Indonesia pun ikut terkena dampak hantaman Covid-19 yang membuat ekonomi nasional mengalami resesi dalam 22 tahun terakhir setelah dua kuartal beruntun Produk Domestik Bruto (PDB) domestik terkontraksi.
Salah satu sektor yang ikut terkena imbasnya adalah pasar modal. Ketidakpastian yang begitu tinggi membuat pasar saham terguncang yang membuat arus modal keluar (capital outflows) keluar dari bursa saham domestik.
Fenomena ini juga dialami seluruh bursa saham di dunia. Indeks Harga Saham Gabungan sempat terjerembab ke level terendahnya di tahun 2020 pada level 3.997 pada 24 Maret 2020.
Agar koreksi IHSG tidak lebih dalam, regulator pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Self Regulated Organization (SRO) bergerak cepat untuk meredam guncangan akibat pandemi Covid-19 melalui berbagai kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan di antaranya, trading halt selama 30 menit perdagangan jika IHSG turun 5% dalam sehari, kebijakan buyback saham tanpa melalui RUPS, larangan transaksi short selling dan paket stimulus lainnya, hingga relaksasi penyampaian laporan keuangan bagi emiten.
Tak hanya itu, berbagai sentimen positif membaiknya ekonomi domesti yang perlahan pulih sejalan dengan kebijakan pelonggaran pembatasan sosial dan stimulus pemerintah, pasar saham perlahan bangkit.
Sampai dengan 23 November 2020, IHSG perlahan kembali menanjak dan bertengger di posisi 5.652 meskipun pelaku pasar asing masih tercatat melakukan jual bersih senilai Rp 40,55 triliun.
Volatilitas pasar saham memang tak terhindarkan di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Namun, kabar baiknya, di saat krisis justru menjadi momentum penambahan jumlah investor ritel domestik.
Investor ritel punya peran menjadi bantalan atau shock breaker di saat bursa saham mengalami krisis. Fenomena penambahan jumlah investor ritel ini juga terjadi di bursa saham di negara Asia Tenggara.
Menurut Direktur Perdagangan dan Anggota Bursa BEI, Laksono Widodo, di masa pandemi, terjadi peningkatan transaksi dari investor ritel domestik. Hal ini menjadi katalis yang positif untuk meredam tekanan pasar saham yang terguncang arus modal keluar yang begitu besar sejak awal tahun.
"Investor ritel mendominasi rata-rata transaksi harian, 51% dari investor ritel dengan rata-rata nilai transaksi harian Rp 6,3 triliun," ujar Laksono, dalam diskusi "The Role of Retail Investors in Maintaining Market Stability amid Pandemic Situation" secara daring, Rabu (21/10/2020).
Beberapa hal yang menjadi alasan transaksi ritel meningkat karena mereka memiliki uang tunai berlebih yang mulai diinvestasikan di pasar saham di tengah era suku bunga rendah. "Yang lebih penting, ritel saat ini memilih saham-saham bluechip IDX 30 dan LQ45, yang dijadikan sebagai benchmark dibanding saham-saham small cap," ujar Laksono.
Peningkatan juga terjadi di bursa saham ASEAN seperti Bursa Saham Thailand (SET). Menurut Senior Executive Vice President, Corporate Strategy The Stock Exchange of Thailand Saraphol Tulayasathien, nilai rerata transaksi harian di Bursa Thailand naik 19% dari US$1.707 juta menjadi US$ 2.037 juta "Bursa Thailand juga mencatat adanya penambahan sebanyak 230 ribu investor baru sampai dengan Agustus 2020," imbuhnya lagi.
Peningkatan investor ritel juga dialami di Singapura. Janice Kan, Managing Director, Head of Markets, Equities at SGX menuturkan, terjadi kenaikan partisipasi investor ritel menjadi 20% dari sebelumnya 15% selama pandemi. Hal ini juga turut memberikan andil terhadap naiknya rata-rata nilai transaksi harian di di Bursa Negeri Singa tersebut. "Terjadi peningkatan nilai transaksi harian sebesar 40%. Sedangkan pembukaan rekening efek mengalami kenaikan sebanyak 25%," katanya.
Senada, kenaikan nilai transaksi sampai dua digit juga terjadi di Bursa Malaysia. Hal ini, menurut Mohd Zulkifli Mustafa, Director, Corporate Strategy, Bursa Malaysia Berhad tak lain disebabkan meningkatnya partisipasi dari investor ritel.
Untuk itu, menurutnya, digitalisasi di segala platform menjadi yang terpenting dan mengedukasi masyarakat agar semakin banyak yang berminat untuk berinvestasi di pasar modal. "Digitalisasi platform menjadi penting, melalui edukasi secara digital. Dengan hal itu akan mengakselerasi pertumbuhan investor ritel," katanya.
 Foto: Dok BEI Data Bursa |
Hal ini juga diamini Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Ia mengatakan, saat ini investor ritel mengusai transaksi di pasar saham. Investor ritel mampu menguasai 73% dari retata nilai transaksi harian di Bursa Efek Indonesia (BEI).
"73% transaksi pasar saham adalah transaksi [investor] ritel, dan ini merupakan transaksi paling banyak 5 tahun terakhir," ucap Wimboh Santoso saat Pembukaan Capital Market Summit and Expo 2020 di Jakarta, Senin (19/10/2020).
Wimboh menambahkan, meski situasi pasar saham Indonesia sudah mulai bergairah kembali, investor tetap harus waspada dan momentum yang ada sekarang tidak disia-siakan agar pasar modal bisa lebih dalam.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi mengatakan, pada tahun ini, BEI mencatatkan pertumbuhan investor baru di bursa yang signifikan, di mana ada penambahan lebih dari 1 juta Single Investor Identification (SID) saham, reksa dana dan obligasi sehingga total investor sudah mencapai 3,5 juta.
Hasan menyebutkan adanya peningkatan aktivitas transaksi terutama dari kelompok domestik ritel, di mana tercatat setidaknya ada 253 ribu investor yang aktif bertransaksi setiap bulannya dan untuk hariannya mencapai 78 ribu per hari atau meningkat 43% (yoy).
"Saat ini ada 3,5 juta investor pasar modal. Tren kenaikan signifikan kita catat di SID saham, pertumbuhannya dalam setahun sudah 400 ribu investor baru, sekarang sudah lebih dari 1,5 juta atau 44,3% dari total investor yang ada," ucap Hasan Fawzi, Jumat (20/11/2020).
Dari sisi kepemilikan, tutur Hasan, porsi kepemilikannya juga naik, per Oktober sudah mencapai 12,2% dari kepemilikan saham yang ada. Porsi nilai transaksi investor ritel juga semakin mendominasi.
Direktur Utama BEI, Inarno Djajadi menyatakan, jumlah investor pasar modal tumbuh cukup pesat di tahun ini yang didorong oleh menggeliatnya transaksi dari investor ritel domestik. Investor pasar modal sudah mengalami kenaikan 22% dari tahun lalu menjadi 3 juta investor. Angka 3 juta investor itu kata dia sudah termasuk investor di instrumen saham, obligasi dan reksa dana.
"Pertumbuhan investor pasar modal signifikan, di tahun ini sudah mencapai 3 juta investor. Naik 22% dari 2019," kata Inarno Djajadi, dalam acara webinar, Kamis (13/8/2020).
Dari sisi jumlah investor aktif harian, BEI juga mencatat ada kenaikan mendekati 100% dari sebelumnya rata-rata investor yang aktif melakukan transaksi di kisaran 50 ribu sampai 60 ribu, pada Juni 2020 jumlahnya mencapai puncak di 112 ribu investor. Fenomena kenaikan investor ritel yang cukup signifikan ini sebetulnya sudah dirasakan oleh sejumlah perusahaan sekuritas kendati pasar saham terkoreksi cukup tajam.
Head of Equity Research PT BNI Sekuritas, Kim Kwie Sjamsudin menuturkan, fenomena kenaikan investor ritel ini tak hanya terjadi di bursa saham domestik, melainkan jadi fenomena global.
"Di negara maju mereka beberapa banyak menggunakan stimulus yang mereka terima untuk investasi di pasar saham. Sekarang ini karena institusi awal waktu pandemi masih sangat khawatir," ucapnya, dalam pemaparan, Selasa (28/7/2020).
Sejak awal tahun ini, BNI Sekuritas mencatat penambahan sebanyak 40 ribu investor ritel baru menjadi 160 ribu SID secara akumulasi. Hal yang sama juga terjadi di PT Mandiri Sekuritas. Saat pandemi, justru terjadi banyak penambahan Single Investor Identification (SID) baru.
Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, Dannif Danusaputro menuturkan pandemi mendorong masyarakat untuk mengelola keuangan dengan baik dan mengalokasikan dananya untuk investasi guna mengantisipasi kebutuhan dana darurat di masa depan.
"Dengan WFH ini banyak investor baru yang masuk ke market dan konsentrasinya di saham yang memiliki fundamental baik, sehingga memberikan kesempatan kepada investor ritel melakukan invesasi berdasarkan fundamental yang benar," kata Dannif, dalam paparan kinerja di Gedung Mandiri Sekuritas, Kamis (23/7/2020).
Sementara itu, Direktur Utama KSEI Uriep Budhi Prasetyo menyebut, investor pasar modal Indonesia yang tercatat di KSEI terus mengalami pertumbuhan hingga menjelang akhir tahun 2020 ini.
Pertumbuhan investor selama sekitar 10 bulan terakhir ditopang oleh pertumbuhan investor Reksa Dana sebesar 49,4% dan investor Surat Berharga Negara (SBN) 37,10%. Pertumbuhan juga dicatatkan oleh investor saham selama sekitar 10 bulan terakhir yang meningkat 27,87%.
Adapun, karakteristik demografi investor masih didominasi oleh pria sebesar 61%, sedangkan investor wanita berjumlah 39%. Selain itu, dari data yang tercatat di KSEI, demografi investor semakin bergerak ke usia yang lebih muda.
Data KSEI menunjukan bahwa investor usia di bawah 30 tahun berjumlah 47,84% dan usia 31 - 40 tahun berjumlah 24,31%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa sekitar 70% investor pasar modal Indonesia berada pada usia muda.Kepemilikan investor muda tersebut juga cenderung meningkat dibandingkan akhir Desember 2019.
"Hal ini memperlihatkan antusiasme investor dalam berinvestasi yang tidak surut di kala pandemi," kata Urip.
SRO Pasar Modal terus berupaya mendorong meningkatkan transaksi dan mendiversifikasi investor, hal ini dilakukan untuk memperdalam pasar keuangan di Indonesia, terutama produk-produk di pasar modal.
Meski tingkat inklusi keuangan di Indonesia sudah mencapai 80%, namun literasi keuangan, atau tingkat melek keuangan masyarakat Indonesia barulah mencapai 37% dari 268 juta jiwa penduduk Indonesia, ini menjadi tugas bersama terus memperdalam pasar keuangan tanah air.
Salah satu yang dilakukan BEI juga adalah dengan melakukan penyesuaian regulasi perihal jenjang perubahan harga maksimum atau maximum price movement dalam perdagangan reksa dana yang dapat diperdagangkan di bursa atau Exchange-Traded Fund (ETF). Perubahan regulasi ini diharapkan bisa mendorong investor untuk melakukan transaksi ETF dan mendiversikasi investor di pasar modal.
 Foto: Dok BEI Data Bursa |
Sebab, saat ini, perdagangan ETF berkembang cukup signifikan sejak tahun 2017 sampai dengan saat ini. Hal ini ditandai oleh 45 ETF yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai dengan Oktober 2020 dan Asset Under Management (AUM) ETF yang mencapai Rp 13,3 triliun. Saat ini, tercatat Perdagangan ETF sudah menarik minat 22 Manajer Investasi dan 7 Anggota Bursa yang terdaftar sebagai Dealer Partisipan.
Tidak hanya itu, kata Hasan Fawzi, inovasi tersebut juga diharapkan akan lebih memudahkan Dealer Partisipan ETF dalam memberikan kuotasi ETF sesuai dengan volatilitas pasar dan spread yang diperlukan oleh Dealer Partisipan. "Kami juga berharap perdagangan ETF akan semakin likuid dan lebih banyak transaksi yang dapat terjadi di pasar sekunder," ujarnya.
Kepala Riset Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan menilai, salah satu yang dilakukan untuk mendiversifikasi investor adalah memperkuat literasi mengenai pasar modal. Hal ini, menurut dia, sangat penting untuk menghilangkan stigma bahwa pelaku pasar saham hanya dari kalangan tertentu saja.
Sebetulnya, kata Alfred, sejumlah inisiasi BEI yang dilakuakan selama ini melalui program edukasi dan literasi sudah cukup baik, di antaranya pelaksanaan paparan publik dan berbagai inisiasi kegiatan lain yang dapat dijangkau melalui siaran langsung, di YouTube melalui platform aplikasi Zoom, tapi kata dia hal ini belum menjangkau potensi investor secara massif.
Salah satu yang bisa dilakukan BEI, kata dia, adalah masuk ke level pendidikan formal dengan mengenalkan kurikulum investasi di pendidikan tingkat sekolah menengah atas (SMA) untuk tujuan jangka panjang. Meski di sisi lain, saat ini, BEI juga sudah membuka berbagai galeri investasi di berbagai universitas di Indonesia untuk mengenal dan berinvestasi di pasar modal kepada para mahasiswa.
"Pendalaman pasar mesti ada sesuatu yang massif, yaitu masuk melalui kurikulum pendidikan, itu yang bisa lebih cepat mengenalkan pasar modal. Kalau seperti ini terus tidak akan bisa, selalu ada backlog potensi investor," ujarnya.
Sebab, saat ini, pasar modal Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan memperluas pendalaman pasar, sehingga, perlu adanya terobosan baru yang harus dilakukan seluruh pemangku kebijakan agar pasar modal semakin membumi, seperti apa yang dikemukakan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution periode 2015-2019.
"Pasar modal bukan hanya untuk mereka yang memiliki rumah di atas awan, tetapi bagi mereka yang bermukim di bumi."