penjualan ritel diperkirakan tumbuh -0,7% MtM dan -16,5% YoY.
Sementara, dalam riset pada 17 Februari lalu, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memutuskan untuk mengurangi ekspektasi terhadap kinerja UNVR pada tahun ini seiring adanya pandemi Covid-19 di Indonesia sejak tahun lalu. Ada tiga kekhawatiran yang melatarbelakangi hal tersebut.
Pertama, pemulihan kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 di Tanah Air yang lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
Kedua, adanya ketidakpastian terkait potensi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Ketiga, Mirae Asset khawatir soal beban biaya yang lebih tinggi seiring dengan pemulihan daya beli masyarakat yang lambat.
Terlepas dari kekhawatiran tersebut, pihak Mirae Asset tetap yakin bahwa UNVR mampu bertahan di tengah pandemi ini, mengingat perusahaan memiliki beragam produk atau brand.
UNVR ditopang oleh produk kesehatan dan kebersihan dan produk konsumsi di rumah, yang masih menunjukkan kinerja yang baik selama pandemi.
Sementara, produk yang terkait dengan bisnis Unilever Foods Solution (UFS), es krim, dan produk perawatan kulit "telah mengalami kondisi yang menantang" sejak pandemi muncul.
Kendati demikian, Mirae Asset tetap yakin bahwa kinerja UNVR tahun ini akan lebih baik daripada tahun lalu.
Menurut revisi terbaru Mirae Asset, penjualan segmen produk perawatan pribadi alias home and personal care tumbuh 4,5% secara year on year (YoY) sepanjang 2021. Sebelumnya, Mirae Asset memperkirakan pertumbuhan produk ini sebesar 7,0% secara tahunan.
Sementara itu, penjualan segmen Foods and refreshments (F&R) akan tumbuh sekitar 4,7% YoY di FY21. Lebih kecil 2,0% dari perkiraan pertumbuhan sebelumnya di 6,7% YoY.
Kemudian, pendapatan UNVR diperkirakan akan memperoleh pendapatan pada 2021 dan 2021 masing-masing sebesar Rp 44,9 triliun atau 4.6% YoY dan Rp 47,8 triliun atau 6.3% YoY.
Seiring dengan itu, laba bersih emiten dengan sokongan sembilan pabrik ini diperkirakan akan pulih 2,7% YoY menjadi Rp 7,4 triliun pada tahun ini dan kembali naik sebesar 13,4% YoY menjadi Rp 8,3 triliun pada tahun mendatang.
NEXT: Analisis ASII dan HMSP
ASII
Saham emiten 'raja otomotif' ASII juga ambles 3,45% dalam sebulan. Sementara, saham produsen mobil Toyota ini juga diikuti anjlok secara YTD, yakni 11,16%.
Sebelumnya, pada 26 Februari 2021, ASII melaporkan laba bersih perseroan yang drop 26% menjadi Rp 16,16 triliun pada 2020, dibandingkan 2019 yang tercatat sebesar Rp 21,71 triliun.
Laba bersih di atas dihitung setelah memasukkan keuntungan dari penjualan saham PT Bank Permata Tbk (BNLI) sebesar Rp 5,88 triliun. Dengan demikian, tanpa memasukkan keuntungan dari penjualan saham tersebut, laba bersih Grup Astra terjun sebesar 53% menjadi Rp 10,3 triliun
Penurunan laba bersih Astra disebabkan karena penurunan pendapatan bersih sebesar 26% menjadi Rp 175,05 triliun dari Rp 237,17 triliun pada periode waktu yang sama.
Merosotnya kinerja Astradisebabkan, salah satunya oleh merosotnya laba bersih divisi otomotif sebesar 68%.
Sebagai informasi, segmen otomotif menyumbang pendapatan terbesar ASII, yakni 38,81% pada 2020, di atas persentase pendapatan bersih dari segmen alat berat dan pertambangan yang sebesar 34,47%.
Penurunan laba sektor otomotif ini karena penjualan mobil menurun 50% menjadi 270.000 unit dengan pangsa pasar juga sedikit mengalami penurunan. Sementara penjualan sepeda motor turun 41%, tapi pangsa pasar yang meningkat.
Pada 20 Mei 2020, ASII resmi melepas 44,56% atau sebanyak 12,49 miliar saham Bank Permata kepada Bangkok Bank. Dari transaksi tersebut, Astra International mendapatkan dana segar sekitar Rp 16,38 triliun.
Dengan melihat perkembangan penjualan otomotif yang belum signifikan di awal tahun, Astra punya beban besar guna menggenjot kinerja bisnisnya kendati dari lini bisnis komoditas bisa terbantu dengan kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO), dan batu bara, serta emas.
Jangan lupa, Astra didukung bisnis dari PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), dan United Tractors (UNTR) di tambang batu bara dan emas.
Meskipun demikian, secara kapitalisasi pasar, menurut data Gaikindo, Astra masih menjadi penguasa kapitalisasi pasar otomotif di tahun 2020 di angka 50,75%.
Di samping itu, pemerintah juga sudah mengucurkan sejumlah insentif terkait Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk beberapa jenis mobil. Hal ini bisa menjadi sentimen positif untuk mendongkrak permintaan mobil Astra tahun ini.
Terbaru, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengklaim kebijakan diskon PPnBM berdampak positif terhadap penjualan mobil. Hal itu dipaparkan saat diwawancara secara eksklusif oleh CNBC Indonesia, pekan lalu.
Menurut dia, peningkatan pesanan mobil pun sudah mulai terjadi. Merujuk ke data yang dihimpun oleh Kementerian Perindustrian, peningkatannya hampir menembus 150%.
Terlebih, saat ini pemerintah juga mulai merancang aturan untuk mengubah relaksasi Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan dari 1.500 cc menjadi 2.500 cc.
Tahun ini, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memprediksi penjualan mobil akan mengalami kenaikan lebih dari 50% dibanding tahun 2019. Kenaikan ini seiring dengan kembali membaiknya perekonomian dalam negeri yang ditargetkan pemerintah bisa tumbuh 3%-5% tahun ini.
Gaikindo memperkirakan jumlah mobil yang akan terjual pada 2021 bisa mencapai 750 ribu unit.
NEXT: HM Sampoerna
HMSP
Ketiga, saham produsen rokok raksasa HMSP sebenarnya tumbuh 7,66% dalam sebulan terakhir. Akan tetapi, secara YTD, saham anak usaha Philip Morris International ini terperosok sedalam 24,16%.
Sebenarnya, asing masih terus mengoleksi saham produsen rokok kretek Dji Sam Soe ini dalam sebulan terakhir, yakni sebesar Rp 193,42 miliar. Secara YTD pun asing melakukan beli bersih senilai Rp 134,10 miliar.
Merujuk pada laporan keuangan terakhir HMSP pada kuartal III 2020, emiten yang melantai di bursa pada Agustus 1990 ini mencatatkan laba bersih mencapai Rp 6,91 triliun, ambles 32,25% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 10,20 triliun.
Koreksi laba tersebut terjadi seiring dengan pendapatan yang juga menurun di periode Januari hingga September itu. Pendapatan produsen rokok Sampoerna Mild ini turun 12,55% menjadi Rp 67,78 triliun dari periode yang sama tahun 2019 Rp 77,51 triliun.
Apabila menilik per segmen, sigaret kretek mesin (SKM) masih menjadi andalan HMSP dengan menyumbang 66,81% dari total penjualan bersih pada triwulan III tahun lalu. Kemudian, disusul oleh sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 22,67% dan di tempat ketiga sigaret putih mesin (SPM) sebesar 9,64%.
Informasi saja, produk SKM HMSP, yakni Sampoerna A (A Mild), yang menjadi andalan di pasar. Kemudian, ada Sampoerna U (U Mild) dan Philip Morris Bold.
Untuk SPM, HMSP mendistribusikan produk milik induk perusahaan PT Philip Morris Indonesia, Marlboro.
Manajemen HMSP mengakui, dampak negatif ekonomi akibat dari Covid-19 dan adanya kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dari pemerintah telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat dan perubahan prioritas belanja konsumen.
Efeknya berdampak pada penurunan volume industri rokok dan perubahan preferensi rokok konsumen dewasa ke produk-produk yang lebih terjangkau (downtrading) di Indonesia.
Selain, dampak pandemi, HMSP dan juga emiten rokok lainnya menghadapi efek kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang sudah resmi berlaku sejak 1 Februari 2021.
Khusus HMSP, produk rokok yang terkena dampak kenaikan tarif cukai adalah jenis SKM dan SPM. Kebijakan ini tampaknya akan mempengaruhi kinerja emiten ini, apalagi mengingat SKM adalah penyumbang pendapatan terbesar perusahaan.
Sementara itu, sang induk, Philip Morris International (PMI) Inc., juga melaporkan penurunan pendapatan di 2020 di tengah pandemi Covid-19. Volume penjualan rokok HMSP pun ikut terpengaruh pada tahun lalu.
PMI mencatatkan pendapatan bersih turun 3,7% menjadi US$ 28,69 miliar atau setara dengan Rp 402 triliun (kurs Rp 14.000/US$) pada 2020 dari 2019, yakni US$ 29,81 miliar.
Adapun laba operasi turun 0,5% menjadi US$ 11,69 miliar atau setara Rp 164 triliun dari tahun sebelumnya US$ 11,76 miliar. Volume penjualan rokok PMI di Indonesia juga anjlok sebesar 19,3% menjadi 79,5 miliar batang rokok dari 98,5 miliar batang rokok pada 2019.
Dengan demikian, pangsa pasar (market share) HMSP turun 3,4% menjadi 28,8% dari sebelumnya 32,2%.
Mirae Asset Sekuritas Indonesia dalam riset pada 23 Februari lalu, memperkirakan pendapatan HMSP pada kuartal IV 2020 naik 8,5% secara QoQ (quarter-on-quarter). Tetapi, raihan tersebut diperkirakan tetap lebih rendah dari periode yang sama 2019.
Saat ini HMSP belum menerbitkan laporan keuangan perusahaan tahunan (full year) 2020.
Mirae Asset memperkirakan kenaikan rerata harga jual atau average selling price (ASP) HMSP 1% secara QoQ pada triwulan IV tahun lalu, dengan kontribusi terbesar dari produk andalannya, A Mild.
"[Ini] berkat target pasar produk yang lebih tangguh karena kondisi ekonomi yang membaik seiring pembukaan kembali ekonomi telah berlangsung, termasuk pengoperasian kembali restoran di Jabodetabek pada Desember, meskipun dalam jam operasional yang lebih pendek," tulis analis Mirae Asset Christine Natasya dalam risetnya, dikutip Senin (22/3/2021).
Selain itu, pihak Mirae Asset memperkirakan HMSP akan mencatatkan penurunan pendapatan 12,4% secara year on year (YoY) pada kuartal IV tahun lalu. Tetapi raihan tersebut lebih baik dibandingkan dengan perolehan di dua kuartal terakhir, yakni -21,8% YoY pada kuartal II 2020 dan -14,0% YoY di kuartal III 2020.
Mirae Asset memprediksi, merek rokok non-unggulan HMSP masih akan menghadapi persaingan dengan merek yang lebih murah. Di samping itu, penurunan konsumen akan berlanjut pada tahun ini.
Broker asal Korsel ini juga meramal laba bersih HMSP mencapai Rp 2,5 triliun di kuartal IV 2020 atau -28,2% YoY. Proyeksi kumulatif Mirae Asset untuk laba bersih HMSP full year 2020 sebesar Rp 9,4 triliun atau ambles 31,2% YoY.
TIM RISET CNBC INDONESIA