
Gagal Bayar Rp 1,9 T, Begini 'Jeroan' Investasi Indosterling

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus gagal bayar PT Indosterling Optima Investa (IOI) menyeruak ke publik akhir-akhir ini atas produk High Yield Promissory Notes (HYPN). Nilai potensi kerugian yang dialami nasabah diperkirakan mencapai Rp 1,9 triliun dari 1.041 nasabah.
Kuasa hukum perwakilan nasabah Indosterling Optima Investa, Andreas menuturkan, nasabah mulai mengalami gagal bayar sejak April 2020 atas produk HYPN dengan imbal hasil sebesar 9-12% tersebut.
"Nasabah membeli produk ini sebab di perjanjian sudah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan [OJK]. Ini disebutkan dalam perjanjian HYPN pasal 6," katanya saat ditemui di Gedung Insurtech, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (26/11/2020).
Namun, kenyataannya, produk HYPN tersebut ternyata tidak memiliki izin dari regulator. Indosterling Optima juga tak memiliki izin untuk mengelola dana nasabah karena bukan perusahaan yang terdaftar di OJK.
"Mereka mengakui tidak ada izin dari OJK maupun BI [Bank Indonesia]. Tetapi, pernyataan berikutnya melalui media massa itu dikatakan mereka memiliki izin dari OJK maupun BI dan mereka akan membuktikan di pengadilan. Jadi kami justru mempertanyakan apakah mana yang benar," kata dia.
Lantas, apa saja isi dari produk HYPN milik Indosterling yang menyebabkan gagal bayar?
Dalam dokumen perjanjian HYPN yang dilihat CNBC Indonesia, pada pasal 4 disebutkan, dana hasil penerbitan HYP akan digunakan oleh penerbit untuk investasi pada instrumen-instrumen pasar modal dan pasar uang.
"Tetapi tidak terbatas pada instrumen-instrumen seperti ekuitas, obligasi, repurchase agreement (Repo, gadai saham), valuta asing, pre-IPO dan instrumen-instrumen turunannya," tulis dokumen tersebut.
![]() Konferensi pers gagal bayar Indosterling, 26 Agustus 2020/Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia |
Secara terpisah, kuasa hukum Indosterling Optima Investa, Hardodi, menegaskan pandemi Covid-19 menjadi musabab perusahaan mengalami gagal bayar atas produk investasi Indosterling HYPN.
Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil atau return investasi 9% hingga 12% setiap tahun. Namun, situasi pandemi menyebabkan perusahaan tak bisa membayar kewajiban seperti seharusnya sejak April 2020.
"Kewajiban tidak dilakukan karena faktor Covid menyebabkan gagal pembayaran [yield]," katanya saat jumpa pers di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (16/11/2020).
Menurut pengakuan Hardodi, saat ini ada sebanyak 1.041 nasabah dengan dana kelolaan sebesar Rp 1,2 triliun yang berpotensi gagal bayar karena sudah masuk Penundan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan. Sedangkan, jika digabungkan dengan skema non-PKPU total potensi kerugiannya mencapai Rp 1,9 triliun.
Namun dia menegaskan, dari semua nasabah tersebut sebanyak 80% diklaim sudah mengikuti skema PKPU atau dengan nilai investasi sebesar Rp 878 miliar, sidanya memilih melapor ke Bareskrim Polri.
"Putusan sudah inkracht. Beberapa tidak mengikuti skema PKPU dan melapor [Bareskriim] Mabes," katanya.
Dalam konferensi pers itu, Hardodi juga menyatakan, kliennya berkomitmen mengganti kerugian dana nasabah senilai Rp 1,9 triliun dari sebanyak 1.041 nasabah. Namun, pembayaran ini akan dilakukan secara bertahap.
Sebagai informasi, Promissory notes (PN) atau surat sanggup bayar adalah surat berharga komersial yang diterbitkan oleh korporasi non-bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 tahun yang terdaftar di Bank Indonesia. Definisi ini tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/1/PADG/2018.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terseret Gagal Bayar Indosterling, Siapa Sean William Henley?
