Namun bagi investor ritel, sebelum membabi buta mentransaksikan saham ini, ada baiknya menyimak baik-baik fundamental dan valuasinya. Pasalnya, Lo Kheng Hong terkenal sebagai penganut value investing artinya punga horizon investasi jangka panjang dengan memperhitungan semua aspek fundamental, bukan melakukan transaksi dalam jangka pendek.
Awalnya, foto tersebut tersebar setelah salah satu investor Lukas Setia Atmaja penulis buku 'Who Wants To Be a Smiling Investor" memposting foto kunjungan ke kantor pusat PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) Oktober 2019 silam di akun Instagramnya.
Dalam postingan tersebut terpantau pria yang akrab disapa LKH ini sedang memegang gula Rose Brand yang merupakan salah satu produk TBLA.
CNBC Indonesia menkonfirmasi terkait foto yang beredar luas di kalangan pelaku pasar modal tersebut. Menurut Lo, demikian sapaan akrab Warren Buffett Indonesia ini, ini merupakan foto lama.
"Foto lama Oktober 2019, jadi viral," kata Lo kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/2/2021).
Sebelumnya memang beredar di kalangan para pelaku pasar bahwa LKH merupakan salah satu pemegang saham TBLA, tapi jumlahnya di bawah 5% sehingga tak tercatat di keterbukaan informasi.
Lo mengakui dia menjadi salah satu investor saham TBLA. "Ada," kata Lo saat CNBC Indonesia menanyakan apakah punka kepemililan di saham TBLA, tapi tidak menyebutkan secara rinci besarasan saham yang ia miliki.
Tercatat pemegang saham TBLA per 31 Desember 2020 adalah PT Sungai Budi sebagai pengendali yang merangkul 28,08%, PT Budi Delta Swakarya yang juga merupakan pengendali dengan kepemilikan 27,18%, sedangkan sisanya dimiliki oleh investor publik 43,52%. Perseroan juga melakukan pembelian saham kembali alias buyback sebanyak 1,22%.
Sebelumnya saham-saham yang dimiliki LKH sering melesat kencang setelah foto LKH yang terkait dengan suatu emiten atau keterbukaan informasi yang mengungkapkan bahwa LKH memiliki saham di perusahaan tersebut.
PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) dan PT Global Mediacom Tbk (BMTR) adalah berberapa saham yang terbang menyentuh level tertinggi yang diijinkan oleh regulator (ARA, kenaikan 25% dalam sehari) setelah publik mengetahui kepemilikan LKH di saham tersebut.
Hal ini tentu saja membuat para pelaku pasar bertanya, apakah memang saham TBLA menarik dan masih murah secara fundamental sehingga investor sekelas LKH mau mengkoleksi? Bagaimana prospek usaha TBLA? Simak analisis berikut.
TBLA merupakan salah satu emiten yang bergerak di industri pertanian, khususnya perkebunan sawit dan produk turunannya. Mengusung konsep integrated agricultural company, TBLA memiliki lahan perkebunan kelapa sawit, tebu dan memproses hasil komoditas tersebut menjadi minyak sawit mentah (CPO), produk olahan sawit lain seperti margarin, sabun hingga biodiesel.
Total luas area perkebunan yang dimiliki oleh TBLA mencapai 78.171 hektar yang berlokasi di Lampung, Palembang dan Pontianak.
Selain memproduksi berbagai produk olahan minyak sawit, TBLA juga memproduksi gula putih serta gula rafinasi. Untuk jenis gula putih yang diproduksi oleh TBLA berasal dari lahan perkebunannya sendiri seluas 12.878 hektar yang merupakan hasil konversi perkebunan kelapa sawit yang sudah tua di Lampung.
Selain itu, TBLA juga memperoleh kuota untuk mengimpor gula mentah yang selanjutnya diproses menjadi gula rafinasi. Produk-produk baik olahan CPO seperti minyak goreng hingga gula TBLA dipasarkan dengan nama dagang yang tentunya sudah tidak asing lagi yaitu Rose Brand.
Gula, minyak goreng dan biodiesel merupakan produk penyumbang pendapatan terbesar bagi perusahaan. Ketiganya berkontribusi terhadap hampir 85% dari total pendapatan perusahaan selama periode sembilan bulan 2020 atau senilai Rp 6,88 triliun.
Pendapatan Tetap Sukses Bertumbuh di Tengah Pandemi
Pada periode Januari-September 2020, pendapatan perusahaan mengalami kenaikan sebesar 29% (yoy) dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Perusahaan berhasil membukukan laba sebesar Rp 8,1 triliun dari sebelumnya Rp 6,3 triliun.
Sempat terdampak pandemi Covid-19 TBLA berhasil mencatatkan kenaikan pendapatan karena naiknya harga-harga komoditas pangan, tak terkecuali harga gula dan harga CPO. Pendapatan dari segmen gula mengalami kenaikan 24% (yoy) selama sembilan bulan pertama tahun lalu.
Pada periode yang sama pendapatan dari segmen bisnis minyak goreng dan biodiesel masing-masing naik 66% (yoy) dan 27% (yoy). Baik volume penjualan maupun harga produk sama-sama naik sehingga mendongkrak penjualan.
Kenaikan paling signifikan dicatatkan oleh segmen minyak goreng yang harga jual rata-ratanya naik 18,4% (yoy) dari Rp 8.903/kg (9M19) menjadi Rp 10.543/kg karena kenaikan harga CPO. Volume penjualan minyak goreng TBLA juga naik signifikan sebesar 39,7% (yoy) dari 154.631 ton menjadi 215.961 ton.
Salah satu pemicu peningkatan volume penjualan minyak goreng TBLA karena adanya bantuan pemerintah untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 melalui pendistribusian sembako. Di sisi lain adanya PSBB membuat intensitas masyarakat memasak di rumah juga ikut mengalami peningkatan.
Fokus program B30 (30% biodiesel dan 70% minyak diesel) oleh pemerintah RI juga membuat penjualan biodiesel TBLA meningkat pesat. Pada 2020 TBLA mendapat kontrak penjualan biodiesel ke PT Pertamina sebanyak 342 ribu ton atau naik 32% dibanding tahun sebelumnya.
Pendapatan dari lini bisnis gula mengalami kenaikan volume 2,4% (yoy) sementara harga jual rata-ratanya naik 19% (yoy). Kenaikan harga jual rata-rata dipicu oleh harga pasaran gula yang melesat tajam di bulan April. Kala itu harga 1 kg gula dipatok di Rp 19.000, jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp 12.500/kg.
Akibatnya pemerintah harus kembali membuka keran impor. Sampai dengan bulan September 2020, impor gula TBLA tercatat mencapai 180 ribu ton, jauh lebih banyak dari akhir tahun 2019 yang hanya 70 ribu ton.
Kendati penjualan meningkat laba TBLA justru turun dari Rp 503 miliar menjadi Rp 405 miliar. Salah satu alasannya adalah kerugian kurs akibat depresiasi nilai tukar rupiah saat pasar keuangan global ambruk Maret tahun lalu. Depresiasi rupiah yang tajam jelas membuat biaya impor TBLA menjadi lebih mahal.
Rupiah sempat anjlok ke level Rp 16.000/US$ di pasar spot. Depresiasi rupiah pada akhirnya membuat TBLA harus mencatatkan kerugian kurs senilai hampir Rp 71 miliar. Tergerusnya profitabilitas TBLA juga diakibatkan oleh penurunan produksi CPO yang menjadi bahan baku minyak goreng dan biodiesel.
Perusahaan melaporkan pada paruh pertama tahun lalu produksi CPO turun hingga 30% (yoy). Hal ini membuat TBLA harus membeli CPO dari pihak luar untuk memenuhi kebutuhan produksi produk-produk turunannya. Komposisi penggunaan CPO internal dan eksternal TBLA pada paruh pertama tahun 2020 sebesar 30% : 70%. Padahal sebelumnya perbandingannya sama 50% : 50%. Kenaikan harga CPO yang sangat tajam terutama sejak semester kedua tentu membuat margin tergerus.
Laba bersih perusahaan memang mengalami penurunan yang cukup tajam. Namun apabila melihat profitabilitas yang berfokus pada operasional perusahaan atau yang sering dikenal dengan EBITDA (Earnings Before Interest Tax Depreciation & Amortization), ada yang menarik dari TBLA.
Sebagai perusahaan yang bergerak dari hulu ke hilir di sektor pertanian CPO dan tebu nilai EBITDA perusahaan tercatat terus membukukan pertumbuhan. Menggunakan periode sembilan bulanan EBITDA TBLA mampu tumbuh secara impresif. Sejak 2013-2020 EBITDA TBLA tumbuh 28,6% secara compounding per tahunnya (CAGR/compounding annual growth rate).
Untuk melihat apakah valuasi TBLA masih tergolong 'murah' maka perlu diperhatikan beberapa metrik valuasi yang umum digunakan. Salah satunya adalah dengan menggunakan indikator nilai buku (book value).
Nilai buku TBLA menggunakan laporan keuangan periode September 2020 adalah sebesar Rp 1.047/unit. Hal ini menunjukkan sejatinya harga pasarnya masih berada di bawah nilai buku riilnya.
Ditutup di harga Rp 920/unit pada perdagangan kemarin (5/2/21), saham TBLA saat ini ditransaksikan di 0,88 kali nilai bukunya (price to book value/PBV) yang tentu saja masih sangat murah apabila dibandingkan dengan rata-rata PBV industri bahan-bahan pangan yang berada di angka 3 kali.
Sedangkan apabila menggunakan metode valuasi harga pasar dibandingkan dengan laba bersihnya (price to earnings ratio/PER) maka angka yang didapatkan juga tergolong murah dimana PER TBLA berada di kisaran 9,10 kali, lagi-lagi masih berada di bawah rata-rata PER industri bahan-bahan pangan yang berada di angka 18,8 kali
Bahkan apabila menggunakan nilai intrinsik saham TBLA yang biasanya tentunya lebih besar daripada nilai bukunya, para pelaku pasar akan mendapatkan angka yang lebih menakjubkan.
Tercatat nilai intrinsik saham TBLA menggunakan metode permodelan Refinitiv StarMine Projection Model berada di angka Rp 2.279,84/unit. Bagi seorang value investor yang tertarik untuk mengkoleksi saham TBLA masih memiliki margin of safety (MOS) yang besar yaitu 59,65%.
Hal ini menunjukkan saham TBLA berpotensi mencatatkan keuntungan bagi para investor mencapai 247,80% apabila harga pasar TBLA kembali ke level nilai intrinsiknya di angka Rp 2.279.84/unit.
Outlook perseroan untuk tahun 2021 tampaknya masih terlihat lebih positif dibanding tahun lalu. Tahun ini pemerintah masih akan memberikan kebijakan makro yang akomodatif. APBN akan dimaksimalkan untuk menjadi instrumen pendongkrak perekonomian.
Lewat instrumen fiskal tersebut pemerintah berfokus pada demand creation sehingga bisa menjaga daya beli masyarakat. Hal ini tentu positif untuk sektor-sektor konsumen yang menjadi ujung tombak TBLA.
Selanjutnya meski pemerintah masih belum terlihat akan menggeber program B40, tetapi vaksinasi yang mulai dilakukan sejak pertengahan Januari diharapkan mampu mendongkrak perekonomian.
Ketika optimisme masyarakat untuk kembali mobile meningkat ada harapan pemerintah bakal mulai menggenjot program B40 sebagai salah satu strategi diversifikasi penggunaan sumber energi dan mengurangi ketergantungan impor.
Program B40 tentunya akan menjadi katalis positif untuk pendapatan TBLA mengingat lebih dari 25% dari total pendapatannya ditopang oleh segmen ini. Apalagi saat ini TBLA sedang membangun fasilitas produksi biodiesel di lampung dengan kapasitas sebesar 450 ribu ton per tahun. Apabila rampung sesuai target maka total kapasitas produksi biodiesel TBLA bakal mencapai 765 ribu ton per tahun.
Sentimen commodity supercycle juga diperkirakan membuat harga CPO terbang. Harga CPO diramal tembus ke level tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Ketika harga CPO terangkat, harga produk turunannya pun akan ikut terangkat.
Ketika produksi TBLA kembali naik pasca pandemi dan pembelian CPO dari pihak ketiga diturunkan jelas ini bakal membuat keuntungan ganda bagi perusahaan karena ada kenaikan harga jual rata-rata produk minyak gorengnya serta adanya penurunan ongkos produksi yang akan berakhir pada perbaikan marjin laba.
Adanya La Nina memang membuat output mengalami penurunan akibat banjir. Namun La Nina hanya akan berlangsung sampai kuartal pertama saja. Setelah itu produksi kelapa sawit akan mulai pulih. Peningkatan produksi sawit TBLA tentu akan membuat margin perusahaan terdongkrak porsi pembelian bahan baku berupa CPO dari pihak eksternal bisa diturunkan.
Bahkan dilantiknya Joe Biden, kandidat dari Partai Demokrat menjadi Presiden Amerika Serikat juga membawa berkah tersendiri bagi TBLA. Hal ini mengingat secara historis pemimpin dari Partai Demokrat doyan menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai yang fantastis. Dengan cairnya stimulus fiskal maka nilai mata uang Dolar AS berpotensi melemah karena jumlah dolar beredar meningkat dan sebaliknya rupiah akan menguat.
Tren penguatan ini tentunya akan membuat kinerja perusahaan menjadi lebih positif. Pertama, apabila TBLA yang kemungkinan besar akan kembali mendapat kuota impor dari pemerintah dimana 6 dari 7 tahun terakhir TBLA sukses mengamankan kuota impor ini maka penguatan rupiah akan membuat biaya impor TBLA menjadi lebih rendah.
Selain itu sebagian besar hutang perusahaan juga tercatat dalam mata uang dolar yakni sebesar 45,02% dari total hutang perusahaan. Dengan melemahnya nilai Greenback maka perseroan akan lebih mudah untuk melunasi atau membayar bunga kewajibanya yang tercatat dalam mata uang Paman Sam.
Penguatan Rupiah jelas ini menjadi katalis positif untuk kinerja keuangan TBLA tahun ini mengingat kerugian kurs di tahun lalu akan berbalik menjadi keuntungan di tahun ini.
Overall, outlook perekonomian dan industri yang positif di tahun 2021 diharapkan mampu mendongkrak kinerja keuangan TBLA sebagai salah satu raksasa di sektor minyak goreng, gula, serta biodiesel.
TIM RISET CNBC INDONESIA