Data Ekonomi AS Oke Terus, Yakin Tak akan Ada Taper Tantrum?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 February 2021 19:00
Joe Biden berkantor di Gedung Putih. (AP/Alex Brandon)
Foto: Joe Biden berkantor di Gedung Putih. (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil atau yield obligasi (Treasury) Amerika Serikat (AS) terus menanjak belakangan ini. Sebabnya, pasar melihat perekonomian AS membaik dan inflasi kemungkinan akan naik. Ketika inflasi naik, investor obligasi tentunya melihat yield yang rendah akan merugikan, sehingga melepas kepemilikannya, alhasil yield menjadi menanjak.

Untuk diketahui, harga obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga turun maka yield akan naik, sebaliknya ketika harganya naik maka yield akan turun. Ketika harga obligasi turun, berarti para investor tengah melepas kepemilikannya.

Sepanjang bulan ini, data ekonomi AS memang dirilis cukup impresif. Aktivitas manufaktur AS yang tercermin dari purchasing managers index (PMI) dilaporkan sebesar 59,2 untuk bulan Januari, naik dari bulan sebelumnya 57,1 berdasarkan data dari IHS Markit.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, dan di atas 50 berarti ekspansi.

Menurut Markit, PMI di awal tahun 2021 tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Sementara untuk bulan Februari, Markit melaporkan ekspansi PMI manufaktur melambat menjadi 58,5, tetapi penurunan tersebut sebagai dampak cuaca buruk di AS.

Data dari Markit tersebut menunjukkan sektor manufaktur AS mulai pulih dari kemerosotan akibat pandemi virus corona (Covid-19).

Dari pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran AS turun menjadi 6,2% di bulan Januari, level tersebut merupakan yang terendah sejak April 2020 lalu, atau yang terendah selama pandemi Covid-19.

Sementara itu, Departemen Perdagangan AS melaporkan di penjualan ritel di bulan Januari tumbuh 5,3% dari bulan sebelumnya (month-on-month/MoM). Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 1,1% dan dari bulan sebelumnya yang turun 1% MoM.

Sementara itu penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan tumbuh 5,9% MoM, lebih tinggi dari prediksi 1,1%, dan bulan Desember yang turun 1,1% MoM.

Penjualan retail bisa mencerminkan belanja konsumen yang merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar 70% dari produk domestik bruto (PDB) AS.

Meski demikian, data tersebut masih belum menunjukkan pulihnya belanja konsumen, sebab kenaikan penjualan ritel tersebut terjadi setelah warga AS mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai US$ 400.

Rilis data penjualan ritel selanjutnya, jika terus menunjukkan pertumbuhan, baru bisa memberikan gambaran pulihnya belanja konsumen.

National Retail Federation (NRF) memprediksi di tahun 2021 ini penjualan akan tumbuh 6,5% hingga 8,2% di tahun ini, dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam dua dekade terakhir.

NRF melihat, vaksinasi yang sedang dilakukan pemerintah AS akan membuat perekonomian berputar lebih kencang. Apalagi, pemerintah AS juga berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1.9 triliun, yang bisa membuat roda perekonomian semakin terakselerasi.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbarunya yang bertajuk World Economic Outlook pada akhir Januari lalu menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) menjadi 5,1%, dari proyeksi sebelumnya 4,6%.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi membaik, pelaku pasar melihat inflasi kemungkinan menanjak, yang terindikasi dari kenaikan yield Treasury. Ketika inflasi menanjak, maka bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memberikan dampak yang besar di pasar finansial, termasuk Indonesia. Saat itu dikenal dengan istilah taper tantrum.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Begini Ngerinya Taper Tantrum

Taper tantrum pernah terjadi pada pertengahan 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga menjadi "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE mulai akhir 2008, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga, saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan, dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah "taper tantrum", di mana mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering pada Juni 2013, nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.

Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed sudah mengucurkan QE sekitar 3,3 triliun. Hal tersebut tercermin dari nilai balance sheet The Fed yang kini mencapai US$ 7,56 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun.

Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, dibandingkan saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008. Saat itu, nilai balance sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Tegaskan Tidak Ada Tapering di Tahun Ini

The Fed di awal tahun ini dalam beberapa kesempatan menegaskan belum akan melakukan tapering di tahun ini, sebab inflasi yang masih rendah.

Selain itu, para anggota dewan The Fed sepakat akan terus menginformasikan ke pasar kapan program QE akan mulai dikurangi. Dengan demikian, artinya The Fed berusaha untuk meredam terjadinya taper tantrum, yang bisa membuat pasar finansial global bergejolak.

Apalagi, The Fed sudah merubah pendekatannya terkait inflasi. Sebelumnya, The Fed menetapkan target inflasi 2%, ketika inflasi mendekati target The Fed biasanya akan mengetatkan moneter. Kini bank sentral paling powerful di dunia ini menetapkan target inflasi rata-rata 2%. Yang perlu digarisbawahi adalah kata "rata-rata"


"Dengan perubahan tersebut, kita tidak akan mengetatkan kebijakan moneter meski pasar tenaga kerja sudah menguat," kata Powell dalam testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat, Kongres AS, Selasa (23/2/2021).

Artinya, meski inflasi nanti mencapai 2%, The Fed tidak akan langsung merubah kebijakannya, tetapi membiarkannya lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai rata-rata inflasi 2%, sebab inflasi saat ini masih jauh di bawahnya.

The Fed menggunakan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE), yang saat ini berada di level 1,3%.

"Kami jujur saja bahwa tantangan masih berat. Kami tidak akan menaikkan suku bunga acuan sampai ada tanda-tanda inflasi menuju target 2%. Kita bisa mencapai itu, kita akan menuju ke sana. Namun mungkin butuh waktu lebih dari tiga tahun," ungkap Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representative (DPR), sebagaimana dikutip dari Reuters, Rabu (24/2/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular