Dolar AS Ngamuk, Rupiah dan Mata Uang Asia Jadi "Tumbal"

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 December 2020 15:44
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (21/12/2020). Pembatasan sosial yang kembali marak diterapkan di berbagai negara membuat dolar AS kembali perkasa setelah merosot sepanjang pekan lalu.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.080/US$, setelahnya langsung terdepresiasi hingga 0,5% ke Rp 14.150/US$.

Rupiah berhasil memangkas pelemahan dan berada di level Rp 14.100/US$, melemah 0,14%, dan menghabiskan sepanjang perdagangan di level tersebut, hingga penutupan.
Tidak ada satu pun mata uang Asia yang selamat dari amukan dolar AS, Hingga pukul 15:06 WIB, baht Thailand menjadi mata uang terburuk dengan pelemahan 0,7%. Rupiah dengan pelemahan 0,14% bisa dikatakan cukup bagus, hanya kalah dari dolar Taiwan yang melemah lebih tipis 0,04% dan peso Filipina yang stagnan.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

Dolar AS kembali menguat berkat statusnya sebagai mata uang safe haven. Pada bulan Maret lalu, saat virus corona ditetapkan sebagai pandemi, berbagai aset investasi mulai dari saham hingga emas mengalami aksi jual masif. Pelaku pasar mengalihkan investasinya ke dolar AS, sehingga muncul istilah "cash is the king". Tetapi bukan sembarang uang tunai, hanya dolar AS, sebab kala itu mata uang lainnya termasuk rupiah rontok hingga ke level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.

Pergerakan tersebut menunjukkan keuntungan yang didapat dolar AS dari pandemi virus corona. Hal tersebut terjadi lagi pada hari ini, sebab banyak negara mulai kembali mengetatkan pembatasan sosial.

Inggris misalnya, Perdana Menteri Boris Johnson memperkenalkan zona Tier 4 yang sebelumnya paling mentok Tier 3. Tier 4 menandakan wilayah yang paling parah mengalami 'serangan' virus corona.

Ibu kota Inggris, London, termasuk dalam kategori tersebut.

"Dengan sangat berat hati, saya harus katakan bahwa kita tidak bisa merayakan Hari Natal seperti yang direncanakan sebelumnya. Terus terang, saya tidak punya alternatif lain," ungkap Johnson dalam konferensi pers, sebagaimana diwartakan Reuters.

Kemudian Australia, Reuters melaporkan sejauh ini di Sydney sudah ada 83 kasus baru pada pekan lalu, yang membuat beberapa negara bagian melarang kedatangan warga dari kota terbesar di Australia. Beberapa maskapai bahkan sudah membatalkan penerbangan keluar Sydney mulai hari ini.

Kembali diketatkannya pembatasan sosial tentunya membuat prospek pemulihan ekonomi kembali terhambat.

Meski sedang menguat, tetapi dolar AS kemungkinan besar akan tertekan lagi, sebab stimulus fiskal di AS akan segera cair.

Kongres AS telah mengatasi perbedaan politik mengenai kesepakatan stimulus senilai US$ 900 miliar, yang memasukkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai US$ 600 per orang.

Paket tersebut juga memasukkan bantuan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) senilai US$ 300 miliar dan tambahan dana klaim tunjangan pengangguran senilai US$ 300 per pekan, yang saat ini dinikmati 12 juta orang pengangguran.

Proposal stimulus kini tinggal di-voting, sebelum disahkan oleh Presiden AS, Donald Trump, dan resmi cair.

Gelontoran stimulus fiskal akan menambah jumlah uang yang beredar di perekonomian, secara teori dolar AS akan melemah.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan kebijakan moneter Kamis dini hari. The Fed berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.

Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.

The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.

Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.

"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.

Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular