
Stimulus di AS US$ 900 Cair, Pasar kok Malah Gak Bergairah?

Tidak bisa dipungkiri, salah satu pemicu bangkitnya bursa saham global pascamengalami aksi jual masif di bulan Maret lalu adalah stimulus fiskal AS jilid I atau yang disebut CARES Act senilai US$ 2 triliun.
Sejak digelontorkan pada bulan Maret lalu, bursa saham AS (Wall Street) terus meroket, hingga akhirnya mencetak rekor tertinggi sepanjang masa beberapa pekan terakhir.
Penguatan kiblat bursa saham dunia tersebut membuat bursa saham di negara lain terkerek naik, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Dengan digelontorkannya CARES Act, perekonomian AS perlahan bangkit dari resesi, dan sentimen pelaku pasar pun membaik, alhasil kembali memburu aset-aset berisiko.
Tetapi pada stimulus fiskal jilid II, tidak terjadi euforia. Indeks saham berjangka (futures) AS masih flat hingga sore ini, kemudian bursa saham Asia bervariasi, dan bursa saham Eropa masuk ke zona merah.
Pelaku pasar sudah mengantisipasi (price in) akan cairnya stimulus tersebut, sehingga tidak lagi ada euforia. Tetapi ketika stimulus tersebut sudah memberikan dampak ke perekonomian, bursa saham global bisa kembali menguat.
Sementara itu dari dalam negeri, IHSG kembali melesat 1%, tetapi penguatan tersebut didukung sentimen dari dalam negeri.
Sentimen itu yakni pemerintah menyelesaikan dua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Omnibus Law Ciptaker) dan satu Keputusan Presiden (Kepres) yang memayungi pendirian dana abadi (Sovereign Wealth Fund) Lembaga Pengelola Investasi yang akan menjadi alternatif pembiayaan proyek infrastruktur di Indonesia.
Terbaru, ada isu perombakan kabinet (reshuffle) kembali menguat menjelang akhir tahun, setelah dua anggota kabinet Indonesia Maju tersandung masalah hukum.
Tetapi, secara global untuk saat ini, pengetatan pembatasan sosial yang ramai dilakukan di beberapa negara membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Negara-negara Eropa sudah banyak melakukan pengetatan, termasuk Jerman, motor penggerak ekonomi Benua Biru.
Terbaru di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson memperkenalkan zona Tier 4 yang sebelumnya paling mentok Tier 3. Tier 4 menandakan wilayah yang paling parah mengalami 'serangan' virus corona. Beberapa wilayah, termasuk ibu kota Inggris, London, berada dalam kategori tersebut.
Di daerah berlabel Tier 4, warga benar-benar diimbau untuk #dirumahaja kecuali bekerja, kepentingan yang maha penting, memenuhi kewajiban hukum, sekolah, atau berolahraga sendiri. Warga yang tinggal di luar wilayah Tier 4 dilarang masuk, dan warga Tier 4 tidak boleh menginap di tempat lain.
Pertemuan di luar ruangan dibatasi, satu orang hanya boleh menemui satu orang. Seluruh kegiatan non-esensial seperti kolam renang, pusat kebugaran, bioskop, arena bowling, rumah judi, bar, salon, dan pusat perawatan harus tutup sementara. Aturan mengenai Tier 4 akan dikaji ulang pada 30 Desember 2020.
"Dengan sangat berat hati, saya harus katakan bahwa kita tidak bisa merayakan Hari Natal seperti yang direncanakan sebelumnya. Terus terang, saya tidak punya alternatif lain," ungkap Johnson dalam konferensi pers, sebagaimana diwartakan Reuters.
Kemudian dari Australia, Reuters melaporkan sejauh ini di Sydney sudah ada 83 kasus baru pada pekan lalu, yang membuat beberapa negara bagian melarang kedatangan warga dari kota terbesar di Australia. Beberapa maskapai bahkan sudah membatalkan penerbangan keluar Sydney mulai hari ini.
Pengetatan pembatasan sosial di berbagai negara tersebut membuat dolar AS yang menyandang status safe haven kembali diminati. Alhasil, rupiah melemah pada hari ini, meski stimulus fiskal di AS sebenarnya bisa memberikan sentimen positif bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]