BI Pilih 'Mengawal Ketat' Rupiah, You Have Chosen Wisely...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 March 2021 15:52
BI
Ilustrasi Gedung BI (CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Saat ini MH Thamrin boleh dibilang sedang menghadapi dilema, memilih mendorong pertumbuhan ekonomi atau menjaga stabilitas rupiah.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya stabilitas nilai tukar rupiah dari ketidakpastian keuangan global di tengah inflasi yang tetap rendah," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG.

Bulan lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps). Ini membuat suku bunga acuan berada di titik terendah sepanjang sejarah.

Suku bunga acuan yang rendah akan menekan biaya dana perbankan, sehingga suku bunga deposito bakal turun. Ini sudah terjadi, bahkan laju penurunan suku bunga deposito lebih dalam ketimbang pemangkasan suku bunga acuan.

Sejak awal tahun lalu, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun 150 basis poin (bps). Per Januari 2021, rata-rata suku bunga deposito tenor satu bulan di bank komersial adalah 4,07% per tahun. Dibandingkan Januari 2020, sudah turun 190 bps., lebih dalam ketimbang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate.

Ketika suku bunga deposito sudah terpotong begitu banyak, harapannya suku bunga kredit mengikuti dong. Well, suku bunga kredit memang turun tetapi lajunya sangat lambat. Suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) per Januari 2021 hanya turun 87 bps dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Padahal kredit perbankan adalah 'darah' bagi perekonomian. Sumber pendanaan ekspansi rumah tangga dan dunia usaha masih sangat tergantung kepada kredit perbankan. Kalau bunga masih tinggi, maka rumah tangga dan dunia usaha akan berpikir ulang untuk mengambil kredit, apalagi zaman sedang prihatin gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Oleh karena itu, masih ada setitik harapan agar BI terus memberi keteladanan dengan menurunkan suku bunga acuan lebih dalam lagi. Harapannya, suku bunga kredit bisa turun lebih cepat sehingga kredit menjadi murah dan 'roda' ekonomi berputar kencang.

Halaman Selanjutnya --> Rupiah Tidak Baik-baik Saja

Namun dalam jangka pendek, ada kekhawatiran lain yang perlu dicermati oleh BI yaitu tren pelemahan nilai tukar rupiah. Dalam sebulan terakhir, mata uang Tanah Air melemah 2,57% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Sejak akhir 2020 (year-to-date), depresiasi rupiah tercatat 2,35%.

Pelemahan rupiah tidak lepas dari dolar AS yang begitu perkasa. Selama sebulan ini, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 1,02%. Secara year-to-date, indeks ini sudah melesat 1,68%.

Dolar AS mendapat angin karena ekonomi Negeri Paman Sam terus membaik, lebih baik ketimbang perkiraan semula. Dalam proyeksi terbarunya, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2021 di 6,5%, cukup jauh di atas proyeksi yang dibuat pada Desember 2020 yakni 4,2%.

Lalu angka pengangguran pada akhir tahun ini diperkirakan 4,5%. Lebih rendah dibandingkan perkiraan Desember 2020 yang sebesar 5%.

Begitu pula inflasi. Pada Desember 2020, inflasi (yang dicerminkan dalam Personal Consumption Expenditure/PCE inti) 2021 diperkrakan 1,8% dan proyeksi terbaru ada di 2,2%.

fedSumber: FOMC

Pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan inflasi yang semakin membaik menandakan permintaan di Negeri Adidaya bakal meningkat. Artinya, The Fed kemungkinan akan merespons dengan menaikkan suku bunga acuan.

Mengutip dotplot terbaru, ada empat anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang memperkirakan suku bunga akan naik 2022. Lebih banyak ketimbang posisi Desember 2020 yaitu hanya satu.

fedSumber: FOMC

"Adanya sinyal bahwa suku bunga acuan bisa naik lebih awal akan mendorong kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS," sebut riset ING.

Benar saja. Pada pukul 10:50 WIB, yield US Treasury Bonds tenor 10 tahun naik 3,2 bps menjadi 1,6727%, tertinggi sejak Januari 2020.

Obligasi adalah aset aman. Tidak seperti saham yang uangnya bisa 'hangus' tak berbekas, obligasi memberi imbalan tetap (fixed income) plus pengembalian dana penuh ketika jatuh tempo. Jaminan uang kembali dan masih dapat cuan.

Plus, kita sedang bicara obligasi pemerintah AS. Risiko gagal bayar (default) sangat minim kalau tidak mau dibilang mustahil. Obligasi ini mungkin baru gagal bayar kalau AS bubar seperti Uni Soviet.

Sudah aman, sekarang instrumen ini menawarkan imbalan yang semakin meningkat. Aman, cuan pula. Siapa yang tidak tertarik?

Oleh karena itu, investor terus bersiap untuk memborong obligasi pemerintah AS. Otomatis permintaan dolar AS meningkat sehingga nilai tukarnya menguat.

So, Indonesia harus selalu siaga. Kalau tidak mau rupiah terus melemah, Indonesia harus bisa menawarkan sesuatu yang lebih kepada investor asing agar berkenan masuk ke pasar keuangan Ibu Pertiwi.

Sesuatu itu apalagi kalau bukan cuan. Agar cuan di pasar keuangan Indonesia tetap kompetitif, tetap 'seksi', maka suku bunga jangan terlampau rendah. Ruang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate jadi semakin sempit.

Dalam jangka pendek, memilih menyelamatkan rupiah adalah opsi yang realitis. Sebab kalau bicara mendorong pertumbuhan ekonomi, ada yang lebih berperan ketimbang suku bunga rendah yaitu vaksinasi anti-virus corona.

Indonesia jadi salah satu negara Asia tercepat yang menggelar vaksinasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) jadi Warga Negara Indonesia pertama yang menerima vaksin, dan sejak saat itu laju vaksinasi semakin masif.

Our World in Data mencatat, total vaksin yang sudah disuntikkan ke lengan rakyat Indonesia per 16 Maret 2021 adalah 6,18 juta dosis. Rata-rata tujuh harian vaksinasi ada di 231.400 dosis/hari.

Vaksin, jika efektif, akan membentuk kekebalan tubuh untuk melawan virus corona. Jika sebagian besar penduduk Indonesia sudah divaksin dan memiliki ketahanan, maka akan terbentuk kekebalan kolektif (herd immunity).

Ketika ini terjadi, rantai penularan bisa diputus dan kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada pandemi virus corona. Saat herd immunity tercapai, maka aktivitas dan mobilitas masyarakat bisa kembali seperti dulu lagi.

Oleh karena itu, pengendalian virus melalui vaksinasi menjadi kunci utama untuk menumbuhkan ekonomi. Dalam kajian terbarunya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan apabila pandemi sudah terkendali pada September 2021, maka pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan 4,2%. Namun kalau pandemi bisa dikendalikan lebih cepat lagi, misalnya pada Juli 2021, maka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,8%.

Jadi, untuk saat ini BI bisa melepas 'pedal gas' dulu. Sebab, vaksinasi (jika semakin masif) akan membuat masyarakat nyaman beraktivitas di luar rumah sehingga ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya. Tidak perlu dorongan suku bunga.

Selain itu, BI juga punya waktu untuk mengevaluasi sejauh mana suku bunga kredit turun mengikuti suku bunga acuan. Buat apa BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan lagi kalau dampak ke suku bunga kredit masih belum optimal?

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular