Kondisi pasar keuangan yang tidak seragam ini menunjukkan bahwa sejatinya investor sedang agak gamang. Pada awal pekan, tersiar kabar bahwa vaksin anti-virus corona buatan Moderna (perusahaan farmasi asal AS) punya tingkat kesuksesan 94,5% dalam menangkal virus jahanam yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.
Sebelumnya, calon vaksin yang tengah dikembangkan Pfizer dan BioNTech juga diklaim punya tingkat efektivitas di atas 90%. Sedangkan vaksin Sputnik-V buatan Rusia disebut-sebut memiliki tingkat kesuksesan 92%.
Kabar ini tentu sangat menggembirakan. Akhirnya ada setitik cahaya di ujung terowongan, ada harapan tidak lama lagi umat manusia akan punya 'tameng' perlindungan dari serangan virus corona. Selamat tinggal pembatasan sosial (social distancing), selamat jalan karantina wilayah (lockdown), selamat datang hidup normal!
Namun euforia kabar vaksin tidak bertahan lama. Investor (dan seluruh dunia) yang sempat terbuai kembali harus terhempas ke bumi kala melihat data penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 20 November 2020 adalah 56.623.643 orang. Bertambah 620.744 orang (1,11%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam sepekan kemarin, jumlah pasien positif bertambah 4.095.284 orang. Lebih tinggi dibandingkan pekan sebelumnya yaitu 3.945.055 orang.
Lonjakan kasus baru, dan belum ada vaksin, membuat pemerintahan di berbagai negara masih harus menerapkan social distancing, bahkan dalam kadar yang lebih ketat. Negara seperti Swedia, yang awalnya enggan mengedepankan social distancing, pun sampai harus melakukan pembatasan.
"Jangan pergi ke pusat kebugaran, jangan pergi ke perpustakaan, jangan mengundang makan malam. Batalkan. Ini adalah norma baru bagi seluruh masyarakat," tegas Stevan Lofven, Perdana Menteri Swedia, seperti dikutip dari Reuters.
Pengetatan pembatasan sosial yang terjadi di banyak negara membuat prospek ekonomi menjadi suram. Roda ekonomi bergerak sangat perlahan, sehingga semakin sulit untuk keluar dari jurang resesi.
Kegalauan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di bursa saham New York. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 turun 0,73% secara point-to-point, tetapi Nasdaq Composite mampu menguat terbatas 0,22%.
"Terjadi tarik-menarik di pasar antara lonjakan kasus Covid-19 dan kemajuan dalam pengembangan vaksin. Ini sepertinya masih akan terjadi sampai penggunaan vaksin disetujui dan disitribusikan," kata David Carter, Chief Investment Officer di Lennox Wealth Advisors yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, lagi-lagi ada kabar baik dari vaksin anti-virus corona.
Pfizer telah resmi mengajukan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) terhadap vaksin yang mereka kembangkan kepada otoritas pengawas obat dan makanan AS (US FDA). Ini adalah proposal izin EUA pertama yang diajukan ke FDA.
Hasil uji coba akhir vaksin Pfizer dan BioNTech menunjukkan tingkat efektivitas mencapai 95%. Tidak ada efek samping yang signifikan selama pelaksanaan uji coba.
"Pengajuan izin ini menandakan pencapaian baru dalam usaha kami mengantarkan vaksin Covid-19 kepada dunia. Kami sudah memiliki gambaran yang lebih lengkap tentang keamanan vaksin ini," kata CEO Pfizer Albert Bourla, sebagaimana diwartakan Reuters.
FDA belum bisa berkomentar kapan EUA bisa diberikan. Namun yang jelas FDA akan mengadakan rapat pleno pada 10 Desember 2020 di mana para anggota akan membahas penggunaan vaksin. Alex Azar, Menteri Kesehatan AS, memperkirakan izin EUA akan keluar pada pertengahan Desember.
"Jika datanya solid, maka dalam hitungan minggu izin bisa keluar terhadap vaksin yang memiliki efektivitas 95%," ungkap Azar dalam wawancara dengan CBS, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Kabar ini kemungkinan bakal membuat pasar kembali bergairah. Lagi-lagi datang harapan bahwa hidup bisa normal kembali, bebas dari belenggu dan rasa takut akibat virus corona. Miliaran penduduk dunia bisa beraktivitas dengan normal, roda ekonomi bergerak lancar, lapangan kerja tercipta, pengangguran dan kemiskinan bisa ditekan. Tak ada lagi resesi...
Sentimen kedua, pelaku pasar perlu waspada karena ada kabar kurang enak dari Afrika Selatan. Dua lembaga pemeringkat (rating agency), Fitch Ratings dan Moody's Investor Services, menurunkan peringkat utang Negeri Nelson Mandela.
Fitch menurunkan peringkat utang Afrika Selatan dari BB menjadi BB- sementara Moody's memangkas dari Ba2 menjadi Ba1. Semuanya berstatus obligasi sampah (junk bond).
"Penurunan peringkat dan outlook menjadi negatif mencerminkan kenaikan utang pemerintah yang diperparah oleh pandemi virus corona. Tren pertumbuhan ekonomi rendah dan ketimpangan yang tinggi akan mempersulit upaya konsolidasi fiskal," sebut keterangan tertulis Fitch.
Fitch memperkirakan ekonomi Afrika Selatan terkontraksi (tumbuh negatif) 7,3% pada 2020. Pertumbuhan ekonomi 2021 memang bisa mencapai 4,8%, tetapi lebih karena efek basis yang rendah (low base effect). Pada 2022, pertumbuhan ekonomi Afrika Selatan diperkirakan melambat ke 2,5% dan dalam jangka menengah-panjang hanya di kisaran 1,5%.
Dengan ekonomiyang tumbuh terbatas, penerimaan pajak pun tidak bisa digenjot. Akibatnya, target untuk menurunkan defisit anggaran ke 7,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun fiskal 2023/2024 akan sulit terwujud.
"Kami memperkirakan utang pemerintah akan meningkat ke 94,8% dari PDB pada tahun fiskal 2022/2023 dari 64,9% pada 2019/2020. Puncaknya akan terjadi pada 2025/2026, di mana utang pemerintah mencapai 95,3%," sebut laporan Fitch.
Apa yang terjadi di Afrika Selatan dikhawatirkan membawa sentimen negatif terhadap aset-aset keuangan di negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia. Padahal pengelolaan utang Indonesia aman-aman saja, tetapi bisa saja kena getahnya.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data penjualan sepeda motor Indonesia periode Oktober 2020 (tentatif).
- Rilis data pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PM) manufaktur Australia periode November 2020 (05:00 WIB).
- Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur Prancis periode November 2020 (15:15 WIB).
- Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur Jerman periode November 2020 (15:30 WIB).
- Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur Zona Euro periode November 2020 (16:00 WIB).
- Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur Inggris periode November 2020 (16:30 WIB).
- Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur AS periode November 2020 (21:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (kuartal III-2020 YoY) | -3,49% |
Inflasi (Oktober 2020 YoY) | 1,44% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2020) | 3,75% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (kuartal III-2020) | 0,36% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (kuartal III-2020) | US$ 2,05 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2020) | US$ 133,66 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA