
Teliti! Meski Lo Kheng Hong Punya Saham TBLA, Cek Valuasinya

Kendati penjualan meningkat laba TBLA justru turun dari Rp 503 miliar menjadi Rp 405 miliar. Salah satu alasannya adalah kerugian kurs akibat depresiasi nilai tukar rupiah saat pasar keuangan global ambruk Maret tahun lalu. Depresiasi rupiah yang tajam jelas membuat biaya impor TBLA menjadi lebih mahal.
Rupiah sempat anjlok ke level Rp 16.000/US$ di pasar spot. Depresiasi rupiah pada akhirnya membuat TBLA harus mencatatkan kerugian kurs senilai hampir Rp 71 miliar. Tergerusnya profitabilitas TBLA juga diakibatkan oleh penurunan produksi CPO yang menjadi bahan baku minyak goreng dan biodiesel.
Perusahaan melaporkan pada paruh pertama tahun lalu produksi CPO turun hingga 30% (yoy). Hal ini membuat TBLA harus membeli CPO dari pihak luar untuk memenuhi kebutuhan produksi produk-produk turunannya. Komposisi penggunaan CPO internal dan eksternal TBLA pada paruh pertama tahun 2020 sebesar 30% : 70%. Padahal sebelumnya perbandingannya sama 50% : 50%. Kenaikan harga CPO yang sangat tajam terutama sejak semester kedua tentu membuat margin tergerus.
Laba bersih perusahaan memang mengalami penurunan yang cukup tajam. Namun apabila melihat profitabilitas yang berfokus pada operasional perusahaan atau yang sering dikenal dengan EBITDA (Earnings Before Interest Tax Depreciation & Amortization), ada yang menarik dari TBLA.
Sebagai perusahaan yang bergerak dari hulu ke hilir di sektor pertanian CPO dan tebu nilai EBITDA perusahaan tercatat terus membukukan pertumbuhan. Menggunakan periode sembilan bulanan EBITDA TBLA mampu tumbuh secara impresif. Sejak 2013-2020 EBITDA TBLA tumbuh 28,6% secara compounding per tahunnya (CAGR/compounding annual growth rate).
(trp/hps)