
Data Ekonomi AS Oke Terus, Yakin Tak akan Ada Taper Tantrum?

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil atau yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS) terus menanjak belakangan ini. Sebabnya, pasar melihat perekonomian AS membaik dan inflasi kemungkinan akan naik. Ketika inflasi naik, investor obligasi tentunya melihat yield yang rendah akan merugikan, sehingga melepas kepemilikannya, alhasil yield menjadi menanjak.
Untuk diketahui, harga obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga turun maka yield akan naik, sebaliknya ketika harganya naik maka yield akan turun. Ketika harga obligasi turun, berarti para investor tengah melepas kepemilikannya.
Sepanjang bulan ini, data ekonomi AS memang dirilis cukup impresif. Aktivitas manufaktur AS yang tercermin dari purchasing managers index (PMI) dilaporkan sebesar 59,2 untuk bulan Januari, naik dari bulan sebelumnya 57,1 berdasarkan data dari IHS Markit.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, dan di atas 50 berarti ekspansi.
Menurut Markit, PMI di awal tahun 2021 tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Sementara untuk bulan Februari, Markit melaporkan ekspansi PMI manufaktur melambat menjadi 58,5, tetapi penurunan tersebut sebagai dampak cuaca buruk di AS.
Data dari Markit tersebut menunjukkan sektor manufaktur AS mulai pulih dari kemerosotan akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Dari pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran AS turun menjadi 6,2% di bulan Januari, level tersebut merupakan yang terendah sejak April 2020 lalu, atau yang terendah selama pandemi Covid-19.
Sementara itu, Departemen Perdagangan AS melaporkan di penjualan ritel di bulan Januari tumbuh 5,3% dari bulan sebelumnya (month-on-month/MoM). Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 1,1% dan dari bulan sebelumnya yang turun 1% MoM.
Sementara itu penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan tumbuh 5,9% MoM, lebih tinggi dari prediksi 1,1%, dan bulan Desember yang turun 1,1% MoM.
Penjualan retail bisa mencerminkan belanja konsumen yang merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar 70% dari produk domestik bruto (PDB) AS.
Meski demikian, data tersebut masih belum menunjukkan pulihnya belanja konsumen, sebab kenaikan penjualan ritel tersebut terjadi setelah warga AS mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai US$ 400.
Rilis data penjualan ritel selanjutnya, jika terus menunjukkan pertumbuhan, baru bisa memberikan gambaran pulihnya belanja konsumen.
National Retail Federation (NRF) memprediksi di tahun 2021 ini penjualan akan tumbuh 6,5% hingga 8,2% di tahun ini, dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam dua dekade terakhir.
NRF melihat, vaksinasi yang sedang dilakukan pemerintah AS akan membuat perekonomian berputar lebih kencang. Apalagi, pemerintah AS juga berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1.9 triliun, yang bisa membuat roda perekonomian semakin terakselerasi.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbarunya yang bertajuk World Economic Outlook pada akhir Januari lalu menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) menjadi 5,1%, dari proyeksi sebelumnya 4,6%.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi membaik, pelaku pasar melihat inflasi kemungkinan menanjak, yang terindikasi dari kenaikan yield Treasury. Ketika inflasi menanjak, maka bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memberikan dampak yang besar di pasar finansial, termasuk Indonesia. Saat itu dikenal dengan istilah taper tantrum.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Begini Ngerinya Taper Tantrum