
Dolar AS Ngamuk, Rupiah dan Mata Uang Asia Jadi "Tumbal"

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (21/12/2020). Pembatasan sosial yang kembali marak diterapkan di berbagai negara membuat dolar AS kembali perkasa setelah merosot sepanjang pekan lalu.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.080/US$, setelahnya langsung terdepresiasi hingga 0,5% ke Rp 14.150/US$.
Rupiah berhasil memangkas pelemahan dan berada di level Rp 14.100/US$, melemah 0,14%, dan menghabiskan sepanjang perdagangan di level tersebut, hingga penutupan.
Tidak ada satu pun mata uang Asia yang selamat dari amukan dolar AS, Hingga pukul 15:06 WIB, baht Thailand menjadi mata uang terburuk dengan pelemahan 0,7%. Rupiah dengan pelemahan 0,14% bisa dikatakan cukup bagus, hanya kalah dari dolar Taiwan yang melemah lebih tipis 0,04% dan peso Filipina yang stagnan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Dolar AS kembali menguat berkat statusnya sebagai mata uang safe haven. Pada bulan Maret lalu, saat virus corona ditetapkan sebagai pandemi, berbagai aset investasi mulai dari saham hingga emas mengalami aksi jual masif. Pelaku pasar mengalihkan investasinya ke dolar AS, sehingga muncul istilah "cash is the king". Tetapi bukan sembarang uang tunai, hanya dolar AS, sebab kala itu mata uang lainnya termasuk rupiah rontok hingga ke level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Pergerakan tersebut menunjukkan keuntungan yang didapat dolar AS dari pandemi virus corona. Hal tersebut terjadi lagi pada hari ini, sebab banyak negara mulai kembali mengetatkan pembatasan sosial.
Inggris misalnya, Perdana Menteri Boris Johnson memperkenalkan zona Tier 4 yang sebelumnya paling mentok Tier 3. Tier 4 menandakan wilayah yang paling parah mengalami 'serangan' virus corona.
Ibu kota Inggris, London, termasuk dalam kategori tersebut.
"Dengan sangat berat hati, saya harus katakan bahwa kita tidak bisa merayakan Hari Natal seperti yang direncanakan sebelumnya. Terus terang, saya tidak punya alternatif lain," ungkap Johnson dalam konferensi pers, sebagaimana diwartakan Reuters.
Kemudian Australia, Reuters melaporkan sejauh ini di Sydney sudah ada 83 kasus baru pada pekan lalu, yang membuat beberapa negara bagian melarang kedatangan warga dari kota terbesar di Australia. Beberapa maskapai bahkan sudah membatalkan penerbangan keluar Sydney mulai hari ini.
Kembali diketatkannya pembatasan sosial tentunya membuat prospek pemulihan ekonomi kembali terhambat.
