
BI Pilih 'Mengawal Ketat' Rupiah, You Have Chosen Wisely...

Namun dalam jangka pendek, ada kekhawatiran lain yang perlu dicermati oleh BI yaitu tren pelemahan nilai tukar rupiah. Dalam sebulan terakhir, mata uang Tanah Air melemah 2,57% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Sejak akhir 2020 (year-to-date), depresiasi rupiah tercatat 2,35%.
Pelemahan rupiah tidak lepas dari dolar AS yang begitu perkasa. Selama sebulan ini, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 1,02%. Secara year-to-date, indeks ini sudah melesat 1,68%.
Dolar AS mendapat angin karena ekonomi Negeri Paman Sam terus membaik, lebih baik ketimbang perkiraan semula. Dalam proyeksi terbarunya, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2021 di 6,5%, cukup jauh di atas proyeksi yang dibuat pada Desember 2020 yakni 4,2%.
Lalu angka pengangguran pada akhir tahun ini diperkirakan 4,5%. Lebih rendah dibandingkan perkiraan Desember 2020 yang sebesar 5%.
Begitu pula inflasi. Pada Desember 2020, inflasi (yang dicerminkan dalam Personal Consumption Expenditure/PCE inti) 2021 diperkrakan 1,8% dan proyeksi terbaru ada di 2,2%.
![]() |
Pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan inflasi yang semakin membaik menandakan permintaan di Negeri Adidaya bakal meningkat. Artinya, The Fed kemungkinan akan merespons dengan menaikkan suku bunga acuan.
Mengutip dotplot terbaru, ada empat anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang memperkirakan suku bunga akan naik 2022. Lebih banyak ketimbang posisi Desember 2020 yaitu hanya satu.
![]() |
"Adanya sinyal bahwa suku bunga acuan bisa naik lebih awal akan mendorong kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS," sebut riset ING.
Benar saja. Pada pukul 10:50 WIB, yield US Treasury Bonds tenor 10 tahun naik 3,2 bps menjadi 1,6727%, tertinggi sejak Januari 2020.
Obligasi adalah aset aman. Tidak seperti saham yang uangnya bisa 'hangus' tak berbekas, obligasi memberi imbalan tetap (fixed income) plus pengembalian dana penuh ketika jatuh tempo. Jaminan uang kembali dan masih dapat cuan.
Plus, kita sedang bicara obligasi pemerintah AS. Risiko gagal bayar (default) sangat minim kalau tidak mau dibilang mustahil. Obligasi ini mungkin baru gagal bayar kalau AS bubar seperti Uni Soviet.
Sudah aman, sekarang instrumen ini menawarkan imbalan yang semakin meningkat. Aman, cuan pula. Siapa yang tidak tertarik?
Oleh karena itu, investor terus bersiap untuk memborong obligasi pemerintah AS. Otomatis permintaan dolar AS meningkat sehingga nilai tukarnya menguat.
So, Indonesia harus selalu siaga. Kalau tidak mau rupiah terus melemah, Indonesia harus bisa menawarkan sesuatu yang lebih kepada investor asing agar berkenan masuk ke pasar keuangan Ibu Pertiwi.
Sesuatu itu apalagi kalau bukan cuan. Agar cuan di pasar keuangan Indonesia tetap kompetitif, tetap 'seksi', maka suku bunga jangan terlampau rendah. Ruang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate jadi semakin sempit.
