
Parah Bat! 7 Kasus Gagal Bayar Ini Bikin Boncos Rp 49 T

6. KSP Indosurya Cipta (estimasi Rp 14 T)
Kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta atau Indosurya Simpan Pinjam (ISP) ramai pada Juni silam. Saat itu, Jumat (19/6/2020), Pengadilan Negeri Bungur, Jakarta Pusat, menggelar sidang verifikasi bilyet nasabah Indosurya.
Informasi terbaru yang mengejutkan terungkap dari para nasabah menyebutkan bahwa nilai potensi kerugian dari gagal bayar ini mencapai Rp 14 triliun, lebih tinggi dari data terakhir yang disampaikan para nasabah saat audiensi dengan DPR RI pada Jumat (8/5/2020).
"Kalau yang mendaftar di PKPU [penundaan kewajiban pembayaran utang] itu ada 14 triliun rupiah lebih ya, yang sebenarnya ada juga yang hanya mendaftar pidana, dia tidak ikut PKPU, ada juga yang sudah pasrah begitu kan, jadi angkanya harusnya lebih dari ya atas itu," kata salah satu nasabah KSP Indosurya, Rudi Jamin, di PN Jakpus.
Dia mengatakan keuntungan yang dijanjikan KSP Indosurya di atas rata-rata bunga bank.
"Saya rasa mereka menjanjikan sesuatu yang bunganya di atas rata rata bunga, di atas bank tapi yang bikin ini si marketing yang sangat aktif mereka unggulnya di marketing karena mereka mengajak marketing marketing dari bank," jelas Rudi.
"Berkisar kalau setahun dan beberapa tahun itu beda tingkatan bunganya, bunga yang ditawarkan itu antara 9% sampai 12%," katanya.
Kasus gagal bayar Indosurya mulai terungkap pada Februari 2020. Michael, salah satu nasabah Indosurya Simpan Pinjam (ISP) yang tidak bersedia nama aslinya dimunculkan, mengatakan dana yang dia simpan di koperasi tersebut sudah tidak dapat diambil dan sudah mulai tidak diberikan bunga seperti yang dijanjikan di awal.
Dia mengatakan dana yang sudah dia investasikan di koperasi tersebut Rp 10 miliar, di mana dari dana tersebut dijanjikan imbal hasil keuntungan bunga sebesar 11% per tahunnya atau berarti Rp 1,1 miliar per tahun.
"Saya dihubungi orang dari Indosurya pada Selasa yang memberitahukan bahwa koperasi itu memutuskan tidak ada pembayaran bunga lagi [terhadap simpanan nasabah]," ujar laki-laki berumur 42 tahun tersebut kepada CNBC Indonesia, kala itu (20/2/20).
Di situs institusi keuangan itu, Indosurya Simpan Pinjam menyatakan sudah mendapat izin dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sejak 27 September 2012 dengan nomor badan hukum 430/BH/XII.1/-1.829.31/XI/2012 dan Nomor Induk Koperasi (NIK) 3173080020001.
Komisi VI DPR RI menangani perindustrian, perdagangan, koperasi UKM, dan investasi pun sudah memantau kasus ini dan membuka opsi membentuk tim khusus untuk menangani perkara penyelesaian kasus gagal bayar KSP Indosurya Cipta yang mencapai Rp 10 triliun.
Martin Y Manurung, Wakil Ketua Komisi VI, menegaskan pihaknya akan mengawasi Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) dan isu ini harus dibawa dalam rapat selanjutnya.
DPR akan memantau langkah apa yang sudah dilakukan Kemenkop dan opsi solusi yang visible bagi pihak-pihak terkait didesak untuk memberikan jalan penyelesaian.
"Saya turut prihatin kepada nasabah," kata Martin, anggota DPR dari Dapil Sumut II, Fraksi Partai Nasdem, dalam rapat virtual dengan nasabah Indosurya, Jumat (8/5/2020).
7. PT Indosterling Optima Investa (estimasi Rp 1,9 T)
Gagal bayar kali ini menimpa nasabah Indosterling Optima Investa (IOI), salah satu entitas di bawah Grup Indosterling yang dibangun oleh Sean William Hanley.
Perkara ini merupakan gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil atau return investasi 9% hingga 12% setiap tahun.
Menurut kuasa hukum nasabah IOI, Andreas dari Global Eternity Law Firm, PT IOI menghimpun dana sejak 2018/2019 dengan menjual produk HYPN dengan bunga mulai dari 9%-12%.
Namun, sejak April 2020 mulai gagal bayar. Para nasabah juga baru mengetahui bahwa produk HYPN tersebut tidak memiliki ijin menghimpun dana dari OJK maupun Bank Indonesia.
"Padahal di dalam perjanjiannya pada pasal 6 huruf e dikatakan, mereka memiliki segala jenis ijin yang diperlukan termasuk dari lembaga keuangan," terang Andreas, dihubungi CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).
Dengan dasar tersebut, sebanyak 58 nasabah dengan nilai kerugian mencapai Rp 95 miliar melapor ke Bareskrim dengan nomor laporan LP 0364/VII/2020/Bareskrim pada 6 Juli 2020.
Ada tiga pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean William Hanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris.
Klien Andreas memilih menempuh jalur pidana ketimbang PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) di Pengadilan karena, PKPU menawarkan pencairan selama 4-7 tahun ini, hal inilah yang kemudian ditolak oleh klien.
Sebelumnya Andreas mengatakan, "kalau menurut PKPU, nasabah Indosterling mencapai 1.200-2.000 orang, dengan total dana dihimpun kurang lebih Rp 2-3 triliun. Tapi berdasarkan terlapor bilangnya Rp 1,99 triliun," kata Andreas, dilansir Detikfinance.
SWH kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 30 September 2020 karena diduga melanggar pasal 46 mengenai Undang-undang Perbankan jo pasal 3,4,5 mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Andreas menuturkan, dana nasabah yang disimpan di PT IOI juga beragam, mulai dari Rp 250 juta sampai Rp 11 miliar per orang.
"Para nasabah mempertanyakan kenapa belum ditahan [tersangka]? Hingga Jumat kemarin para nasabah datang lagi ke Bareskrim mendatangi Irwasum [Inspektur Pengawasan Umum Polri] dan Propam [Divisi Profesi dan Pengamanan] untuk meminta perlindungan hukum," kata Andreas.
Ada tiga permintaan nasabah dalam laporan tersebut, yakni Gelar Perkara Khusus kenapa tersangka tidak ditahan, kedua penyitaan terhadap aset tersangka dan pencekalan keimigrasian.
Kuasa hukum William Henley, Hardodi dari HD Law Firm memang membenarkan kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri Cq Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus pada 30 September 2020 lalu.
Informasi ini juga disampaikan di keterbukaan informasi dengan Nomor: S-06953/BEI.PP1/11-2020. Hal ini mengingat William Henley adalah Komisaris dari PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH), anak usaha dari PT Indosterling Sarana Investa. Saat ini, perkembangan proses hukum tersebut telah memasuki tahap penyidikan.
Namun, penetapan tersangka tersebut bukan berarti kliennya telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan oleh pelapor.
Sebab, menurutnya, dalam penegakan hukum di Indonesia, ada asas praduga tidak bersalah yang diatur dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf c dan di dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun, upaya hukum yang saat ini sedang ditempuh tim kuasa hukum adalah menyelesaikan kewajiban melalui putusan homologasi kepada nasabah melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 Agustus 2020.
Selanjutnya, langkah lainnya ialah mengikuti proses hukum sesuai hukum acara pidana dan melakukan pendekatan dengan nasabah yang tidak terkait dengan putusan PKPU secara persuasif.
"Kami juga menyiapkan langkah hukum praperadilan," kata Hardodi, dalam suratnya yang diterima CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).
Adapun dalam keterbukaan informasi di BEI, disebutkan, "upaya hukum yang telah ditempuh oleh Sean William Henley adalah menyelesaikan kewajiban kepada para kreditor yang telah diputus dalam putusan perkara PKPU, dengan telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dijelaskan pada lampiran surat dari kuasa hukum nomor Ref_19/HD/LTR/XI/2020."
[Gambas:Video CNBC]
